Senin, 22 Mei 2017

Cerita Silat Terbaru Karya Kwee Oen Keng Bendera Maut


Cerita Silat Terbaru Karya Kwee Oen Keng Bendera Maut
BENDERA MAUT
SAM GOAN LENG HUN HOAN
Oleh
Kwee Oen Keng
Mengundjungi Buli-buli kaju dirumah SIU TJIN WAN.
Tetapi sepandjang pendengaran mereka jang disebut Bok Ho-louw
itu badannja besar dan tinggi, rupanja gagah, wadjahnja seram
dan usianja belumlah tinggi. Padahal pendeta ini sndah tua,
berdjanggut pandjang dan wadjahnja merah. Hal ini menimbulkan
kebimbangan djuga bagi mereka. Tetapi mereka hanja berdasarkan
pada kenjataan, bahwa pendeta itu dapat menggunakan pukulan
Tjuat-Kin Kuat-Meh Tjhiu-Hoat.
Maka dengan penuh keragu-raguan bertjampur bimbang mereka
ngatjir meninggalkan Siu Tjin Wan dengan penuh kekesalan,
Pendeta tua itu melompat turun masuk kedalam Siu Tjin Wan dengan
wadjah jang menjeramkan.
Tadi dalam menghadapi serangan In Yang Siang Sat, satu tapakpun
ia tidak bergeser dari tempatnja.
Inilah suatu bukti bahwa pendeta itu memang benar2 tinggi ilmu
silatnja!
Keng In Wan pelan2 siuman kembali. Ketika ia membuka matanja,
bukan ia rebah dilantai begitu sadja, melainkan ia terbaring
didalam sebuah kamar jang tenang. Tampak olehnja bahwa hiasan
dalam kamar itu teratur rapih. Tempat itu agak luas dan terang.
Tjahaja masuk kedalam kamar itu melalui djendela. Dibawah
djendela terdapat medja ketjil. Kamar itu sedap dipandang mata,
bahkan se-olah2 tempat itu seperti tempat batjaan.
Diatas medja terletaklah pendupaan jang mungil dan mengepulkan
asap jang berbau harum dan menjegarknn kepada jang mentjiumnja.
Dalam terkenang itu Keng In Wan ingat akan permulaan deritanja.
Ia ingat bahwa ia telah menjerahkan sebuah kotak kepada pendeta
tua itu. Ia ingat pula bahwa ia siap untuk ditawan. Jang
mengerikan ialah bahwa terlukanja oleh sendjata musuh sehingga
hampir2 djiwanja melajang.
Ia termennng-menung dikamar itu sambil merasakan lukanja jang
sungguh parah itu. Tidurpun sukar baginja, bahkan ketika ia baru
membuka matanja, ia ragu2 apakah ia betul2 masih hidup. Tetapi
dengan rasa sakit jang ada, dan ternjata ia masih dapat
menjaksikan segala jang ada disekitarnja, maka sadarlah ia bahwa
ia masih hidup.
Siapakah sebenarnja jang telah menolonguja, sehingga ia sampai
terbaring didalam kamar jang tenang itu. Kemudian ia ingat akan
benda peninggalan Kiang Lo Tjian-pwee jang harus disampaikan
kepada Bok Lo Tjian-pwee... Ia mempunjai sifat jang baik, jaitu
selalu ingin mendapat kepertjajaan orang.
Waktu itu, pintu berbunji dan kemudian terbuka. Seorang anak
gadis jang sangat djelek wadjahnja, dengan rambut terurai masuk
kedalam kamar itu. Ia membawa sebuah nampan tembaga sematjam
baki, jang diatasnja terisi bermatjam-matjam makanan.
Nampak olehnja bahwa anak perempuan itu kurang lebih empat belas
atau lima belas tahun sadja usianja, wadjahnja sangat buruk,
namun ketika ditelitinja. kedua matanja memantjarkan sinar jang
tadjam. Keng In Wan achir-achir ini senantiasa menerima
perlakuan kedjam dari orang lain, maka terhadap orang atau
sesuatu hal, senantiasa ia mempunjai suatu prasangka buruk.
Terlebih pula semendjak ia memandjat puntjak Mauw Li Hong
digunung Hwa San dan masuk Siu Tjin Wan, serta-merta ia ditjatji
dan dihadjar orang dengan tidak ada sebab jang pantas. Sekalipun
tempat itu tidak dikenalnja, namun menurut taksirannja mestinja
masih berada disekitar puntjak Mauw Li liong.........
Anak perempuan ini buruk rupanja, dengan sendiri terhadap orang
tak akan berlaku baik, demikianlah pikir Keng In Wan. Tetapi
ketika anak perempuan itu menjaksikan sipemuda sudah bangun dari
pingsannja, tiba2 ia bersenjum lalu bertanja dengan sikap jang
penuh perhatian.
"Masih sakitkah?"
Hampir2 sadja Keng In Wan tidak pertjaja akan pendengar
telinganja sendiri.
"Oh, sudah tidak mengapa! Nona, numpang tanja, bagaimana aku
dapat berada disini? Siapakah jang menolong daku? Dan, tempat
apakah ini?"
Demikianlah setjara bertubi-tubi Keng In Wan mengadjukan
pertanjaan. Anak perempuan itu mesem: "Ajahku pernah mengatakan
bahwa bisa ulat sutera berapi itu hanja dapat disingkirkan
dengan ulat sutera berapi djuga. Mula-mula aku tidak pertjaja,
tetapi kenjataan sekarang ini membuktikan bahwa ajah memang
banjak pengetahuan serta pengalamannja. Disini ada berapa matjam
makanan, menurut kata ajah, djika dimakan amatlah berguna bagi
kesehatanmu. Hanja sadja tidak enak, maka kau paksakanlah makan
sedikit. Setelah sembuh nanti aku menjadjikan jang lain
.....................”
Apa jang dikatakan perempuan ini tiada sangkut pautnja dengan
pertanjaannja, namun sikap dan bahasanja sungguh meresap bagi
Keng In Wan. Sekalipun tidak mengatakan siapakah jang
menolongnja, namun dari kata-katanja itu orang dapat mengetahui
pasti bahwa penolongnja itu tidak lain dari pada ajah si gadis.
Tetapi siapakah ajahnja itu?
Keng In Wan segera bangun dan duduk, ketjuali tangan dan kakinja
masih lemas dan linu, bagian dadanja masih agak sakit rasanja.
Ia segera merangkap tanganja memberi hormat lalu hendak berdiri
menjambut nampan itu, namun anak perempuan itu tjepat2 berkata:
"Djangan berlaku sungkan2, kau belum sembuh betul! Bersandarlah.
Makanan ini kau makan sadja diatas tempat tidur, tidak usah kau
susah-susah!"
Keng In Wan melengak demi mendengar kata-kata itu, hatinja
tergerak, hampir sadja air matanja mengutjur karena rasa terharu
dan terima kasihnja.
Nampan tembaga itu sudah lantas dihantar kehadapannja. Keng In
Wan menjaksikan bahwa di atas nampan itu terdapat empat piring
ketjil dan semangkok bubur putih jang masih mengepul. Setelah
mengeluarkan kata-kata merendah sebagai mana lazimnja, iapun
segera menjerbu makanannja.
Namun demi masuk dalam mulut, bubur itu bukan main rasa getir
dan pedasnja! Baru sesuap ia sudah memperlihatkan wadjah monjet
makan terasi. Namun terdengarlah pula suara empuk njaring dan
jang mengandung rasa bersungguh-sungguh dan seolah-olah
mengandung sifat mengharap.
"Turutilah kataku! Makanlah, sedikitpun djangan ada jang
ketinggalan! Bubur ini sangat baik untukmu."
Demi mendengar kata-kata itu, tergerak hati Keng In Wan.
Ditatapnja muka anak perempuan itu, jang mengandung sikap
mengharap. Maka Keng In Wan tidak menghiraukan lagi rasanja
bubur dan sajur-sajur itu, dimakannja habis semuanja ketjuali
satu piring jang isinja ulat2 hitam!
Berapa kali ia menggerakan sumpitnja untuk mengambil, namun
batal ditengah djalan tidak sampai musuk kemulut. Sementara itu
sigadis terus mengawasinja dengan gelisah dan mengharap.
Terpaksa Keng In Wan berkata: "Nona........... aku
.............”
"Dengarkanlah perkataanku! Lekas kau makan ulat2 Kwee-Hiang ini
jang baik chasiatnja! Pertjajalah padaku,” Sigadis berkata
dengan sungguh-sungguh. Keng In Wan mengeraskan hatinja,
disapitnja ulat2 itu dan dimasukkannja kedalam
mulutnja..................
Sementara itu sigadis memperlihatkan senjuman jang menandakan
rasa leganja.
Senjuman anak perempuan jang rupanja buruk itu sangat memikat
hati Keng In Wan, sehingga lupalah ia apa jang dikunjahnja
didalam mulutnja itu. Tiba-tiba sadja suatu bebauan harum jang
bertjampurkan haruman bunga kwee Hwa tertjium dalam lubang
hidungnja, sementara dalam mulutnja terasa rasa makanan jang
gurih lezat. Makan seekor sadja semangatnja terbangun dan
mengertilah ia bahwa barang jang aneh ini sebenarnja makanan
jang chasiatnja luar biasa. Dan memang ia belum kenjang, maka
kinipun ulat2 itu diganjangnja habis sama sekali. Setelah itu
barulah sigadis mengambil pulang mangkok piring dan nampan
tembaga itu, dengan berseri-seri meninggalkan kamar itu. Sebelum
menghilang dibalik pintu masih ia bersenjum dan berpesan:
"Turutilah perkataanku! Tidur baik-baiklah, esok kau akan sembuh
sama sekali."
Bagaikan bajangan si gadis lenjap dari pandangan matanja.
Keng In Wan melamun seorang diri.
"Semendjak datangnja kemalangan terhadap keluargaku, senantiasa
aku dirongrong oleh pihak musuh. Hanja Kiang Liang Souw
lotjianpwee seorang jang bersikap manis kepadaku dan gadis ini."
Lambat laun tanpa terasa olehnja Keng In Wan tertidur, ia tidur
njenjak sampai pagi hari esoknja.
Matahari sudah mulai naik dan melantjarkan sinarnja kedalam
kamar. Keng In Wan bangun dan mentjoba mengerahkan tenaganja.
Sedikitpun ia tidak menemui suatu hambatan. Ha! Ia telah sembuh
seluruhnja! Disekitar tempat itu sunji-sunji sadja, tidak
terdengar suara manusia. Keng In Wan ingin memanggil orang,
siapakah namanja gadis itu? Diam2 ia menjesali diri sendiri
mengapa setelah menerima pertolongan orang, ia tidak menanjakan
siapa sigadis itu? Ia berpikir-pikir, achirnja ia mengambil
ketetapan untuk mengetahui dimanakah ia berada. Ia berdjalan
keluar kamar. Terkedjutlah hatinja. Karena tempat itu sebenarnja
ruang pendopo dari Siu Tjin Wan! Nampaklah patung Sam Tjin
Tjindjin berdiri dengan augkernja. Djuga ia melihat djendela
berbentuk pandjang, dengan tirai kain kuning ..........
Kesemuanja ini, ah! Teringatlah ia sekarang, ia telah ditolong
oleh pendeta bermuka merah itu! Tergeraklah hatinja. Kini nampak
pula olehnja, sapu jang dipakainja untuk menjapu pekarangan
masih tinggal terletak disudut sebelah kiri. Dengan tidak raguragn lagi diambilnja sapu itu. disapunja ruang pendopo sampai
bersih lalu turun dan menjapu pekarangan. Baru sadja ia bekerdja
dengan giatnja atau tiba-tiba terdengar orang batuk-batuk.
Terkesiap ia berpaling. Nampak olehnja seorang tua jang
djanggutnja sudah putih semua, punggungnja bungkuk.
"Anak ketjil, untnk apakah kau datang disini? Datang untuk
mentjuri atau hendak djadi katjung?" orang tua itu tahu2
mendamprat.
Kini Keng In Wan mempunjai perasaan lain terhadap Siu Tjin Wan.
Ia segera teringat akan pengalamannja jang dahulu, teringat
bahwa djiwanja ditolong oleh pendeta tua dari Siu Tjin Wan
bersama anak perempuan itu. Oleh karena itu siapapun penghuni
didalam kuil, senantiasa ia harus berlaku hormat. Ia mendjawab
dengan tjermat dan hati-hati seperti berikut: "Lo tjianpwee, aku
jang rendah bernama Keng In Wan, berkat izin totiang aku numpang
tinggal disini untuk berapa hari, untuk mendjumpai Bok Ho-lauw
lotjianpwee. Totiang menjuruh aku menjapu pekarangan sini agar
diperkenankan numpang tidur............dan saja numpang tanja
bagaimanakah sebutan kau orang tua ini?"
Tiba-tiba orang tua itu tertawa njaring sekali lalu berseru:
"Omong kosong! Disini mana ada totiang segala ...... anak
ketjil, berterus teranglah! maksudmu sebenarnja datang disini?!"
Keng In Wan mendjadi bengong. Terang-terang ia pernah bertemu
berapa kali dengan pendeta bermuka merah itu, bahkan benda
pentingnja pernah dititipkan padanja.
"Lotjianpwee, aku pernah bertemu totiang itu berapa kali,
diambang pintu, dipekarangan dan diruang pendopo ......... oh,
ja! Masih ada seorang anak perempuan jang menolong aku
dari kematian.”
Terdengar pula suara tawa aneh dari orang tua itu. "Ha-ha-ha!
Kau telah bertemu dengan setan! Atau barangkali kau salah lihat
orang, salah djalan salah tempat!"
Keng In Wan tidak bisa bilang apa-apa, ia tjeritakan tentang
rupa pendeta bermuka merah itu.
Achirnja orang tua itu dengan sungguh-sungguh berkata: "Kau
telah tertipu. Pendeta tua itu hanja numpang tinggal disini.
Sudahlah, baiknja kau tidak hendak berbuat apa-apa, hal ini kau
anggap sadja soalnja sudah lewat. Tapi jang kau sebut Bok
Lotjian-pwee (Bapak kaju) atau Hwee Lotjianpwee (bapak-api) itu
bagaimana asal usulnja?”
"Apa? Ia hanja numpang tinggal disini! Kapankah ia pergi?"
”Baru sadja ia pergi!"
Tanpa ajal pemuda kita membuang sapu ditangannja dan berlari
keluar. Tidak sempat pula ia menanjakan kemana arah pergi
sipendeta, karena perhatiannja hanja tertudju kepada kotak itu
jang menurut pendapatnja tidak boleh dititipkan pada orang jang
salah.
Setelah lari sepintas tiba-tiba ia sadar bahwa ia tertipu!
Siapakah orang tua itu? Semendjak ia tiba di Siu Tjin Wan, telah
bertemu berapa orang jang tidak dikenalnja. Jang pertama-tama
ditemuinja orang tua she Sin, jang kedua pendeta tua bermuka
merah, jang ketiga seorang anak perempuan terachir orang tua
bungkuk berdjanggut putih ini. Tiap orang jang ditemuinja, satu
sama lain berlainan. Kesemuanja mengaku sebagai tuan rumah Siu
Tjin Wan, lebih-lebih si anak perempuan itu.
Orang tua itu ! Dia sangat mentjurigakan! Dengan gusar ia
putarkan tubuhnja dan lari kembali kearah Siu Tjin Wan. Sebentar
sadja ia sudah tiba diambang pintu. Didorongnja pintu itu dan
masuk kedalam. Pada saat itu djuga ia medjerit bahna kagetnja.
Darah segar mengambang diatas tanah!
Ia berteriak berulang-ulang. Tetapi tidak ada orang jang
menjahut. Ia berdjalan masuk keruang pendopo. Nampak pula orang
jang menggeletak diatas lantai dan disana sini darah
bertjetjeran. Ketika diawasinja orang itu dengan teliti, ia
meudjadi putjat. Orang itu bukan lain dari pada si orang tua
jang bungkuk punggungnja!
Tiba-tiba suatu benda menarik perhatiannja. Itulah sebuah bulibuli ketjil berwarna merah. Hampir sadja Keng In Wan mendjerit!
Dan tepat pada waktu itu terdengar suara tertawa jang aneh.,
suara tertawa jang seram dan bersifat sedih.
Bagaikan kilat Keng In Wan menengok dari mana suara itu datang!
Tapi mendadak angin dingin menjambar kearahnja!
2. Tiga Ular Oh Leng Tjoa Sebagai Tanda Tjinta
Keng Iu Wan sadar bahwa didalam Siu Tjin Wan telah terdjadi
suatu peristiwa hebat. Maka ia berlaku waspada, siap menghadapi
segala kemungkinan. Ketika terdengar suara orang dan disusul
sambaran angin, tjepat2 ia menghantam untuk memunahkan serangan
gelap. Pandangan matanja mendjadi kabur.
Sambaran angin itu lewat didepan mukanja! Belum dapat ia melihat
muka orang itu, suara tertawa mengalun diangkasa dan menghilang
dari pandangan.
Keng In Wan insjaf bahwa orang itulah pembunuhnja. Ketika ia
menoleh dan memandang kebawah, tersiraplah darahnja. Majat orang
tua bungkuk itu sudah lenjap! Apakah majat dapat hidup kembali?
Aneh sekali, apa lagi dalam waktu sekedjap mata sadja dapat
menghilang.
Keng In Wan menenangkan hatinja, lalu berdjalan masuk kekamar
sebelah jang pernah ditidurinja. Ia melihat segala sesuatu tidak
berubah. Diatas medja tetap terdapat pedupaan ketjil jang
menjebarkau bau harum. Keadaan sunji2 sadja.
Keng In Wan termenung seorang diri. Dihadjar, ditjatji,
ditolong, dikibuli, lalu disuruh menjaksikan peristiwa berdarah
ini. Ia bingung dan tidak mengerti.
Tiba2 ia melihat sehelai kertas diatas medja, ditindih dengan
batu dan bergojang-gojang dihembus angin.
Dengan hati berdebar-debar Keng In Wan menghampirinja.
Kertas itu masih baru. Tulisannja terang dan kuat tetapi tidak
indah.
"Anak ketjil, besar sekali njalimu!
Kau berani menggunakan tipu daja untuk mentjelakai aku!"
Dibawahnja tidak dibubuhi tanda tangan, hanja terdapat lukisan
buli-buli merah jang dilukis Tjusee.
Hati pemuda kita bergontjang-keras. Setidak-tidaknja ia mengerti
bahwa tulisan ini ditinggalkan oleh Bok Holouw!
Bok Holouw pernah datang atau kalau tidak, beliau tidak pernah
pergi dari Siu Tjin Wan! Tetapi mengapa ia dituduh mentjelakai
Bok Holouw?
Keng In Wan mengeluh dengan sedihnja: "Ah. Aku difitnah!”
Sekonjong-konjong diambang pintu berdiri seorang tua djangkung
dan gagah, mukanja putih bagaikan batu kemala. Matanja bersinar
terang bagaikan bintang, bibirnja merah dan giginja putih
bersih. Badjunja hidjau dan pada ikat pinggangnja dari benang
emas tergantung buli-buli ketjil berwarna merah. Tangannja
menjangga sebuah kotak.
"Bok Lotjianpwee!" berseru Keng In Wan kegirangan demi melihat
orang itu.
Wadjah, sikap dan perawakan jang dilukiskan oleh Kang Liang Souw
tjotjok sekali.
"Lotjianpwee ............ Aku  Keng In Wan datang kehadapanmu
memanggul tugas dari Kiang Lotjianpwee. Dengan pantang mundur
menghadapi segala bentjana dan derita, aku datang menghadap
untuk menjampaikan kotak itu."
"Djadi memang benar kau jang mengantarkan kotak ini! Tahukah
kau, apa jang ada didalamnja?” bertanja orang tua itu dengan
gusar.
Maka Keng In Wan memandang kepada kotak itu dengan pantjaran
wadjah kebodohan. Ia tidak tahu apa jang ada didalamnja. Orang
tua itu bersinar-sinar matanja.
Sekalipun bagaimana, Keng In Wan tak dapat menahan diri. Maka
dengan sungguh2 ia mendjawab: ”Bok Lotjianpwee! Apakah arti
kata2 Lotjianpwee itu? Sekalipun Kang Lotjianpwee bukan saudara
dan belum lama aku mengenalnja, tetapi ......... aku tahu benar
akan pribadinja. Mana mungkin ia berhati djahat ......"
"Djustru karena kebaikan hatinja itulah...... Ah, aku djuga
tidak hendak tjerita tentang segala ini. Aku hendak perhatikan
apa jang tersimpan dalam kotak ini padamu! Nanti kau akan tahu
sendiri...."
Orang tua berbadju hidjau itu mementjet tutup kotak.
"Tjepret!” Kotak itu terbuka lebar. Nampaklah seekor ular hitam
jang berbintik emas keluar dari dalam kotak itu, jang lantas
djatuh diatas lantai. Keng In Wan berseru kaget: "Oh Leng Tjoa!"
Orang tua itu agak berubah wadjah mukanja, lalu bertanja: "Kau
kenal ular berbisa ini?"
"Ular ini asalnja dari dalam kebun rumahku. Kiang Lotjianpwee
berkenalan denganku djuga oleh karena ular berbisa
ini............. Ah, kiranja dalam kotak itu tersembunji ular
berbisa ini ....."
Namun orang tua itu tidak berkata-kata lagi, ia menghampiri ular
itu. Ketika itu sang ular sudah berkeledjetan hampir mati.
Dipegangnja kepala ular itu lalu masukan kedalam kotak kembali.
Tiba2 air mata orang tua itu berketjutjuran...........
Keng In Wan tertjengang.
Orang tua itu menanja lirih: "Apakah Kiang Liang Souw sudah
mati?”
Keng In Wan menganggukan kepalanja. Orang tua itu bersedih
mukanja dan termenung beberapa saat lamanja. Kemudian ia
bertanja pula: "Apa kau mengerti maksudnja dengan menjuruh kau
mengantarkan ular ini ?”
"Tidak. Adapun hanja setelah Kiang Lo-tjianpwee datang kerumahku
untuk menangkap ular itu....... setengah tahun kemudian
keluargaku mengalami bentjana. Pendjahat she Cak dan kawanan
bangsatnja membunuh seluruh anggota keluargaku. Buku ilmu silat
ajahku dirampas dibawa pergi bersama duapuluh empat buah Tju-bo
Lian Mouw So dan sembilan stel Gin-Wan. Saja bersembunji didalam
gua gunung-gunung, hingga tidak sampai binasa. Belakangan ketika
aku masuk kedaerah pegunungan Tjin Nia, kawanan pendjahat itu
mengedjar beramai-ramai. Dalam pelarian itu aku djatuh kebawah
lamping gunung dan tertolong oleh Kiang Lotjianpwee. Tidaklah
aku ketahui bahwa Kiang Lotjianpwee mengandung bisa didalam
tubuhnja. Ia bertempur dengan pendjahat2 jang mengadjar diriku
itu, hingga menjebabkan ratjun ular didalam tubuhnja bekerdja."
Muka orang tua itu berubah, berbagai-bagai perasaan membajang
dengan djelas.
"Kiang Lotjianpwee memberikan pesan wasiat mendjelang wafatnja,
wanti-wanti menjuruh aku menjampaikan kotak ini kepada
lotjianpwee. Beliau merasa malu telah berkeras hati menuruti
napsunja sehingga membuat Lotjianpwee hidup menderita. Beliau
senantiasa menjintai lotjianpwee....."
Bok Holouw termanggu-manggu, achirnja ia bertanja dengan suara
parau.
"Apakah ia binasa didalam tangan kedjam pendjahat-pendjahat
itu?.........”
”Tidak, berapa pendjahat2 itu terluka olehnja, namun tenaganja
termakan ratjun ular itu dan tidak dapat bertahan terus. Semula
beliau ingin datang sendiri kemari, tetapi karena urusanku maka
djadi gagal. Beliau minta aku tunaikan pekerdjaan jang
tertinggal oleh beliau itu. Lotjianpwee................beliau
tidak mungkin mentjelakai dikau....”
Bok Holouw suram matanja....
Liang Souw.... Aku Sin Thian Ju membikin kau menderita. Dahulu
aku membentjimu tidak tahu urusan, melindungi keluarga sendiri
jang durdjana. Namun kau tinggal tetap hidup, hidup membiarkan
orang membentjimu. Mengapa mendjelang kematianmu kau masih
menanam budi kepadaku? Kau menghendaki aku mengingat kau selama
hidupku! Selama hidup mengingat akan kesalahanku
terhadapmu.............”
Tiba-tiba orang tua itu menatap Keng In Wan pula dan bertanja:
”Apakah ia menderita ketika menemui adjalnja?"
"Kiang Lo-tiianpwee duduk tenang dan mangkat sambil tersenjum.
Kata-kata terachir jang beliau utjapkan ialah sebagai berikut:
"Keng In Wan kau wakilkanlah aku uutuk menjelesaikan urusan ini,
biarlah Bok Holow menerima kotak ini. Ini sangat penting.
Bagikupun lebih penting..............."
Pemuda kita dengan penuh keharuan bitjara terus.
"Aku menundukan kepala dan bersumpah akan pasti melaksanakannja.
Beliau tersenjum, ia berkata: ”Aku merasa lega! Thian Ju! Aku
merasa lega!...................”
Demi mendengar tjerita itu, mendadak sadja Bok Holouw menutupi
air mukanja. Ia lari keluar setjepat terbang, hanja sekelebatan
sudah hilang bajangannja!
Pada saat bersamaan terdengarlah suara tangisan anak perempuan.
Keng In Wan tergerak hatinja, ia djalan menghampiri. Nampaklah
dua buah bajangan hidjau berkelebat melesat bagaikan anak panah
tjepatnja keluar pintu dan menghilang.
Keng In Wan berlari mengedjarnja, dipandjatnja pagar tembok.
Ditjarinja kesana sini, tapi tidak djuga diketemukannja. Tiada
ada djuga hal-hal jang mentjurigakan. Ingin ia mengedjar namun
kemana harus ia pergi? Mengedjar tanpa tudjuan adalah sia-sia
belaka. Ia merasa serba salah, tidak tahu apa jang harus
diperbuat. Maka achirnja ia lompat turun dari pagar tembok.
Diam2 pemuda kita memikirkan semua hal jang mengherankan ini.
Bok Holouw mengatakan tentang hal mentjelakai, dan mengaku
dirinja sebagai Sin Thian Ju. Kiang Liang Souw pun mengatakan
'Thian Ju, aku merasa lega!'
Tiba-tiba ia teringat kepada orang pertama jang ia temukan jang
mengaku she Sin dan buli-buli merah itu terdapat dipinggangnja.
Apakah mereka itu sebenarnja seorang belaka! Didalam dunia Kangouw banjak sekali orang jang pandai dengan ilmu mengubah rupa.
Tapi suara dan perawakan berubah-ubah tidak sama; Apa kesemuanja
inipun mungkin terdjadi? Keng In Wan tidak dapat mendjawab
pertanjaan2 tersebut. Tapi Bok Holouw atau Sin Thian Ju itu
agaknja adalah suaminja Kiang Liang Souw, atau sahabat karibnja,
tetapi ular bisa jang disimpan didalam kotak itu, apakah
hubungannja?
Djika dikatakan hendak mentjelakai nampaknja tidak ada miripmiripnja. Lagi pula djika Bok Holuw mestinja sangat bentji,
mengapa ia djustru menangisi dan memperlihatkan rasa tjinta?
”Sahabat! apa Bok Holouw ada dirumah?” Mendadak suara orang
membujarkan lamunan Keng In Wan! Suara jang serak serta
menjeramkan. Keng In Wan menoleh kearah dari mana suara itu
datang. Kelihatan seorang tosu jang mengenakan badju djubah Iesu bertopi bintang, tangannja memegang Hudtim berdiri dengan
sikap jang sombong. Umurnja kurang lebih tiga-puluh tahun.
Keng In Wan tidak tahu tentang asal usulnja tosu ini, dikiranja
sahabat dengan Bok Holouw , maka ia merangkapkan kedua
tangannja.
”Bok Lo-tjianpwee baru sadja keluar..............."
Si tosu mengeluarkan suara tertawa dingin.
”Ha-ha-ha! Seorang lotjianpwee jang sudah tersohor namanja,
merasa takut orang mentjarinja dirumah! Apa ia menggunakan kau
sebagai malaikat penunggu pintu?”
Keng In Wan terkedjut Bok Holouw benar-benar tidak ada, mengapa
tosu ini demikian ngototnja sehingga mengeluarkan perkataan jang
demikian?
Maka dengan sikap bersungguh-sungguh ia mendjawab : ”Mengapa
totiang berkata demikian? Sesungguhnja Bok Lo-tjianpwee tiada
dirumah................”
Sekonjong-konjong segumpalan sinar menjapu kearah muka pemuda
kita. Terperandjat dan penuh kegusaran ia miringkan tubuhnja.
Bersamaan si tosu berteriak dengan njaring" "Bok Holouw kemarin
dulu masih melukai seorang saudara dari agamaku. Siapakah kau
ini? Aku bunuh kau, agar ia keluar dari tempat sembunjinja!”
Kini barulah Keng In Wan mengerti bahwa si Tosu tidak mengerti
akan keterangannja. Maka dengan gusar ia lompat madju dan
melantjarkan ilmu silat turunan dari keluarga Keng jang disebut
”Kiu Yang Tjiu-hoat” atau Tangan sembilan-daja matahari!
Tangannja melintang keatas dengan tipu Thian-goan Kiu-souw atau
Sembilan-angka-kesatuan alam!
Tetapi sitosu menjerang dengan makin ganas dan kedjam!
Kebutannja jang dari pada besi itu menjambar mendjadi segumpalan
sinar hitam, dalam waktu tiga djurus Keng In Wan sudah
kewalahan.
”Ha-ha-ha! Setelah kuhadjar kau, aku mau lihat apakah Bok Holouw
tidak muntjul.” Tosu itu tertawa mengedjek. Kebutan besi jang
digerakan dalam Soan Hong Tjiu-hoat atau Permainan angin pujuh
berkelebat diudara bagaikan angin badai dan hudjan keras. Keng
In Wan terkurung rapat! Ia hanja dapat mempertahankan diri
sadja, tidak dapat balas menjerang! Apa lagi untuk mentjapai
kemenangan.
”Masukan tanganmu kekiri, madjukan langkah berantai! Tiga kali
memukul dengan telapak tangan........................”
Sekonjong-konjong terdengar oleh Keng In Wan suara halus
ditelinganja. Itulah pukulan rahasia! Keng In Wan memang sedang
mengalami tekanan bebat. Pada saat itu Hudtim sedang menjapu
dari sebelah kanan, tangan kirinja sedang kosong, semestinja
membalikan tubuh lalu dengan telapak tangan memukul. Djika
masukan tangan kiri, bukankah djustru memberikan lowongan untuk
lawan? Keng In Wan kesima, ia membalikan telapak tangannja, tapi
sekalipun ia dapat menangkis kebutan lawan, namun ia tetap
terdesak.
Maka terdengarlah suara itu lagi, kali ini nadanja menganduug
kegusaran. ”Hei, botjah! Apakah kau sengadja mentjari nasi?”
Keng In Wan berkeringat dingin. Menjusul terdengar suara jaug
halus dan merdu. Itulah suara sigadis.
"Turutlah nasihat ajahku! Apa gunanja untukmu membangkang!” Keng
In Wan bingung sekali. Pada detik menjusul suara itu terdengar
lagi. "Putarkan tubuhmu! Pukul dengan telapak tangan kananmu
tiga kali! Kini pemuda kita menurut. Bagaikan kilat ia
memutarkan tubuhnja dan menghantam bertubi-tubi tiga kali!
Heran! Pada saat menjusul si Tosu mendjerit dan terpental
kebelakang. Namun lekas Tosu itu bangun, sekali bergerak,
tubuhnja melompat. Sekarang Keng In Wan mengetahui bahwa jang
bitjara tadi adalah Bok Holouw bersama anak perempuannja.
Hatinja merasa mantap. Oleh karena itu, dengan penuh semangat ia
mainkan ilmu silat Kiu Jang Tjhiu-hoatnja.
Sesungguhnja kepandaian Keng In Wan sekarang ini masih djauh
tingkatannja dibandingkan dengan Tosu itu, namun oleh karena Bok
Holouw setjara sembunji memberikan petundjuk, maka si Tosu itu
terdesak. Menurut aturan Tosu itu mestinja tahu gelagat dan
menjudahi pertempuran, karena sebetulnja ia hanja disuruh
menghantar surat.
Namun karena selama hidupnja Tosu ini belum pernah mengalami
kekalahan, dan ia tahu benar bahwa ilmu silatnja menang djauh
dari pada Keng In Wan, maka mana mau ia mengerti dan mundur? Si
Tosu tidak tahu bahwa ada orang lain jang setjara sembunji
memberikan petundjuk2 rahasia. Tiga kali si Tosu menerdjaug Keng
In Wan, tapi berturut-turut ia djatuh terpental. Bahkan tiap
kali djatuh, tiap kali lebih hebat sakitnja.
Tiba2 si Tosu merentjanakan suatu tipu jang djahat, malahan
kedji! Sambil menggertak giginja ia menjerang dengan tipu ”NgoKui Huan-Ju-Beng” atau Lima iblis memberontak dineraka! Hudtim
bersama telapak tangan menjerang berbarengan.
Keng In Wan menangkis dengan tipu "Hwee-Djit Eng Kong" atau
Sinar-bajangan-melingkari-matahari dari ilmu silat ”Kiu Jang
Tjiu-hoat tapi ia terdesak. Tetapi tepat pada waktu itu,
terdengar pula suara ditelinganja. ”Madju tiga tindak mundur
tudjuh tindak menjanggah pilar mengganti tihang Tjin San, Thee
Tjit, Tou Liong Hwan Tju.”
Keng In Wan kini sudah tunduk benar, tanpa pikir pandjang lagi
ia madju tiga tindak, lalu mundur tudjuh tindak.
Benar sadja, serangan2 jang ganas kedjam itu dapat dipunahkan!
si Tosu malahan berteriak bahna kagetnja ketika pinggangnja
ditangkap Keng In Wan. Tubuhnja diangkat dan dilempar bagaikan
orang melempar lembing. Namun baru sadja Keng In Wan merasa puas
hatinja, atau tiba2 tudjuh titik sinar menjambar kearah mukanja!
Sipemuda sedang lengah, maka tak sempat ia untuk berkelit!
Benar2 djiwanja terantjam. Tepat pada waktu itu, berkelebatlah
sesosok bajangan hidjau.
Terdengarlah suara gemerintjing dan semua titik bintang itu
lenjap diudara. Sementara itu, Keng In Wan sudah djatuh ketanah.
Bajangan hidjau itu tidak lain dari pada si anak perempuan jang
djelek rupanja.
Menjusul mana bajangan hidjau itu menubruk si Tosu. "Hun Kong
Tjui” atau Pasak-pembagi-sinar jang termasjur dikalangan hitam
maupun putih, dan si Tosu ketemu batunja.
Si Tosu bukan kepalang kagetnja. Maka ketika si gadis lompat
menjerang, tjepat2 ia bergulingan ditanah.
Namun sambaran angin tetap membajanginja. Ia mendjadi gelisah.
Disedotnja hawa Tjin-kie lalu bergulingan terus dengan
tjepatnja. Ilmu silatnja memang bagus dan tjara bergulingnja itu
merupakan sebuah tipu meloloskan diri diwaktu keadaan sangat
berbahaja. Ilmu itu disebut ”Tjie Djan Kut” atau Tikusmenjerobot-setjara-litjin.
Tak heran djika dalam waktu singkat ia sudah mentjapai puluhan
tombak djauhnja. Sekalipun demikian, sigadis terus
membajanginja! Terpaksa si Tosu mengerahkan tenaga dalamnja dan
memukul dengan Hudtimnja! Inipun merupakan tipu istimewa untuk
mentjari hidup dalam bahaja kematian.
Tjelaka! pada saat itu djuga tenaga seberat ribuan kati menekan
tangannja!
”Krek!”
Tangan kanannja terasa sakit luar biasa, si Tosu mendjerit
kesakitan.
Terdengarlah suara membentak: "Hoo-Dji, djangan terlampau kedjam
kau turun tangan..............."
Bermandi air peluh karena menahan sakitnja, si Tosu berdiri
dangan gemetar, tangan kanannja terkulai patah. Tapi si Tosu
bersemangat besi, ia menggertak giginja dan tangan kiri merogoh
sakunja. Dikelurkannja pisau belati jang lantas diangkatnja dan
dikibaskannja!
Si Tosu memutus tangan kanannja jang patah. Darah mengutjur amat
derasnja. Wadjahnja putjat mengerikan, ia masukan tangan
sebelahnja kedalam saku, dan mengambil bungkusan obat. Dibukanja
bungkusan obat itu lalu diborehkannja obat itu pada lukanja.
Kemudian ia sobek lengan badjunja untuk membalut tangan kanannja
jang putus itu.
Barulah ia menengadah kedepan. Terlihat olehnja dihadapannja
berdiri seorang setengah tua, usianja kurang lebih empat puluh
tahun.
"Bedebah! Melihat tjara gerakan tanganmu, mestinja kau adalah
murid iblis tua dari Hoa-San-Pay! Apakah tua bangka itu tidak
tahu akan tabiatku dan menjuruh kau kemari untuk memantjing
kemarahanku? Hm, seandaikata aku tidak berhati belas kasihan,
tak akan kuizinkan kau turun dari puntjak Mao-Li-liong ini!"
Kini si Tosu betul2 tunduk.
"Sudahlah”, pikirnja, "Kuserahkan surat padanja, lain kali
dipikir lagi! Maka dibereskannja pakaiannja lalu memberi hormat
kepada orang dihadapannja itu.
"Pinto murid Thian Ie Siansu dari Hwa-San jang bernama Hie Siu
Tjeng berdjuluk Tiat Hut To-djin. Pinto membawa perintah suhu
datang kemari untuk menjampaikan surat, tidaklah kunjana
mengalami peristiwa seperti sekarang ini ........ Sesungguhnja
umpama kata dua negara bertengkar masing2 pihak, tidak boleh
melukai utusan, tetapi Pinto sebaliknja mengalami perlakuan jang
demikian..................”
"Kunjuk!! Kau sendiri jang petantang-petenteng mentjari ribut!
Kau tidak minta bertemu sebagai utusan djuga tidak mengeluarkan
surat. Kau mengandal pengaruh dan nama Thian Ie Siansu, berani
menjerang orang dihadapan kami. Djika kau tidak mengatakan hal
ini, aku tidak persalahkan dirimu. Tapi sekarang bukan sadja aku
tidak sudi menerima suratmu, bahkan kuusir kau turun dari gunung
ini! Djika hendak menjampaikau surat, Thian Ie Siansu harus
ganti orang lain! Pergilah kau dari sini!.....................”
Hie Siu Tjeng tak dapat menjelamatkun mukanja. Namun ia
bertabiat tidak suka mengalah, ia merogoh sakunja hendak
mengeluarkan surat untuk disampaikannja. Namun pada saat itu
djuga matanja mendjadi kabur. Tahu-tahu tubuhnja diangkat naik
dan terdengarlah orang tertawa dingin: "Kau berani main gila!!"
Tubuhnja melajang diudara bagaikan lajang-lajang putus talinja,
turun kebawah lamping gunung dan achirnja terguling-guling.
Berapa kali Hie Siu Tjeng hendak menahan tubuhnja namun tidak
berhasil. Baru setelah berada ditanah, tubuhnja berhenti
berguling. Dengan pakaian kojak2 dan badan kesakitan ia belari
terbirit-birit. Keng In Wan segera menghaturkan terima-kasihnja
kepada orang tua dan si gadis.
Ia bertanja: ”Lo tjian-pwee apakah kau bernama Bok Lotjianpwee?”
"Jang kau tjari siang-siang sudah kau temui. Kau telah melihat
empat buah buli-buli kaju. Hai, ajah mengatakan kau terlalu
bodoh. Tetapi inipun tidak djelek. Hanja ibuku itu,
ah.................."
Air mata sigadis ber-linang2.
Keng In Wan tertegun dihadapan "Siu Tjin Wan” empat buah buli2
kaju! Kata-kata ini, apakah maknanja? Hatinja bergerak! Kiranja
orang tua she Sin, pendeta bermuka merah, orang tua bungkuk dan
orang tua berbadju hidjau itu............. hanja seorang belaka!
Ah, apa Bok Lotjian-pwee memiliki kepandaian menjamar sedemikian
hebatnja?
"Tabiat ajah memang aneh. Ajah dan ibuku sudah berpisahan selama
dua belas tahun. Kau mengatakan bahwa kau disuruh ibu untuk
menemuinja. Demi mendengar nama ibu, ia djadi marah, namun
sebenarnja selama dua belas tahun ini, senantiasa ia
memikirkannja. Kau membawa barang titipan ibu, dan perintah
tinggulannja. Ajah mengira bahwa ibu mendustainja. Ajahpun
mengetahui bahwa kau baru sadja mengalami bentjana, dikirakan
bahwa kau pasti akan minta bantuannja. Ajah mengira diantara kau
dengan ibu terdapat hubungan jang akrab. Namun selama berapa
hari ini, kami dapat mengetahui bahwa kepribadianmu tidak
djelek......................... Achirnja, ketika diruang pendopo
kau serahkan kotak itu kepada ajahku, maka perasaan ajah makin
lunak. Ia keluar untuk menolongmu. Sekalipun anggota bagian
bawahnja tidak bisa bergerak namun rahasia pengerahan tenaga
dalamnja dari Sam Goan Kiong memang luar biasa. Karena musuh
terlampau kedjam, ajah mendjadi gusar. Dirampasnja benang ulat
sutra berapi itu, hingga ratjun jang mengeram didalam tubuhmu
itu dapat dipunahkanna.................."
Demi mendengar pendjelasan itu, Keng In Wan tambah terang
duduknja perkara. Ia merasa berterima kasih. Walaupun demikian,
ia masih belum mengerti tentang darah jang berlulahan didalam
ruang pendopo itu.
”Bodoh kau! Ajah sedang mengudji ketabahan hatimu. Boleh djadi
ajah hendak mengambil kau sebagai muridnja..................”
Keng In Wan tergerak hatinja.
Bok Holouw tersenjum mendengar itu. ”Djalan! Hajo masuk, nanti
bitjara dengan djelas,” ia berkata.
Ia berdjalan dan diikuti oleh kedua muda mudi ini masuk kekamar.
Keng In Wan berdiri dihadapannja dengan sikap hormat. Orang tua
itu kelihatan sedih. Ia memandang Keng In Wan, lalu bertanja:
"Dimana ia meninggal dunia?"
"Digua Thian Tju Tong digunung Tjinnia” djawab pemuda kita.
”Apakah kau jang merawatnja?”
”Ja!!"
"Nanti kau harua menemani kami untuk mengundjnngi tempat
kuburannja itu............... Ah, ia membuat aku hidup sangat
menderita............”
Orang itu lalu berpaling kebelakang dan berkata, "Hodjie,
semendjak kau berusia tiga tahun dan meninggalkan ibumu, selama
dua belas tahun ini, tiada seharipun kau tidak teringat padanja.
Tetapi, tidaklah kusangka bahwa sifatku jang keras kepala
achirnja membuat kau mengalami keadaan demikian menjedihkan.
Walaupun keenam pamanmu itu bukan orang baik baik, namun wanita
membela keluarganja memang hal jang wadjar. Apalagi aku pernah
bersumpah untuk tidak melukai seorangpun dari keluarganja. Namun
paman2-mu itu, djahat dan telengas. Mereka merusak anggota
bagian bawah tubuhku dengan Im Lim Teng (Paku Fosfor iblis) dari
Kui Ong Bun. Tetapi mereka lupa akan ilmuku Sam Goan Kiu Koan,
jang tiada taranja. Tak berhasil membinasakan aku, paman2-mu
jang sudah seperti orang gila itu, ingin membunuh kau. Inilah
jang memaksa aku menurunkan tangan kedjam sehingga lima pamanmu
binasa. Jang seorang lagi karena memandang muka ibumu baru
kuampuni. Siapa njana demi melihat majat2 saudaranja, ibumu
mendjadi kalap. Ibumu mendjerit-djerit, mentjatji aku kedjam
seperti binatang. Aku tak tahan lagi, aku membawa kau
meninggalkan rumah tangga. Kemudian aku datang kemari membangun
"Siu Tjin Wan" untuk mengasingkan diri, hidup menjepi! Maka
kedatangan Keng In Wan menimbulkan bentjiku kepada ibumu, jang
mula2 kukira tidak mau datang sendiri. Kukira ia masih dendam
dan bentji padaku.”
Keadaan sunji sedjenak.
"Tapi siapa tahu bahwa karena menangkap Oh Long Tjoa untukku,
ibumu kena rutjun. Sebetuluja ia hendak menggembleng ular itu
untuk dibawanja sendiri kemari, untuk kemudian dengan bantuanku
menghilangkan ratjun didalam tubuhnja dan memulihkan penghidupan
kekeluargaan kita jang bertjerai berai. Ah, sudah djalannja
karma! Keng In Wan jang di-kedjar2 musuh djatuh didepan gua
tempat tapanja. Ibumu bertempur dengan kawanan pendjahat itu,
hingga tenaga jang digunakan untuk mentjegah djalannja ratjun
itu mendjadi pudar. Segera ratjun mendjalar kedalam tubuhnja dan
menjerang djantungnja............”
Suara Bok Holouw makin lama makin sedih, achirnja ia terdiam.
Sin Thian Ju jang bergelar Bok Holouw adalah seorang tokoh utama
didalam dunia Kang Ouw, ilmu kepandaiannja sangat tinggi, dan
pengetahuan serta pengalamannja pun sangat luas. Karena
melakukan tugas penegak keadilan didunia Kang Ouw, maka ia
terlambat kawin. Achirnja ia berdjumpah dengan Kiang Liang Souw
jang bergelar Say Kuan Im, seorang pendekar wanita. Setelah
saling berkenalan dan bantu membantu, maka dua pendekar itu
djadi kawan seperdjuangan dan achirnja membentuk rumah tangga
bersama. Jang satu sudah berusia empat puluh tahun lebih, jang
lain pun sudah berusia tiga puluh satu tahun.
Kiang Liang Souw tersohor sebagai seorang wanita jang mendjaga
diri bagaikan menjajang batu mustika, pribadinja maupun ilmu
silatnja semua melebihi orang biasa. Namun lain halnja dengan
keenam adik laki2nja jang suka berbuat sewenang-wenang dan
malang melintang melakukan kedjahatan.
Kiang Liang Sonw diam2 kuatir suaminja bentrok dengan adik2nja.
Tombak dan golok tidak mempunjai mata, bilamana sampai ada
seorang dari adik-adikhja jang mati karena perkelahian dengan
suaminja, apa kata orang? Inilah hebat!. Oleh karena ini Kiang
Liang Souw membudjuk adik-adiknja agar mengubah kelakuannja jang
buruk, agar mendjadi orang baik2. Namun sia2 belaka.
Pada suatu hari adik Kiang Liang Souw jang ketiga, jaitu Kiang
Liang Kie dipergoki oleh Sin Thian Ju dalam perbuatannja
merampas wanita keluarga baik2. Sin Thian Ju mendjadi murka, ia
menjerang iparnja sampai babak belur. Sedjak itu Kiang Liang Kie
dan saudara2nja mendendam hati permusuhan terhadap Sin Thian Ju.
Tetapi nampaknja sudah ditentukan oleh Jang Maha Kuasa bahwa
diantara mereka jang djahat dan jang baik itu, mesti timbul
bentrokan! Kiang Liang Souw memperoleh Seorang putri dari
perkawinannja dengan Sin Thian Ju jang bernama Lok Ho. Ketika
Sin Lok Ho berusia tiga tahun, enam saudara Kiang itu berlagak
tobat dan mengubah kelakuan buruknja.
Mereka be-ramai2 membawa pelbagai mainan berkundjung kerumah Sin
Thian Ju. Melihat muka istrinja, Sin Thian Ju melajani mereka
dengan baik-baik. Kiang Liang Kouw, adik laki2nja jang kedua
pura2 mendukung Lok Ho sebentar setelah mana lalu diserahkannja
kembali kepada Sin Thian Ju.
Pada saat lengah itulah, Kiang Liang Kouw menjerang dengan dua
buah paku Im Lim Pek Kut Teng, sendjata-gelap dari Ju Leng Bun
jang terkenal keganasannja! Tapi Sin Thian Ju bukan sembarang
orang. Ia masih sempat menggeserkan tubuhnja sehingga paku itu
tidak mengenai djalan darah jang berbahaja namun tak urung
menghantam kedua lututnja! Hawa dingin lantas menjerang kakinja.
Bukan kepalang terperandjatnja Sin Thian Ju. Ia tertipu! Ia
menggerakan tenaga dalamnja untuk menutup djalan darah agar
ratjun tidak mendjalar. Kemudian sambil mendukung putrinja, ia
bertempur melawan keenam saudara2 itu. Sin Thian Ju mulai
beringas sorot matanja, ia gusar-bukan main. Apalagi keenam
orang itu senantiasa menjerang kearah putrinja! Inilah kedji
sekali!.
Sin Thian Ju mendjadi kalap! Ia berteriak mengguntur dan
menjerang dengan Sam Tjay Siang Tjan. (Penghantjuran-tiga-dunialangit bumi dan manusia), lalu Sam Goan Un Hwee (Tiga tjara
pengerahan tenaga alam bumi dan manusia)! Tay Sam Seng Tjoat
Biat (Pemusnahan tiga bintang besar)! Keluarlah ilmu2 rahasia
jan djarang kelihatan didunia persilatan, dikerahkan dengan
tenaga Sam Goan Sin-kang!
Sekalipun keenam saudara Kiang itu memiliki kepandaian jang
tinggi, tapi mana dapat bertahan? Bahwa keenam saudara tidak
dapat meloloskan diri. Mereka bertempur sehingga satu hari satu
malam. Achirnja Kiang Liang Gie jang tertua, Kiang Liang Kouw
jang kedua, Kiang Liang Kie jang ketiga, Kiang Liang Sin jang
kelima, Kiang Liang Lin jang keenam, satu demi satu binasa dalam
telapak tangannja! Masih seorang lagi Kiang Liang Hoa, ketika
hendak dibunuhnja djuga, tiba2 teringatlah ia akan permohonan
istrinja: „Djangan sampai keluarga Kiang putus
turunan.............” perkataan itu mendengung ditelinganja.
Tangan Sin Thian Ju d jadi lemah. Kiang Liang Hoa hanja terluka
parah. Seraja menggertakkan giginja, Sin Thian Ju mengerahkan
tenaga dalamnja untuk membujarkan ratjun Im Lim Pek Kut Teng.
Tapi sajang sekali! Ratjun itu sudah masuk kedalam otot2-nja.
Berdjalan ia masih dapat, tetapi untuk berputar atau melompat,
banjak sekali makan tenaga. Djustru pada ketika itu, istrinja
pulang! Melihat majat2 saudaranja bergelimpangan, putjatlah
wadjahnja bahna kagetnja. Ia melihat pula roman suaminja jang
beringas menakutkan, ia lebih merasa sedih. Ia mengeluarkan
beberapa patah kata, lalu bertengkar mulut.
Sin Thian Ju beranggapan bahwa istrinja terlalu membela
keluarga. Tanpa banjak bitjara lagi, ia mendukung Sin Lok Ho,
lalu pergi dari rumah itu. Sedjak peristiwa ngeri jang timbul
itu, kedua suami istri tersebut tidak pernah bertemu lagi.
Malahan kini mereka tidak akan berdjumpa untuk selama2nja.
Sebenarnja tidak lama kemudian, Kiang Liang Souw mengerti
duduknja perkara. Ia sangat menjesal. Ia pergi menjerapi kabar
maka achirnja diketahuinja bahwa Sin Thian Ju membangun kuil Siu
Tjin Wan dan hidup menjepi dipuntjak Mao Li Hong. Ia telah
mengetahui djuga bahwa kaki Sin Thian Ju tjatjat.
Diam2 ia pergi kesegala pelosok untuk mentjari keterangan
tentang pengobatan kaki jang tjatjat demikian itu. Achirnja ia
mendapat petundjuk bahwa ratjun Im Leng Pek Kut Teng itu, hanja
dapat diobati dengan ratjun ular Oh Leng Tjoa jang diberi makan
tjusee bersama Hiat Djo (rumput darah). Oh Leng Tjoa itu harus
dipiara sampai kulitnja tumbuh titik2 berwarna kuning emas.
Kaki jang tjatjat harus digigitkan ular itu, agar ratjun ular
itu melawan bisa Im Leng Teng. Kiang Liang Souw mulai mentjari
ular Oh Leng Tjoa. Kemana-mana ia tjari namun tidak berhasil. Ia
tidak berputus asa. Gagal disini, ia tjari di lain tempat.
Kesungguhan dan kesabarannja memang dapat dipudji.
Achirnja dibelakang kebun rumah Keng Kong Tiat diketemukannja
seekor ular Oh Leng Tjoa jang ditjarinja. Susah pajah dan dengan
bantuan Keng In Wan jang masih pemuda remadja, maka berhasil
djuga ditangkap ular Oh Leng Tjoa itu. Dibawanja pulang ketempat
tinggalnja digunung Tjiong Lam San. Ular itu diberinja makan
Tjusee dan rumput Hiat Djo.........
Pada suatu hari karena lengah, Kiang liang Souw terpagut ular
berbisa! Tjepat ia mengerahkan tenaga dalamnja, menjalurkan
ratjun itu pada suatu tempat bagian tubuhnja.
Sebenarnja ia sudah dapat mengantarkan ular itu sendiri kegunung
Hwa San, namun kini ia mendjadi terlambat. Kebetulan pada saat
itu Keng In Wan sedang dikedjar2 musuhnja dan terdjatuh di depan
gua tempat tinggalnja. Terpaksa Kiang Liang Souw turun tangan
dan bertempur dengan pendjahat2 tersebut, hingga semuanja
terluka parah.
Namun karena mengerahkan tenaga terlampau banjak, ratjun ular
mendjadi bujar! Ratjun Oh Leng Tjoa mendjalar kedalam anggota2
tubuhnja...............
Selama belasan tahun, Kiang Liang Souw mengalami banjak pahit
getir, maka soal mati dan hidup sudah dianggapnja tidak begitu
penting. Tapi ia masih tidak dapat bebas dari gangguan asmara,
oleh karena ini maka ia minta Keng In Wan untuk mewakilinja
membawa ular Oh Leng Tjoa kegunung Hwa San untuk dipersembahkan
kepada suaminja.
Diwaktu hidupnja ia tidak berhasil melenjapkan kesalahfahaman,
maka diwaktu matinja ia harus melenjapkan kesalahfahaman ini.
Demikinlah achirnja Keng In Wan mentjapai djuga puntjak Mao Li
Hong digunung Hwa San. Sin Thian Ju menganggap istrinja sudah
hilang tjintanja, maka ia hidup menjepi digunung Hwa San.
Tidaklah disangkanja bahwa setelah lewat dua belas tahun,
istrinja mengutus Keng In Wan pemuda ini untuk menemuinja.
Bahkan mengatakan membawa perintah wasiat segala.
Sin Thian Ju mengira istrinja hendak menipu agar ia turun gunung
atau menghendaki supaja Keng In Wan diadjar ilmu kepandaian
sadja. Maka hendak diudjinja lebih dahulu sipemuda ini.
Berapa kali ia menjamar dan mempermainkan Keng In Wan. Tidaklah
di-sangka2 olehnja, bahwa sekalipun muda usianja, namun hatinja
tabah. Ketika mendengar perkataan Keng In Wan bahwa kotak jang
diserahkannja itu adalah kiriman istrinja, hatinja tergontjang
djuga. Ia buka tutupan kotak itu. Ular Oh Leng Tjoa jang sudah
lama dikurung didalam kotak itu, segera hendak keluar meloloskan
diri sambil memagut! Tambah pula oleh karena binatang itu makan
Tjusee dan rumput Hiat Djo, maka tenaganja hebat sekali.
Sin Thian Ju terperandjat luar biasa. Tjepat2 ia kakinja tidak
dapat bergerak leluasa, maka pahanja terpagut ular itu djuga.
Mula2 ia beranggapan istrinja hendak membalas dendam. Namun
tiba2 kakinja jang sudah hilang rasa itu mendjadi panas seperti
terbakar api. Kemudian terasa kesemutan. Hal ini belum pernah
dialaminja!
Tanpa ajal ia mengerahkan tenaga dalamnja! Kali ini tenaga dalam
dapat menembus kebagian kakinja tanpa sedikit mengalami
rintangan. Ia heran sekali.
Sementara Sin Lok Ho sudah menangkap ular Oh Leng Tjoa. Sin
Thian Ju memungut kotak itu dan melihat sehelai kertas tulisan.
Ketika dibatjanja, maka air matanja ber-linang2. Itulah pesanan
dari istrinja jang mengutarakan kemenjesalannja dan minta maaf.
Diuraikannja tentang kasiat ular Oh Leng Tjoa jang dapat
menghilangkan ratjun Im Leng Teng.
Achirnja diminta agar mendjaga Sin Lok Ho putri tunggalnja itu
baik2 dan mengenai Keng In Wan jang mempunjai dendam sakit hati.
Menggigillah sekudjur tubuh Sin Thian Ju, ia baru tahu bahwa
istrinja benar2 meninggal dunia.
Teringatlah ia kembali segala kedjadian pada masa jang lampau,
dan air matanja mengalir amat derasnja.
Ia menangis berhadap-hadapan dengan putrinja. Mereka menjesal,
namun sudah terlambat. Serta-merta Sin Thian Ju bertanja pada
Keng In Wan mengenai asal usul permulaannja. Keng Kong Tiat,
ajah Keng In Wan merupakan ahli Waris tunggal partai Heng-San
Pay. Ibarat pohon rindang mudah mendatangkan angin, banjak pula
orang2 jaug dengki kepadanja. Pada suatu hari ia mengawal barang
kiriman, ia kebentrok dengan kepala kepala kawanan perampok
didanau Tong Teng Ouw!
Adapun kepala perampok itu bernama Gak Tju Siang berdjuluk Hui
Thian Giok Liong (Naga kemala terbang) Dia kaja raja dan besar
pengaruhnja, anak buahnjapun tidak sedikit. Pergaulannja didunia
djalan hitam sangat luas.
Dengan be-ramai2 ia menjateroni rumah Keng Kong Tiat. Tidak
sadja seluruh isi rumah dibunuhnja bahkan kedelapan orang
muridnja djuga tiada seorang jang lolos dari djaring mautnja.
Bahkan Keng In Wan djika tidak kebetulan dapat kesempatan untuk
bersembunji didalam lubang gunung gunungan, iapun tak akan dapat
lolos. Achirnja ia berhasil bertemu dengan Kiang Liang Souw,
hingga ketulungan. So-konjong2 Keng In Wan mendjatuhkan diri
berlutut dihadapan orang tua itu sambil berkata.
"Lotjianpwee.................. Pendjahat Gak Tju Siang adalah
duri bagi rakjat djelata jang harus dibikin mampus.
Lotjianpwee,............ gemblenglah aku  agar mendjadi
pandai. Aku hendak menghabiskan njawa djahanam itu, dengan
antek2nja sekaligus. Kiang Lotjianpwee mengatakan, bahwa hanja
kau, orang tua jang mempunjai kepandaian untuk
membunuhnja......"
Sin Thian Ju borpikir sebentar, kemudian berkata per-lahan2:  „
Kepandainku tidak mudah ditjapai selain daripada harus sabar,
djuga harus mempunjai bakat. Tapi, ah! Tjoba sadja
peruntunganmu....."
Demikian semendjak hari itu, Keng In Wan mendjadi murid Sin
Thian Ju alias Bok Holouw.
Keesokan harinja ketika Sin Lok Ho tengah mengadjarkan Keng In
Wan ilmu mengatur djalan pernapasan, tiba2 terdengar suara orang
dari luar: „Mohon izin untuk menjampaikan surat!"
Sin Lok Ho berlari keluar bersama Keng In Wan. Ketika sudah
keluar, nampak oleh mereka seorang hwesio tua jang gagah keren
sikapnja, sedang membungkukkan tubuhnja.
Dari sekudjur tubuhnja sudah mengeluarkan asap berwarna putih.
Dihadapannja berdiri Sin Thian Ju, sedang merangkap tangannja
membalas hormat dengan sikap wadjar.
Mata Sin Lok Ho sangat tadjam, sekali lihat sadja ia tahu bahwa
ajahnja sedang menjerang dengan tenaga Bu Heng Tjin-kie (Tenaga
asli nan tak ber-bentuk2).
Hweesio itu bergulat mati2an mengerahkan tenaganja untuk
melepaskaskan diri. Namun Sam Goan Tjin-kie dari Sin Thian Ju
lebih hebat dibandingkan dengan Bu Heng Kang-kie jang
dimilikinja.
Malahan lebih hebat lagi! Karena djika hweesio itu kalah, maka
seluruh kepandaiannja akan hantjur sama sekali! Sin Lok Ho tak
tega hatinja, timbul belas rasa kasihannja. Karena ia melihat
bahwa hweesio itu sudah mengerahkan tenaga dalamnja sampai
puntjak penghabisan!
Djika diteruskan, tjelakalah dia! Maka gadis jang baik itu,
berseru dengan njaring.
„Hwesio tua, apakah kau masih tidak mau mengaku kalah?"
Sebetulnja hweesio itu bukan tidak tahu keadaannja, tapi ia
tidak punja muka untuk menjerah. Sebaliknja karena seruan Lok Ho
itu, Sin Thian Ju bersiul njaring. Pada detik itu djuga ia
mengibaskan tangannja dan hweesio itn terpental keatas udara
bagaikan diangkat angin.
„Djika bukan putriku berbelas kasihan aku pasti bikin kau turun
gunung dengan hantjur seluruh kepandaianmu, lekas serahkan
suratmu!”
Dengan sekudjur tubuh babak belur, hweesio itu merajap bangun.
Merah mukanja karena malu. Ia madju kedepan dengan likat sambil
mengangsurkan surat bersampul merah. Sin Thian Ju menjambutinja
dan tampaklah sebaris tulisan.
„Disampaikan kepada Sin Thian Ju, pendekar tersohor dari OuwHai". Dibawahnja tertera sipengirim „Hwa San Ngo Lo” atau Lima
orang tua dari gunung Hwa San.
Ketika dibukanja, didalam sampul itu terdapat surat menantang
mengadjak bertempur, jang kata2nja tidak teratur rapih. Hampir
sadja Sin Thian Ju tertawa karena gelinja. Setelah berpikir
pula, sambil bergeleng-geleng kepala ia berkata: „Baiklah aku
akan menepati djandji."
Hweesio itu manggut ber-ulang2 dan mundur. Setelah keluar dari
pintu Siu Tjin Wan, tanpa ajal ia melantjarkan kaki seribu lari
turun gunung.
„Oleh karena kita menghadjar si imam she Hi itu kini Hwa San Ngo
Lo mendjadi marah. Selama dua belas tahun aku sudah tidak
berurusan dengan dunia Kang Ouw. Dan buli2 merah dari suhuku
sudah banjak tahun tidak terlihat orang, nanti bulan tiga tahun
depan rupanja harus menemui mereka................" Sin Thian Jn
berkata kepada putrinja dan Keng In Wan.
Tanpa ajal pemuda kita mendjatuhkan dirinja berlutut: "Tidaklah
kunjana bahwa karena urusanku Insu djadi bermusuhan seperti
ini..................”
Sin Thian Ju tertawa tergelak-gelak: „Bulan tiga tahun jang akan
datang, setelah menemui Hwa San Ngo Lo, akupun harus menemani
kau menuntut balas. Harus diketahui bahwa djika istriku tidak
bertempur dengan kawanan pendjahat itu, tak nanti ia sampai mati
karena ratjunnja bekerdja. Inipun berarti diantara Gak Tju Siang
dengan aku, ada djuga sedikit hutang piutang jang harus
dibereskan. Muridku, melihat bakatmu dan pengadjaranku serta
kedua bendera Leng Hun Huan ini............kau pasti dapat
membunuh musuh2mu.”
Keng In Wan menjatakan terima kasihnja atas kemurahan hati orang
tua itu, namun didalam hatinja ia agak sangsi. Ia sangsi apakah
dapat berhasil mempeladjari Sam Goan Sin-Kang.
Hari pertama Lok Ho mengadjarkan teori, sekalipun dapat
menangkap sedikit artinja, namun untuk memahami seluruh arti
berapa patah kata-kata itu, tidaklah mudah. Namun ketika itu Siu
Thian Ju bersenjum.
"Asalkan kau beladjar dengan sungguh2, maka tidak ada hal jang
sukar didalam dunia ini. Lihat sadja
peruntunganmu..............."
Kata2 ini menjadarkan Keng In Wan dari alam mimpinja, maka
berpikirlah ia: „Untuk kepentingan membalas dendam, sekalipun
hantjur lebur tulang ragaku, aku tidak takut. Peri bahasa pun
ada jang mengatakan demikian, "Ketjuali mati tidak ada hal jang
terlampau sukar," maka asalkan aku beladjar dengan sungguh2 dan
tekun, apakah jang dapat menggagalkan
usahaku......................”
Semendjak hari itu. dibawah petundjuk Sin ThianJu, Keng In Wan
beladjar melatih Sin Kang dengan radjin serta tekunnja. Keng In
Wan seorang pemuda jang bersemangat me-njala2, ditambah pula
sangat menginginkan tjepat2 dapat membalas sakit hati
keluarganja, maka dalam latihannja ia tidak menghirauikan segala
kesukaran. Ia beladjar mati2an! Atjap kali sedari pagi sampai
malam terus menerus, atau dari malam terus hingga pagi, tidak
henti-hentinja ketjuali diwaktu tidur.
Siu Thian Ju menjaksikan muridnja jang luar biasa radjinnja,
dalam hatinja merasa lega dan puas. Sementara itu perhubungan
Sin Lok Ho dengan Keng In Wan mendjadi akrab. Sigadis semendjak
ketjilnja hanja hidup berduaan sadja dengan ajahnja, belum
pernah ada orang mengundjunginja.
Ketika pertama kali Keng In Wan datang kerumahnja, mula2 timbul
rasa simpati dalam hatinja akan nasib sipemuda jang buruk, tapi
lama kelamaan oleh karena bertjampur gaul terus menerus maka
timbullah perasaan tjinta pada sipemuda jang gagah-tampan.
Mulai hari ini, ia merawat tubuh dan mukanja, hingga lama
kelamaan mukanja jang dahulu hitam seperti pantat kuali,
mendjadi hitam manis. Bibirnja selalu menjadjikan senjuman jang
hangat dan menawan dan matanja berbinar tjahaja asmara.
Tjintanja pada Keng In Wan adalah murni dan indah.
Sin Lok Ho kini mulai mengetahui kebahagiaannja pertjintaan,
kurnia dari Thian kepada Machluknja.
Siu Tjin Wan jang tadinja sunji sepi berubah mendjadi taman
Surga dimana hawa asmara memenuhi udara. Sin Thian Ju diam2
mengetahui perhubungan sutji antara putrinja dengan Keng In Wan,
namun bukannja melarang, malahan ia bergirang hati. Keng In Wan
selain gagah tjakap, djuga berperibadi luhur dan bersikap
ksatrya.
Pada suatu malam, rembulan indah tjemerlang.
Tjahajanja jang bagaikan perak djatuh ber-limpah2 ditanah
sekitar kuil Siu Tjin Wan. Pemandangan indah sekali dan suasana
njaman dan segar. Dedaunun bergojang-gojang ditiup angin jang
meniup sepoi-sepoi, menghembus dari djauh nun disana, dimana
mata tak dapat memandang.
Tapi tersembunji dibelakang pohon2 bambu jang tipis, mengintip
dari sela2 daun jang kurang lebat, bertjanda dan berkasihkasihan sepasang muda-mudi jaitu Keng In Wan dan Sin Lok Ho.
„Moay-moay jang tertjinta, dan tjantik seperti dewi Kahyiangan.
Aku datang dari rantau untuk memandang sinar matamu jang tadjam.
Dan aku bilang terus terang, bahwa sebelum dapat merebut dan
menguasai hatimu, aku tidak mundur, biar badan dan njawaku
hantjur."
Sang gadis tersenjum, ia pandai pula bermain dengan kata-kata.
„Tidak, pemuda asing. Tidak!" sahutnja menggoda.
„Aku tidak mempunjai hati! Dan seumpama kata ada, aku tidak
nanti berikan itu kepada hati jang buta. Kau salah mata.” Ia
mengangkat kepalanja dengan angkuh, sambil membereskan rambutnja
jang pandjang.
Keng In Wan memegang tangannja jang halus, dan dengan hati berdebar2 ia berkata: „Pantun jang bagus!" udjarnja. „Tetapi, moaymoay, kau sendiri mendjustai hatimu. Kau melawan, kau menipu,
kau bunuh perasaanmu sendiri.”
„Salah pemuda. Dengarlah! Hati itu bagaikan kembang. Sebelum
datang musimnja, ia tidak akan bersemi. Hati manusia, kalau
dasarnja tidak ada, ia tidak bisa dipaksa datangnja menurut
kemauan orang. Djodoh kita tidak bertemu barangkali............”
Sin Lok Ho menutup omongannja dengan satu lirikan......
mengusir.
Rembulan diatas angkasa se-olah2 bermesem-simpul melihat tjumbu
raju sepasang muda-mudi itu jang sedang mengetjap kenikmatan
tjinta.
„Baunja kembang harum, durinja kembang tadjam. Sungguh manis
madu, sungguh pahit njali burung Hong..............." Sembari
berkata, Keng in Wan menarik tangan Sin Lok Ho kedekatnja dan
ketika muka mereka berhadap-hadapan, tak tahan lagi ia mongetjup
bibir sigadis dengan hangatnja.................
Berkat petundjuk dan pimpinan Sin Thian Ju jang maha sakti,
serta bakatnja sendiri jang memang sangat baik itu, ilmu
kepandaian Keng In Wan pesat madjunja.
Ditambah pula dengan ilmunja sendiri dari Heng San Pay jang
bernama Kiu Yang Tjhiu-hoat, maka sekalipun waktunja tidak
pandjang, hanja berapa bulan sadja, tapi ilmunja sudah djauh
berbeda dari pada ketika ia baru sadja naik kepnntjak Mao Li
Hong. Boleh diibaratkan seperti langit dan bumi.
Pada achir tahun ini, ketika Keng In Wan menggunakan tenaga
Thian Goan Kin, Sin Thian Ju mengadjarkan tjara penggunaan
sendjata bendera Leng Hun Huan jang dirampasnja dari Im Yang
Siang Sat.
Sin Thian Ju memang sangat gemar mempeladjari segala tjara
penggunaan sendjata, maka tak heran segala pedang golok dan
lain-lain sendjata banjak sekali terdapat didalam rumahnja.
Maka ketika melihat Im Yang Siang Sat menggunakan bendera Leng
Hun Huan, ia lantas mengetahui bahwa itulah merupakan sendjata
mustika. Djangan kata tentang bentuknja, hanja dipandang dari
benang ulat sutra berapi itu sadja sudah merupakan suatu benda
jang langka didunia. Oleh karena ini, maka tanpa ragu2
dirampasnja.
Kemudian ia mentjiptakan suatu ilmu baru, ditjampur dengan ilmu
silat Sam Goan Hun Hoa Tjhiu hoat.
Tidaklah dinjananja bahwa kelak kemudiau Keng In Wan dan Sin Lok
Ho berdua berkat ilmu penggunaan bendera tjiptaannja itu,
mendjadi termasjur diduuia Kang Ouw. Dengan Tjit Tjoat Leng Hun
Hoannja mereka berhasil mengalahkan tiga belas achli pedang Tong
Goan dan menggetarkan dunia Kang Ouw, baik dalam kaum djalan
putih maupun kaum djalan hitam.
Bulan berganti bulan dan waktu lewat dengan pesatnja. Dalam
waktu sekedjap mata sadja, tahu-tahu dua bulan telah terlampaui.
Sin Lok Ho bersama Keng In Wan berdua dibawah petundjuk Sin
Thian Ju telah paham menggunakan sendjata Leng Hun Huan.
Bahkan Sin Lok Ho dan Keng In Wan berhasil mentjiptakan suatu
tjara kerdja sama dalam bentuk terpetjah dalam persatuan. Debgan
tjara itu apabila dua orang sama2 madju, mereka dapat menggertak
disebelah timur sebaliknja menjerang disebelah barat, satu
mendjaga disebelah kiri, jang lain menjerang disebelah kanan.
Tjaranja sangat rapi dan rapat tiada lowongan atau kelemahan
jang dapat ditjari oleh lawannja. Tidak sadja dapat menjerang
tapi djuga dapat membela diri.
Demi menjaksikan ketjerdasan Keng In Wan sedemikian rupa ini,
Sin Thian Ju diam2 merasa girang.
Apalagi ketika Keng In Wan melakukan penjerangan, sentakan
tangan dan tikamannja adalah kuat dan tjepat.
Tubuhnja sangat lintjah dan gesit, segala sesuatu menundjukan
keluarbiasaannja. Dengan kepandaiannja jang sekarang ini sadja,
sudah dapat Keng In Wan bertempur dengan orang luar. Djika ada
waktu, maka Sam Goan Sin Kang akan mempunjai ahli warisnja.
Tak lama kemudian tahun telah berganti, tahu2 sudah tanggal
duabelas bulan tiga. Sin Thian Ju memanggil kedua anak muda mudi
itu kehadapannja. Diperintahkannja ber-kemas2 untuk berangkat ke
Hwa San memenuhi djandji Hwa San Ngo Lo.
Kedua bendera Leng Hun Huan disuruhnja dilipat menjerupai pedang
pandjang dan didukung dibelakang punggung.
Mendjelang berangkat diberi pula petundjuk-petundjuk sebagaimena
mestinja, lalu diberikannja doa restu untuk berdjalan.
Ketika Sin Thian Ju melangkah keluar pintu, maka kain kuning
dihadapan patung Sam Tjeng Tjin-djin tiba-tiba ditariknja.
Menjusul terdengarlah suara gemuruh. Sin Thian Ju tjepat2
melompat keluar pintu.
Tak lama kemudian, pintu rumah sutji itu rubuh kebelakang!
Pagarnja terbenam kebawah, ruang pendopo merapat djadi satu
kebawah. Nampak pula dari belakang terdapat sebuah panorama jang
bentuknja seakan-akan seperti tirai menutupi segala sesuatu.
Demikianlah rumah Sin Thian Ju ini tertutup oleh tanah gunung
jang penuh tnmbuh2an dan rumput, tidak kelihatan bekas jang
dapat ditjari orang.
Keng In Wan meleletkan lidahnja serta membuka matanja lebar2
bahna kagumnja, Sin Thian Ju tersenjum puas, kemudian bersama
Siu Lok Ho dan Keng In Wan ia berlalu pergi...
Bulan tiga tanggal tiga belas, Sang putri malam telah
memantjarkan tjahajanja ditjakrawala.
Dipuntjak Lok Goan Hong jang mendjadi sebuah Puntjak gunuug
diantara tiga puntjak Hwa San jang ternama, orang menjaksikan
bajangan orang jang berkelebatan. Seorang diantaranja adalah
orang tua jaug mengenakan pakaian serba hidjau, seorang lagi
pemuda gagah tampan dan seorang lagi wanita muda jang tjuga
berpakaian hidjau,
Setibanja dipuntjak gunung, si orang tua jang bukan lain dari
Sin Thian Ju memandang ke sekitarnja dengan penuh perhatian.
Setelah itu dengan tersenjum ia berkata: „Tanggal pertemuan
bulan tiga tanggal limabelas, kita datang kesini lebih dulu
untuk menjelidiki tentang keadaan musuh.
Apakah si tua bangka itu tidak mengatur djebakan atau barisan
maut dan sebagainja untuk mentjelakakan kita? Disini kulihat
tiga buah djalanan, kita harus mendjaganja setjara berpentjaran.
Seorang mendjaga sebuah djalanan, setelah itu kita berkumpul
menurut rentjana.
Djika ada sesuatu kedjadian, masing2 mengeluarkan suara
pertanda. Aku mempunjai peluit jang dapat mentjapai djarak
djauh, tidak terganggu oleh angin.
Tapi kalau tidak terlalu terpaksa, djanganlah digunakan agar
tidak sampai menjebabkan seperti kita memukul rumput untuk
mengedjutkan ular............”
Demikianlah setelah selesai berunding, ketiga orang itu lalu
berpentjaran.
Malam pertama tidak terdapat tanda apa-apa.
Hari kedua tanggal empat belas, ketika itu waktu kurung lebih
djam sebelas malam. Sin Thian Ju duduk bersila sambil meramkan
matanja mengheningkan tjipta. Tiba2 tertangkap olehnja suara
siulan njaring melengking diangkasa. Ia terkedjut. Dengan tjepat
ia bergerak, bagaikan burung raksasa berkelebat lari kearah
utara. Nampak olehnja sesosok bajangan hidjau berkelebat.
Sin Thian Ju jang sangat djeli matanja lantas tahu bahwa orang
itu tidak lain daripada putrinja sendiri
Ia lari mendahuluinja dan menoleh, lalu berbisik.
"Ho-djie, kau lupa menutupi mukamu!"
Mendengar teguran itu, Lok Ho berhenti: „Ajah, kau djalan
duluan."
Sin Thian Ju berlari terus, tjepat bagaikan melesatnja anak
panah. Sesaat kemudian ia tiba dilereng gunung sebelah utara.
Nampak olehnja bendera Leng Hun Huan ber-kibar2 mengeluarkan
suara angin jang men-deru2
Tiga bajangan orang bergerak mengitarinja. Sin Thian Ju lantas
tahu bahwa ketiga orang itu semua memiliki kepandaian tinggi,
lebih-lebih seorang tua jang mengenakan pakaian putih. Gerakan
tangan serta kakinja istimewa sekali! Sedang dua orang lain2nja
ialah Im Yang Siang Sat Ie Hong dan Yu Hun Liat. Rupanja ketika
melihat muntjulnja dua orang ini, Keng In Wan keluar menghadang
dan menjerang.
Sementara ketika melihat tjara Keng In Wan bertempur, Sin Thian
Ju diam 2 mengangguk-angguk kepalanja dengan puas. Tidak
mengetjewakan pimpinan, selama berapa bulan itu. Dibawah
pukulan2 bendera Leng Hun Huan jang ber-kelebat2 bagaikan
halilintar menurut djalannja ilmu silat Sam Goun Tjhiu Hoat
ketiga orang jang berilmu tinggi itu tidak dapat mendekati Keng
In Wan.
Sin Thian Ju sengadja berdiri berpeluk tangan membiarkan keadaan
tetap berlangsung. Ia menunggu kedatangan putrinja supaja
bersama muridnja menjerang bersama. Djika masih tidak dapat
mengalahkan barulah ia hendak turun tangan.
Sesaat kemudian dibelakangnja sudah terdengar suara orang
bergerak. Ia berpaling kebelakang. Putrinjalah jang tiba. Ia
memanggil putrinja dan memberikan kata2 petundjuk.
Sin Lok Ho sudah menjaksikan djalannja pertempuran, setelah
menerima pesan dari ajahnja, ia lompat madju kegelanggang
pertempuran. Sekali bergerak, ia mentjatji: „Tiga orang tua
menghina seorang pemuda! Apa tidak merasa malu! Aku datang!"
Demikianlah Sin Lok Ho tiba berbareng dengan suaranja, dan
bendera Leng Hun Huan berubah mendjadi tudjuh helai bajangan
tjahaja maut, berkibar-kibaran menjerang kepala si orang tua
jang berpakaian putih.
Orang tua ini tinggi kepandaiannja, ia dapat menghadapi
perubahan setjara teratur. Semula ia hanja menonton dipinggir
sadja, namun ketika menjaksikan Keng In Wan dalam waktu dua
tahun setelah keluarganja mengalami kebinasaan itu, kini sudah
memiliki Ilmu jang demikian hebatnja, bahkan Im Yang Siang Sat
jang merupakan pembantu utamanja masih tidak berdaja, bukan
kepalang terperandjatnja.
Djika tidak siang2 membinasakannja, maka kelak pasti akan
mendjadi bahaja besar.
Oleh karena demikian, iapun tidak lagi mengindahkan kehormatan
serta kedudukannnja didalam dunia Kang Ouw. Ia ikut mengerojok,
tiga orang melawan satu.
Keng In Wan sambil melawan Im Yang Sat, diam2 memperhatikan
orang tua badju putih itu. Ketika mengetahui orang tua ini ikut
turun tangan, bertekadlah hatinja. Ia tahu benar akan kelihayan
orang tua itu. Walaupun ia telah beladjar Sam Goat Sin-Kang,
belum tentu dapat mengalahkannja. Ditambah pula Im Yang Siang
Sat jang tinggi ilmunja ini, dengan satu melawan tiga bagaimana
ia dapat menang? Oleh karena itu ia meniup peluitnja. Sambil
menangkis serangan-serangan lawan2nja, dikeluarkannja seluruh
kepandaiannja. Bendera Leng Hun Huan ia putarkan menurut
petundjuk gurunja, diperkuatnja pertahanan dan segala lowongan
ditutupnja rapat-rapat untuk menanti datangnja bala bantuan.
Benar sadja Sin Lok Ho sudah tiba. Keng In Wan mendjadi besar
hatinja. Bendera Leng Hun Huan dimainkannja lebih bagus dan
lebih hebat. Sementara itu bendera Leng Hun Huan dari Sin Lok Ho
sudah lantas berkibar diudara menurut ilmu Sam Goan Siang Seng
Tjhiu Hoat, jaitu tjara permainan bekerdja sama jang mereka
berdua tjiptakan.
Sekali bendera Sin Lok Ho menjerang, bendera Keng In Wan lantas
mengimbanginja. Satu menggetar kebawah. satu lagi meninggal.
Tenaga raksasa lantas mengamuk.
Si orang tua berpakaian putih menghindarkan gelombang serangan
pertama, lalu menurunkan tangan berat. Ia keluarkan Liong Heng
Tjiang atau Telapak Tangan Naga Melingkar-lingkar. Ini hebat
sekali! Tubuhnja bergerak gesit-lintjah dan pukulannja tangkas.
Bajangan hidjau, memotong dan menghadang. Merampas!
Mentjengkeram didalam sambaran angin jang bergelombang bagaikan
taufan. Atjap kali muntjul Tjakar Naga! Orang tua itu hendak
merampas bendera maut!
Namun sekali orang tua itu menjerang, Keng In Wan sudah lantas
berteriak dengan gusar.
"Moay moay, pendjahat tua ini tidak lain dari pada Gak Tju
Siang. Rupanja ia disuruh malaikat atau ditarik iblis, sehingga
kini datang disini. Ganjang dia biar mampus!"
Sin Lok Ho berubah wadjah mukanja. "Apa? Pen-djahat tua ini
adalah Hui Thian Giok Liong? Mari bikin dia mampus!“
Bendera Leng Hun Huan sigadis menghantam dengan hebatnja, lalu
menaik dan mengibas bagaikan gunung-gunung ambruk!
Sementara itu Im Yang Siang Sat sudah bermandikan keringat
dingin. Mereka penasaran karena terang-terang bendera Leng Hun
Huan itu adalah sendjata miliknja serta tjiptaannja sendiri,
kini sebaliknja digunakan o'eh musuh untuk membunuhnja. Sendjata
makan tuan. Di-lain pihak Hui Thian Giok Liong Gak Tju Siang,
djuga gelisah luar biasa.
Mula2 ia besar hatinja karena dapat bersahabat dengan partai Hwa
San Pay. Terang-terang Hwa San Ngo Lo ilmu pedangnja lebih
tinggi setingkat daripada tokoh2 utama dunia Kang Ouw sekarang
ini. Apalagi menurut laporan putera dari Keng Kong Tiat telah
meloloskan diri kegunung Hwa San. Demikian kundjungannja ke Hwa
San kali ini dapat dikatakan sekali kerdja memperoleh hasil
banjak, pertama-tama ia dapat bersahabat dengan partai besar
jang sangat menguntungkan untuk pengaruhnja. Kedua dengan
perginja ke Hwa San ini sekaligus ia dapat membasmi keturunan
Keng Kong Tiat. Kini apa mau keadaan sangat kebetulan,
bertepatan dengan perkara Hwa San Ngo Lo jang hendak mengadu
kepandaian dengan Sin Thian Ju, untuk mengundjukan kemauan
baiknja, ia mengadjak Im Yang Siang Sat berkundjung ke Hwa San.
Ingin bertempur lebih dahulu dengan Sin Thian Ju!
Hal itu tepat seperti apa jang dipikir oleh Sin Thian Ju dengan
tibanja ke gunung Hwa San lebih dulu dari apa jang sudah
didjandjikan. Tidak tahunja belum sampai bertemu dengan tuan
rumah puntjak Lok Gan Hong, ditengah djalan ia sudah bertemu
dengan Keng In Wan.
Ia mendjadi girang sekali. Keng In Wan belum ditjari sudah masuk
perangkap sendiri, atau Sang mangsa mendatangi dihadapan mulut
harimau. Tetapi dengan keadaannja sekarang ini, malahan ia
sendiri jang masuk ke dalam perangkap!
Demikianlah ketiga orang djahat itu terkurung rapat2 dalam
serangan-serangan dua bendera Leng Hun Huan jang berkesiur-siur
laksana badai. Keng In Wan dan Sin Lok Ho terus mengepos
semangatnja, bertekad untuk menghabiskan njawa musuh2nja.
Ketjuali Hwa San Ngo Lo keburu datang, hingga pendjahat tersebut
pasti akan binasa.
Gak Tju Siang dan Im Yang Sat jang sudah banjak makan asam garam
dunia persilatan, setelah pertempuran berdjalan tiga puluh
djurus lebih, mereka insjaf akan bahaja. Mereka tahu bahwa
sekarang ini mereka ketemu dengan batunja. Mereka gelisah
sekali. Masing-masing bertempur mati-matian dan giat mentjari
djalan keluar. Pikirnja tak dapat menandingi musuhnja,
sedikitnja dapat mebloskan diri. Tetapi tepat pada ketika itu
djuga suatu bajang orang tua jang berpakaian hidjau sudah tiba
dan berkata lirih : "Ho-djie, mundur tiga bagi tudjuh In Djie
Goan Sun Huan...”
Mendengar petundjuk itu, maka kedua muda mudi lantas berputarputar bagaikan tengloleng, sebentar-bentar bertukar tempat.
Bendera Leng In Huan dari Sin Lok Ho tiba-tiba memandjang, lalu
mengkerut pula. Dan bendera Keng In Wan bergerak membuat suatu
lingkaran.
Ketiga orang jang terkurung itu mendadak merasa tenaganja
bertambah, tanpa ajal mereka mengerahkan seluruh tenaganja. Gak
Tju Siang bergerak dengan tipu Sin Liong Hian atau Naga-saktimuntjulkan-diri. Kedua telapak tangannja jang satu mengepal jang
lain melingkar, ia berontak melepaskan diri dari lingkaran
kurungan. Tjelaka! Tiba-tiba pandangan matanja mendjadi kabur!
Terdengar mendadak djeritan jang mengerikan.
Ie Hong kena pukulan Sam Hun Tiam atau Tutulan Tiga bagian jang
dilantjarkan oleh Sin Lok Ho dan tubuhnja lantas masuk kedalam
lingkungan penjerangan Keng In Wan! Seketika itu djuga tubuhnja
dilibat oleh bendera Leng Hun Huan dari Keng In Wan. Tubuhnja
terlempar diudara dan dengan mengeluarkan djeritan ngeri Ie Kong
mati seketika. Malaikat maut jang malang melintang selama banjak
tahun itu kini habis riwajatnja, mati dibawah sendjata
tjiptaannja sendiri.....
Bermatjam-matjnm perasaan mengaduk dalam pikiran Gak Tju Siang
dan Ju Hun Liat. Sedih, gusar, takut mati. Mereka bertempur
untuk menjelamatkan djiwanja. Semangat mereka sudah lemah.
Sebaliknja Sin Lok Ho bersama Keng In Wan besar hatinja atas
kemenangan jang pertama ini. Mereka bersiul njaring dan mendesak
lebih hebat pula. Angin menderu-deru bagaikan gelombang
menggempur partai menghantam kearah musuhnja. Gak Tju Siang
mimpipun tidak akan mengalami kesukaran jang sedemikian hebatnja
ini. Ingin kabur, namun djalan tidak ada, sudah tertutup.
Tiba-tiba terdengar pula Sin Thian Ju berseru: ”Ho-djie, lekas
lantjarkan pukulan Huan-Djit-Hong atau Bianglala memutarimatahari!”
Gak Tju Siang berteriak bahna kagetnja. Sinar bagaikan bianglala
melingkar turun kearah kedalamnja! Tjepat2 ia menolak keatas
bagaikan hendak mengangkat barang berat untuk menangkis pukulan
itu. Tjelaka! Pada saat itu djuga bahunja mendjadi kesemutan!
Ketiaknja terasa sakit. Bendera Sin Lok Ho menerobos, dan dengan
sekali menggulung, bahu sebelah kirinja terlibat. Bendera tiba2
ditarik, Gak Tju Siang tjepat2 hendak melompat mundur, namun
Keng In Wan sudah siap untuk melakukan balas dendam.
Sebuah tendanhan geledek lantas menjambar, menghantam perut
musuh-besarnja! Gak Tju Siang roboh terkulai.
Yo Hun Liat terkedjut bukan kepalang. Bersamaan sepasang mata
jang memantjarkan sinar beringas, penuh perasaan dendam menatap
padanja, menembus kedalam hatinja! Dilihatnja bahwa dalam sinar
mata itu membajang pula butir2 air mata.
Yu Hun Liat tergontjang. Disaksikannja pula air mata itu menetes
turun. Sekujdur tubuhnja mendjadi dingin. Namun ia tidak dapat
berpikir lama2, karena pada detik menjusul pinggangnja terlibat
bendera Sin Lok Ho. Ia berteriak kesakitan!
Dihadapan matanja bajangan bendera bergojang malang melintang,
dan tahu-tahu tubuhnja Sin Lok Ho dan Keng In Wan berdiri tegak
dengan semangat bergelora, mereka telah menang!
Namun sekonjong-konjong bentakan jang keras mendengung diudara!
Lalu sebuah bajangan berkelebat kearah sepasang muda-mudi itu.
Gerakan orang luar biasa tjepatnja! Terperandjat Sin Lok Ho dan
Keng In Wan lompat mundur untuk melihat pendatang itu setjara
tegas. Nampaklah seorang Tosu jang rambutnja putih bagaikan
saldju tapi wadjahnja merah bersemangat seperti anak muda.
Tangannja memegang sebilah  pedang pandjang jang memantjarkan
sinar dingin. Matanja berapi-api melihat dengan melotot kearah
muda-mudi itu. Fadjar sudah menjingsing. Hari ini sudah tanggal
lima belas bulan tiga.
Dibelakang Tosu itu muntjul empat tosu lain jang perawakannja
satu sama lain berbeda-beda. Mereka semua memandang pada kedua
muda-mudi itu dengan tertjengang dan kagum. Sementara si Tosu
tua itu berteriak dengan suara gusar: ”Hai, botjah2 tjilik!
Sungguh tinggi ilmu kepandaianmu........ pinto datang terlambat,
hingga tiga orang sahabat baik telah binasa ditanganmu. Kini
kamu harus ganti djiwa!"
Kemudian tosu itu menjerang, udjung pedangnja bergerak turun
dengan hebatnja serangan jang ganas sekali. Pedang menjambarnjambar laksana halilintar dengan menimbulkan suara alunan
angin. Sinar pedang bertitik-titik bagaikan bintang gemerlapan,
dan menusuk kearah Keng In Wan dan Sin Lok Ho.
Djarak antara mereka dengan si Tosu tua lebih dari tiga tombak,
namun pedang pandjang itu dapat menjerang dengan serempak.
Dapatlah pembatja bajangkan betapa hebatnja kepandaian si Tosu
itu.
Keng In Wan dan Sin Lok Ho tjepat2 lompat kesamping, namun
mereka njaris kena tusukan pedang! Kini terkedjutlah mereka
berdua.
Tanpa ajal mereka menjerang pula. Dua buah bendera jang masingmasing mempunjai tudjuh helai pita bagaikan air hudjan
bergojang-gojang dan menggetar diudara. Namun tosu itu tidak
mengetjewakan namanja sebagai ahli pedang nomor satu dari gunung
Hwa San. Menghadapi Leng Hun Huan jang seganas itu, masih tegak
berdiri dengan agungnja. Pedangnja bergerak diantara barisan
lawan, bagaikan beribu-ribu ular jang turun menerdjun kedalam
sebuah lubuk.
Kedua muda mudi terpengaruh oleh kegembiraan akan kemenangannja,
tak berani gegabah lagi. Mereka saling memberi isjarat dengan
pandangan matanja dan mendadak mereka berteriak mengguntur lalu
menjerang dengan dahsjatnja. Pantang mundur, madju terus!
Demikianlah Sin Lo Ho menjerang dari kanan, pemuda kita jang
menghantam dari bawah. Keras lawan keras! Bendera menjambar
dengan suara angin jang bergelombang dan menderu.
Tosu tua jang bukan lain dari Thian Ie Siu Su itu tak berhasil
menundukkan lawan2nja jang bekerdja sama dengan mahirnja.
Thian Ie Siu Su dengan sengit melantjarkan pedangnja dalam
djurus-djurus Louw In Kiam-hoat atau ilmu pedang Menembus Awan.
Tiga belas pukulan2 dan sambaran2 rahasia ilmu pedang sedjati
keluar semua, namun kedua pemuda itu tetap melajaninja dengan
senjum, dua buah bendera jang bersifat lemas itu berkibar-kibar
dalam ilmu Sim-Goan-Kin setjara berpetjah dalam arti persatuan.
Keng In Wan betul2 telah berubah djauh kepandaiannja. Ia
bertempur tangkas laksana harimau, gesit bagaikan rusa.
Bila sigadis mundur maka Keng In Wan madju, satu menangkis jang
lain menjerang. Sedikitpun tak ada lowongan jang dapat ditjuri.
Thian Ie Siu Su tergerak hatinja, kagum bertjampur marah, ia
tidak hendak lekas-lekas mentjari kemenangan, karena dengan
bertempur lama, sekalipun pemuda pemudi ini berilmu tinggi namun
ketahanannja tidak terlalu baik, ia pertjaja pemuda-pemudi itu
akan habis tenaganja. Pada saat itu barulah ia akan membunuh
mereka satu-persatu.
Pertempuran makin berketjamuk amat hebatnja. Keng In Wan
mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnja jang paling tinggi,
hingga dilain saat hanja bajangannja sadja jang kelihatan.
Sekonjong-konjong suara tertawa jang njaring menggetarkan rimba
nan sunji dan sebuah bajangan orang jang mengenakan pakaian
hidjau dengan sekelebatan berdiri diantara bajangan bendera dan
pedang pandjang. Itulah Sin Thian Ju!
"Tosu tua tahan pedangmu!" Kemudian Sin Thian Ju berpaling
kebelakang dan berkata: ”Keng In Wan, Ho-djie, lekas
mundur........”
Sekali lompat sadja, pemuda dan pemudi kita mundur.
Keempat tosu lain dari Hwa San Ngo Lo madju kedepan.
Thian Ie Siansu menarik pedang pandjangnja dan memandang dengan
tadjam, ia tahu ia harus hati2.
Dengan senjum simpul Sin Thian Ju berkata: ”Tosu tua, djanganlah
terburu napsu. Puteriku dan muridku tidak mempunjai sangkut paut
dengan urusan kita berdua. Kalau mau bertempur, lawanlah aku.”
Tersindir oleh Sin Thian Ju setjara senda gurau, Thian Ie Siansu
bukan kepalang gusarnja.
"Bok Holouw, kau berulang-ulang menghina murid-murid Hwa San
Pay! Djika pinto tidak menghadjar kau ini.....”
Sin Thian Ju tertawa bergelak-gelak. ”Ha-ha-ha! Pelahanlahanlah.......... kini  kita belum tahu siapa jang
menghadjar siapa. Tak usah marah-marah dulu. Aku hendak tanja,
bagaimana tjaranja mengadu kepandaian? Satu lawan satu, atau
lima lawan satu? Hanja segebrak sadja atau dua kali bertempur?”
Thian Ie Siansu membentak dengan marahnja: "Asalkan kau dapat
mengalahkan pedang pandjangku ini, maka partai Hwa San Pay
terhitung kalah didalam tanganmu!”
"Apa kata-kata ini sungguh-sungguh?”
"Baiklah, djika aku si orang tua kalah, aku aku bunuh diri
disini."
"Hm, djangan kata tentang kalah, tidak dapat mengambil
kemenangan dari kau boleh djuga dihitung kalah, djangan dihitung
seri. Bagaimana dengan sjarat ini?”
Mendengar kata-kata jang sangat sombong ini, Thian Ie siansu
makin gusar.
”Pendjahat tua jang sangat sombong. Lihatlah pedangku! Adjalmu
sudah tiba!"
Bianglala putih lantas melengkung-lengkung lalu menggetar
diudara mendjadi ratusan bintang. Getaran dan gerakan pedang
berubah mendjadi segumpal bajangan maut jang mengurung Sin Thian
Ju! Inilah djurus istimewa dan ilmu pedang Louw Hun Kiam (Pedang
Menusuk Roh) jang disebut Kui-Bok Ju-Kong atau Sinar Mata Iblis
Achirat! Serangan ini luar biasa dahsjatnja!
Tetapi Sin Thian Ju dengan tangan hampa, kelihatan tenang2
sadja.
Tidaklah disangka-sangka orang sama sekali bahwa tepat pada
waktu itu, terdengar suara tertawa njaring dan menjeramkan.
Menjusul itu Sin Thian Ju berteriak seperti geledek. Dalam
bajangan sinar jang bergulung-gulung itu sebuah bujangan putih
terpental keluar! Bajangan hidjau merampas pedang pandjang dari
tangan bajangan putih.
Untung walaupun masuk kedalam lingkaran tenaga Sam Goan Kin
Lang. sehingga tubuhnja terpental. Thian Ie Siansu tidak tinggal
diam begitu sadja. Begitu pedangnja dirampas, tjepat2 ia
menjerang dengan Liap-Tiat Siu Djiauw atau Tjakar Sakti
Menangkap Besi, ia lompat menubruk pedang pandjangnja dapat
dirampasnja kembali.
Dua orang berkepandaian tinggi bergebrak, walaupun waktunja
hanja sebentar sadja, namun sebenarnja mereka sudah bertempur
beberapa djurus. Sungguh hebat sekali! Kini pedang pandjang
sekalipun sudah pulang kembali dalam tangannja Thian Ie Siansu,
namun dalam pertempuran ini sesungguhnja ia sudah kalah.
Tanpa banjak bitjara pula Thian Ie Siansu menggerakkan tubuhnja,
bagaikan terbang berlari turun gunung, diikuti oleh keempat
kawan-kawannja.
Pertemuan digunung Hwa San puntjak Lok Gan Hong selesai.
Keng In Wan mendjatuhkan diri dan menangis kerena terharu dan
gembiranja, karena musuh2 besarnja jaitu Gak Tju Siang dan Im
Yang Siang Sat telah dibunuh olehnja.
Sin Lok Ho tarsenjum madu.
“Koko, marilah kita pulang,” bisiknja halus.
TAMAT

Kamis, 18 Mei 2017

Wanita Iblis Pencabut Nyawa 2 Tamat Kho Ping Hoo

Melanjutkan Postingan Sebelumnya yakni seri pertamanya, Wanita Iblis Pencabut Nyawa 1 Kho Ping Hoo

Wanita Iblis Pencabut Nyawa 2 Tamat Kho Ping Hoo
Benar-benar Pek Yang Ji tidak mengira akan kecerdikan nyonya ini dan hampir saja ia
terkena tipuan ini. Hawa pukulannya sendiri tidak mengenai sasaran, sebaliknya pukulan Sui
Giok dengan tepat menyambar dari bawah ke arah lambungnya. Akan tetapi, ahli lweekeh ini
mengerahkan tenaganya dan ketika hawa pukulan menyambar, tubuhnya hanya menjadi
miring saja, tidak sampai terdorong roboh.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
77
Sui Giok terkejut sekali. Tadinya ia merasa girang karena akalnya telah berhasil, akan tetapi
siapa kira lawannya demikian kuat sehingga dapat mempertahankan pukulannya yang dapat
merobohkan sebatang pohon tadi. Kembali Pek Yang Ji memukul, kini ke arah perut Sui Giok
sehingga nyonya ini cepat melompat ke atas menghindarkan angin pukulan dan membalas
dengan pukulan dari atas.
Berkali-kali mereka main pukulan, dan kalau Sui Giok selalu berusaha mengelak, adalah
pendeta itu dengan beraninya menerima hawa pukulan lawan tanpa terpukul roboh. Bahkan ia
lalu mengirimkan serangan pukulan bertubi-tubi sehingga sukar bagi Sui Giok untuk
mengelak di atas batu yang tidak berapa luas itu. Hampir saja nyonya ini terpukul roboh dan
hanya masih dapat menjaga keseimbangan badannya dengan melancarkan hawa pukulan dari
samping untuk menolak dan mengurangi tenaga pukulan lawan.
Ling Ling memandang pertandingan ini dengan wajah pucat. Ia merasa pasti bahwa kali ini
ibunya akan kalah, maka ia memandang dengan jidat berkerut dan hati berdebar. Akan tetapi,
Sui Giok adalah seorang yang cerdik sekali dan telah banyak mempelajari ilmu dari Bu Lam
Nio, di samping kesukaannya membaca buku-buku ketika dulu ia masih berada dengan
suaminya. Banyak buku-buku ilmu perang dibacanya sehingga ia menjadi cerdik dan penuh
akal.
Kini ia memutar otaknya untuk mencari jalan mengalahkan lawannya yang benar-benar
tangguh ini. Tenaga lweekangnya sudah mulai lemah karena banyak dipergunakan dan kini
peluh telah memenuhi jidatnya.
Tiba-tiba ia mendapat akal dan dengan keras sekali ia berseru.
“Pendeta busuk, kau rebahlah!” Sambil berkata demikian, ia cepat mendorong dengan gerak
tipu “Dewi Mendorong Batang Pohon” lawannya seperti tadi, akan tetapi pukulkannya ini
bukan ditujukan ke arah tubuh pendeta itu melainkan ke arah batu besar yang diinjak Pek
Yang Ji.
Sui Giok telah mengerahkan tenaga terakhir dan batu yang berat itu terkena dorongannya tak
dapat bertahan dan bergerak lalu menggelundung ke belakang. Serangan seperti ini sama
sekali tak pernah terduga oleh Pek Yang Ji sehingga pendeta ini terkejut sekali. Terpaksa ia
lalu melompat turun kalau tidak mau ikut menggelinding dan jatuh terjengkang.
Merahlah mukanya dan dengan tersenyum pahit ia lalu menjurah ke arah Sui Giok sambil
berkata, “Toanio, otakmu yang cerdik telah membuat aku yang tolol tertipu! Aku mengaku
kalah.”
Akan tetapi Sui Giok tidak dapat membalas penghormatan ini karena nyonya ini telah
menggunakan terlalu banyak tenaga dan setelah akalnya berhasil, ia berdiri sambil
memeramkan mata dan menghatur napas. Setelah ia membuka mata kembali, ternyata pendeta
itu telah mengundurkan diri ke dalam pos penjagaannya dan Ling Ling telah membimbing
tangannya.
“Ibu, kau hebat sekali!” gadis itu memuji, “Kalau tadi aku yang maju, belum tentu aku dapat
mengalahkan pendeta yang kuat itu.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
78
Sementara itu, seorang pendeta tingkat dua dari Pek-sim-kauw menghadap Liang Gi Cinjin
dangan wajah pucat.
“Sucouw, celaka, orang yang datang telah mengalahkan Sam-suhu, Si-suhu, dan Ngo-suhu!”
Akan tetapi Liang Gi Cinjin yang mendengar laporan ini tersenyum saja. Ia melambaikan
tangannya menyuruh murid itu pergi sambil berkata, “”Pergilah keluar dan biarkan orang
yang menang sampai ke sini!” Kakek yang sakti ini lalu duduk bersila dan dengan hati
gembira ia mengira bahwa “orang yang datang” itu tentulah Liem Sian Lun, muridnya yang
baru.
Kini Ling Ling dan ibunya telah berhadapan dengan penjaga keempat, yakni Pek Hong Ji.
Murid kedua dari Liang Gi Cinjin ani adalah ahli senjata rahasia dan ia memiliki kepandaian
melepas senjata rahasia yang disebut Pek-lian-ci (Bijih Teratai Putih). Begitu berhadapan
dengan Ling Ling dan Sui Giok, pendeta ini menantang.
“Kalian baru boleh masuk menemui suhu apabila dapat menghadapi senjata rahasiaku!”
Ling Ling dan Sui Giok terkejut sekali. Mereka belum pernah mempelajari tentang senjata
rahasia, dan biarpun mereka tidak takut akan serangan senjata rahasia akan tetapibagaimana
mereka akan dapat mengalahkan lawan ini apabila mereka tidak mempunyai senjatarahasia?
Mungkin dengan ginkang dan gerakan mereka yang gesit, mereka dapat menghindarkan diri,
akan tetapi itu bukan berarti menang.
Sui Giok yang banyak akal lalu berkata dengan suara penuh ejekan. “Totiang, senjata rahasia
hanya dipergunakan oleh penjahat-penjahat dan manusia-manusia curang, maka kata-katamu
tadi amat mengherankan hatiku. Bagaimana seorang pendeta dengan hatinya yang putih tega
hati untuk melakukan serangan kepada orang lain secara menggelap? Bukankah itu perbuatan
curang yang termasuk perbuatan hitam, tidak sesuai dengan hati yang putih?”
Merahlah wajah Pek Hong Ji mendengar ejekan ini. Belum pernah ada orang mengejeknya
tentang penggunaan senjata rahasianya, maka ia bertanya menyindir.
“Apakah kalian takut menghadapi Pek-lian-ci di tanganku?”
Kini Ling Ling yang melangkah maju dan menjawab, “Siapa takut menghadapi senjata
rahasiamu? Aku tidak mengharapkan pendeta palsu seperti kau untuk berlaku jujur. Majulah
dan berbuatlah curang dengan senjata gelapmu, aku akan menghadapimu dengan kaki dan
kepalan tangan. Terus terang saja, aku tidak bisa menggunakan senjata gelap sepertikau. Aku
tidak sudi berlaku seperti monyet yang tidak berani melawan manusia secara jujur, melainkan
naik ke atas pohon dan melempari manusia dengan buah busuk! Hayo, majulah!”
Bukan main sakit hatinya Pek Hong Ji mendengar ucapan gadis muda yang cantik ini.
“Bocah bermulut jahat!” teriaknya sambil melempar kantong Pek-lian-ci ke atastanah. “Apa
kau kira aku tidak dapat merobohkan kau dengan sepasang kepalanku?” Setelah berkata
demikian, ia lalu menyerang dengan tangan kosong.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
79
Ling Ling menjadi girang melihat sindiran mereka berhasil dan dengan waspada ia lalu
menghadapi dan menyambut serangan itu. Ia tidak tahu bagaimana ia harus menghadapi
lawan ini apabila pendeta ini benar-benar mempergunakan senjata rahasianya.
Bab 10…..
Dengan sengit sekali Pek Hong Ji lalu menyerang dan mengeluarkan ilmu silatnya Pek-simciang-hoat yang lihai. Kalau saja ia sudah mewarisi ilmu silat ini sepenuhnya, agaknya takkan
mudah bagi Ling Ling untuk mendapat kemenangan. Akan tetapi seperti juga empat orang
saudaranya, pendeta ini baru mewarisi delapan bagian saja dari Pek-sim-ciang-hoat.
Betapapun juga, ilmu silatnya sudah lebih masak dari pada kepandaian Pek Yang Ji dan dua
adik seperguruannya yang lain dan setiap pukulannya mendatangkan angin berdesir
sedangkan gerakannya cepat sekali. Juga di dalam tiap pukulan, ia mempunyai variasi lebih
banyak dari pada adik-adiknya.
Pendeta ini biarpun bertangan kosong, akan tetapi ia seperti memiliki empat lengan. Tidak
hanya sepasang kepalannya yang menyerang, akan tetapi juga dua ujung lengan bajunya ikut
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Kalau Sui Giok yang menghadapi Pek Hong Ji, nyonya ini tentu takkan dapat menang. Hal ini
diketahui baik oleh Sui Giok yang menonton pertandingan itu dengan hati berdebar. Akan
tetapi, menghadapi Ling Ling, Pek Hong Ji mendapatkan lawan yang amat berat. Ilmu silat
keturunan dari keluarga Kam sudah merupakan ilmu silat yang luar biasa kuatnya, apalagi
ilmu silat Kim-gan-liong-ciang-hoat, bukan main hebatnya. Gerakan-gerakan dua tangan Ling
Ling sedemikian cepatnya sehingga nampak seakan-akan gadis ini mempunyai enam buah
tangan.
Bagaimanapun juga, setelah bertempur selama lima puluh jurus, barulah Ling Ling berhasil
mendesak lawannya. Pada saat itu, Pek Hong Ji menyerang dengan gerak tipu “Harimau Sakti
Menubruk Bulan”, kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menyerang ke arah kepala Ling
Ling, sedangkan dua ujung lengan bajunya yang panjang meluncur ke arah leher gadis itu,
melakukan totokan dari kanan kiri.
Bukan main berbahayanya serangan ini yang merupakan serangan maut. Akan tetapi Ling
Ling yang bersikap tenang, memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa. Ia merendahkan
tubuhnya sehingga serangan kedua tangan itu tidak mengenai kepalanya dan dengan gerak
cepat, kedua tangannya bergerak ke depan mencengkeram ke arah ujung lengan baju itu.”
“Brett!!” ketika Pek Hong ji yang serangannya gagal itu melompat ke belakang, ternyata
bahwa ujung lengan bajunya telah terobek oleh cengkeraman tangan Ling Ling dan kini
robekan baju itu berada di tangan gadis itu.
“Hebat, hebat!” kata pendeta itu sambil menghela napas. “Kau cukup pandai untuk
menghadapi twa-suheng, nona!” Pendeta ini diam-diam berterima kasih atas kemurahan hati
Ling Ling, oleh karena kalau gadis itu mau, bukan ujung lengan bajunya yang robek, akan
tetapi bagian lain yang berbahaya dari tubuhnya.
Ling Ling sudah nampak lelah sekali, dan ibunya mengetahui akan hal ini.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
80
“Ling Ling, biarlah rintangan terakhir ini aku yang menghadapinya. Kau perlu
mengumpulkan tenaga untuk menghadapi Liang Gi Cinjin, ketua mereka!”
Ling Ling dapat menyetujui pendapat ibunya ini, akan tetapi ia merasa khawatir oleh karena
dapat menduga bahwa ilmu kepandaian murid pertama itu tentulah lebih lihai lagi. Padasaat
itu mereka telah maju sampai di pintu ruangan dalam dan di situ telah menanti Pek Im Jiyang
berdiri dengan gagah sambil memegang pedang.
“Totiang,” kata Sui Giok sambil maju menghadapi tosu itu, “belum cukupkah kami
mengalahkan empat orang saudaramu? Lebih baik kau mempersilahkan gurumu keluar agar
dapat bertemu dengan kami.”
Pek Im Ji terkenal paling sabar di antara semua saudaranya. Ia tersenyum dan memandang
kagum.
“Sungguh sukar dapat dipercaya bahwa kalian dua orang wanita lemah ini dapat mengalahkan
empat orang suteku. Ketahuilah bahwa kami telah diberi tugas oleh suhu untuk menjaga di
sini, maka sebelum kau mengalahkan pedangku ini, jangan harap akan dapat bertemu dengan
suhu. Aku telah mendengar bahwa kalian orang-orang yang dijuluki iblis wanita di lembah
sungai Cialing, dan mengapakah kalian masih mendesak terus kepada kami? Suhu telah
menganggap habis urusan dengan kalian berdua, mengapa kalian datang mencari penyakit?
Seandainya kalian bisa menangkan aku, apakah kalian dapat melawan suhu?”
Mendengar ucapan ini, Sui Giok lalu berkata, “Totiang, kau keliru. Kami datang bukan
hendak berlaku kurang ajar terhadap Liang Gi Cinjin, kecuali kalau orang tua itu masih
merasa penasaran atas kematian murid-muridnya dan hendak menyerang kami, terpaksa kami
takkan mundur demi membela kebenaran.
Ketahuilah bahwa sampai saat inipun, kami tidak merasa salah dan bahkan kami hendak
mengadukan perbuatan para pendeta Pek-sim-kauw kepada orang tua itu untuk minta
pertimbangan yang adil. Kamipun bukan orang-orang yang mencari permusuhan, dan kami
takkan mengganggu apabila tidak diganggu lebih dulu. Maka, kau mundurlah dan biarkan
kami bertemu dengan suhumu.”
“Enak saja kau bicara! Apakah kau suruh aku melalaikan kewajibanku menjaga di sini? Tidak
bisa, kalian harus mencoba dulu pedangku!” pendeta itu berkeras.
“Baiklah, kau yang mencari perkara, bukan aku!” Sui Giok lalu mencabut pedangnya dan
sebentar kemudian kedua orang ini bertempur dengan sengit.
Pada saat itu, seorang pendeta tingkat dua, kembali melaporkan kepada Liang Gi Cinjin,
“Sucouw, celaka, Ji suhu juga telah kalah dan sekarang iblis-iblis wanita itu bertempur
melawan twa-suhu!”
Terbelalak mata kakek itu ketika mendengar disebutnya “iblis wanita”, “Apa katamu? Siapa
yang datang?”
“Mereka adalah dua orang iblis wanita itu, sucouw.”
“Yang disebut Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li?”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
81
“Benar sucouw. Mereka mengamuk hebat!”
Mendengar ini, Liang Gi Cinjin lalu bertindak keluar dan benar saja, ia melihat betapa
muridnya yang tertua, yakni Pek Im Ji, sedang terdesak hebat oleh ilmu pedang yang
dimainkan secara luar biasa sekali oleh seorang gadis muda yang cantik jelita.
Tadi ketika melihat gerakan Pek Im Ji, Ling Ling maklum bahwa ibunya takkan dapat
menang, maka ia lalu mencabut pedangnya dan berseru. “Ibu, silakan mundur, biar anak yang
memberi rasa kepada pendeta ini!”
Sui Giok memang merasa betapa tangguhnya lawan ini, maka terpaksa ia melompat mundur,
digantikan oleh anaknya. Setelah Ling Ling maju dan mainkan pedangnya Pek Im Ji merasa
terkejut sekali.
Ilmu pedang yang dimainkan oleh gadis ini masih sama dengan ilmu pedang yang dimainkan
oleh nyonya cantik itu, akan tetapi jauh lebih cepat, lebih kuat, dan lebih aneh gerakannya.
Sebentar saja ia terdesak hebat dan terkurung oleh sinar pedang di tangan Ling Ling.
Melihat gerakan ilmu pedang gadis itu, Liang Gi Cinjin berdiri dengan mulut sedikit terbuka.
Hampir ia tidak percaya kepada pandangan matanya sendiri. Ia memandang dengan penuh
perhatian, dan mengikuti setiap gerakan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-hoat dengan
kening berkerut. Tidak salahkah penglihatannya?
Dalam jurus keempat puluh dengan gerakan “cam” (melibat) dan dilanjutkan dengan gerakan
“coan” (memutar), Ling Ling berhasil mengurung pedang lawan dan sekali ia berseru keras
sambil menyontek dengan pedangnya, Pek Im Ji berseru keras dan melompat mundur
sedangkan pedangnya terpental ke atas udara.
“Bagus sekali!” Liang Gi Cinjin berseru dengan heran dan girang. Kakek ini menyambut
pedang Pek Im Ji yang melayang turun kembali, kemudian sambil memegang pedang itu ia
menyerang Ling Ling sambil berkata, “Hayo ulangi lagi gerakan Kim-gan-liong-jio-cu (Naga
Mata Emas merebut Mustika) tadi!”
Ling Ling terkejut sekali ketika kakek tua berambut putih ini menyebut nama gerakannya
yang telah dipergunakan untuk mengalahkan Pek Im Ji tadi. Melihat gerakan serangan pedang
kakek ini, ia dapat menduga bahwa ini tentulah Liang Gi Cinjin. Gerakan pedangnya
demikian hebat dan kuat.
Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kelemahannya. Biarpun menurut suara di kalangan
kang-ouw ketika ia dan ibunya keluar dari hutan, nama Liang Gi Cinjin dianggap sebagai
tokoh tinggi dalam dunia persilatan, termasuk kaum locianpwe, namun kini kakek itu telah
menyerangnya.
Ling Ling lalu mempergunakan ilmu gerakan Kim-gan-liong-jio-cu dan seperti tadi, ia
berusaha menempel pedang lawan, melakukan gerakan memutar, lalu mengerahkan
lweekangnya untuk membuat pedang lawannya terpental. Akan tetapi, sungguh luar biasa
sekali, biarpun dengan cara yang berbeda.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
82
Ling Ling merasa betapa kakek itupun melakukan gerakan yang sama, menempel, memutar
dan mengerahkan tenaga. Dua tenaga bertemu, getaran pedang secara luar biasa beradu dan
terdengar suara nyaring sekali.
“Traaang.....! Krek!!” Pedang di tangan kakek itu patah menjadi dua potong, akan tetapi
pedang di tangan Ling Ling patah menjadi tiga potong.
“Ha, ha, ha!” Liang Gi Cinjin tertawa. “Tak salah lagi......! Eh, nona, apakah kau seorang she
Kam?”
“Bukan,” jawab Ling Ling, “teecu she Kwee. Apakah teecu berhadapan dengan Liang Gi
Cinjin yang terhormat?”
Kembali Liang Gi Cinjin tertawa. “Aneh, aneh, kau she Kwee, akan tetapi telah mewarisi
ilmu pedang dari Kam-ciangkun (Panglima she Kam). Mari kalian masuklah ke dalam, aku
ada pembicaraan penting sekali!”
Tanpa ragu-ragu lagi Liang Gi Cinjin lalu memegang tangan Ling Ling dan membawa gadis
itu bersama ibunya masuk ke ruang dalam. Kakek itu berjalan sambil tertawa-tawasenang
seakan-akan bertemu dengan seorang kawan lama.
Tentu saja para pendeta memandang peristiwa itu dengan melongo. Juga Ling Ling merasa
heran, sedangkan Sui Giok diam sambil mengerutkan kening. Kelakuan kakek ini benar-benar
aneh baginya.
Setelah berada di dalam, Liang Gi Cinjin mengubah sikapnya dan kini nampak keras dan
marah,
“Hayo, katakan dari mana kalian mencuri ilmu pedang Kim-gan-liong Kiam-hoat, pusaka dari
sahabat baikku Kam Kok Han itu!”
Mendengar bahwa kakek ini adalah sahabat baik Panglima Besar Kam Kok Han, suami dari
Bu Lam Nio, Sui Giok lalu memegang tangan Ling Ling dan menjatuhkan diri berlutut di
depan Liang Gi Cinjin.
“Memang teecu dua beranak telah mewarisi ilmu silat dari keluarga Kam, akan tetapi sekalikali bukan dengan jalan mencuri.” Sui Giok lalu menuturkan bahwa dia dan puterinya
menerima pelajaran dari Bu Lam Nio, pelayan dan juga bini muda Panglima Kam Kok Han.
Liang Gi Cinjin mengangguk-angguk, kemudian ia berkata, “Jadi demikianlah kalian dapat
mewarisi kepandaian itu? Hm, aku sudah menduga bahwa kitab rahasia kawanku yang
bernasib malang itu tentu dilarikan oleh seorang pelayannya yang setia. Syukurlah, kau
mempunyai bakat baik sekali, nona kecil, dan patut menjadi ahli waris sahabatku Kam Kok
Han yang malang. Dan di manakah adanya bini muda sahabatku itu? Apakah dia masih
hidup?”
Mendengar pertanyaan ini, Sui Giok lalu menangis, teringat kepada Bu Lam Nio yang
dikasihinya. Ling Ling memeluk ibunya dan menghiburnya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
83
“Locianpwe,” kata Ling Ling, “sungguh mengherankan sekali kalau locianpwe tidak
mengetahui hal itu. Yang disebut iblis wanita dan yang dibunuh oleh anak murid locianpwe,
sesungguhnya adalah Bu Lam Nio itulah!”
“Apa......!” Liang Gi Cinjin merasa lemas tubuhnya dan ia menjatuhkan diri duduk di atas
bangkunya. Ia merasa menyesal sekali dan hendak marah kepada anak muridnya, akan tetapi
apa hendak dikata? Hal itu terjadi dan sesungguhnya bukan salah pihak murid-muridnya.
“Coba ceritakan tentang Bu Lam Nio itu, mengapa ia menjadi begitu galak dan menyeramkan
keadaannya?”
Sui Giok lalu menceritakan tentang kesengsaraan Bu Lam Nio dan kakek itu menganggukangguk sambil mengelus-elus jenggotnya. “Kasihan sekali wanita itu,” katanya, “akan tetapi
sudahlah. Sesungguhnya semua peristiwa itu terjadi karena salah mengerti. Akan tetapi, yang
amat mengecewakan hatiku adalah keadaanmu, terutama sekali puterimu yang masih muda
ini. Ilmu silat keluarga Kam adalah ilmu silat dari keluarga patriot, dari keluarga pendekar
besar yang rela mengorbankan nyawa demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, sungguh harus
disesalkan bahwa ilmu silat itu akhirnya jatuh kepada orang yang tidak tahu sama sekali
tentang kepahlawanan. Kalian menuntut penghidupan liar di dalam hutan, sehingga oleh
orang-orang disebut iblis-iblis wanita, bukankah ini amat merendahkan nama baik keluarga
Kam? Negara sedang kacau balau, rakyat sedang sengsara mengalami penindasan dari kaisar
yang lalim. Mengapa kau tidak mau membela rakyat? Rakyat di mana-mana sedang bergerak
untuk maksud yang mulia, mengapa kalian bahkan menakut-nakuti rakyat? Ah, sayang sekali,
kalau ilmu silat itu masih berada di tangan Kam Kok Han, tentu ia dapat berbuat banyak
untuk kepentingan rakyat. Sayang ilmu itu berada di tangan seorang bocah perempuan yang
masih hijau, bodoh dan bisanya hanya marah-marah saja.”
Bukan main panasnya hati Ling Ling mendengar ucapan ini. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan
berkata dengan mata terbelalak,
“Liang Gi Cinjin! Aku bersikap hormat terhadapmu, akan tetapi sebaliknya kau memakimakiku sesuka hatimu! Kau kira aku ini orang macam apakah? Apa kau kira hanya orangorang laki seperti kau saja yang bisa berjasa terhadap tanah air dan bangsa? Apakah kau kira
hanya kalian saja yang telah merasai kesengsaraan akibat kelaliman kaisar?Aku sendiri,
bersama ibuku ini, telah menjadi korban “kelaliman kaisar”! Aku sendiri akan mengambil
kepala kaisar! Kau dengar ini? Aku akan mengambil kepala kaisar! Dan kau harus menarik
kembali omonganmu tadi, kalau tidak, aku akan menganggap kau sebagai musuh besarku dan
pada suatu hari aku pasti akan membuat perhitungan denganmu!”
Aneh sekali, melihat gadis itu marah dengan muka merah dan mata terbelalak berdiri dengan
mengangkat dada dan mengedikkan kepala sehingga Sui Giok menjadi kaget, malu, dan tidak
enak hati, kakek itu bahkan menjadi terharu sekali. Akan tetapi, ia tersenyum puas dan dari
kedua matanya menitik air mata.
“Kau? Kau hendak mengambil kepala kaisar? Ha, ha! Kau hanya bisa membuka mulut besar!
Menarik kembali omonganku? Gampang saja kau buktikan dulu kesombonganmu tadi! Kalau
sudah terbukti bahwa kau adalah seorang dara perkasa yang benar-benar pendekar, barulah
aku orang tua pikun hendak menarik kembali omongan tadi! Ha, ha, ha!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
84
Kakek ini lalu berjalan ke arah sebuah peti, mengeluarkan sebatang pedang berikut
sarungnya, lalu berkata.
“Aku tidak main-main, benar-benar aku menantangmu untuk memenuhi ucapanmu yang
sombong tadi. Kau hendak mengambil kepala kaisar? Nah, terimalah pedang ini. Aku mau
bukti, bukan omongan besar yang kosong melompong! Pedang ini bernama Pek-hong-kiam,
dulu menjadi saudara dari pedang Oei-hong-kiam yang dipegang oleh Kam Kok Han dan
yang lenyap entah di mana adanya! Buktikan omonganmu tadi, dan baru aku percaya kalau
tercium olehku darah kaisar pada pedang ini!”
Baik Sui Giok maupun Ling Ling terkejut dan terharu sekali mendengar bahwa pedang itu
adalah pedang yang sejajar dengan Oei-hong-kiam, pedang yang dirampas oleh pembunuh
Kam Kok Han sebagaimana yang dipesankan oleh Bu Lam Nio. Nenek itu dulu berpesan agar
supaya Ling Ling mencari pemegang pedang Oei-hong-kiam, karena pedang ini adalah
pedang Kam Kok Han yang dirampas oleh pembunuhnya sehingga siapa saja yang memegang
pedang Oei-hong-kiam tentu mempunyai hubungan dengan pembunuh Panglima Kam itu.
Ling Ling masih marah sekali, akan tetapi ia menerima pedang itu berkata, “Baiklah kita
sama lihat saja. Setelah selesai tugasku, aku akan mengembalikan pedang ini sebagai bukti,
dan kau orang tua harus menarik kembali omonganmu yang amat menghina!” Setelah berkata
demikian, Ling Ling memegang tangan ibunya dan membawanya lari keluar dari tempat itu.
Kembali para pendeta memandang dengan melongo ketika melihat dua orang wanita ini
berlari cepat sekali dari ruang Liang Gi Cinjin.
Adapun kakek itu, setelah Ling Ling dan ibunya pergi, berkata seorang diri, “Mudahmudahan ia berhasil! Ia seorang murid yang amat baik, bahkan ...... belum tentu kalah baik
oleh Sian Lun!” Tiba-tiba wajahnya berseri karena ia teringat akan sesuatu. “alangkah
baiknya, alangkah cocoknya! Benar, bagus sekali! Ah, semoga keduanya akan dapat melewati
masa kacau ini dengan selamat sehingga akan tercapai maksudku!” Ucapan ini adalah akibat
dari pikiran kakek itu yang melihat betapa baiknya apabila terikat tali perjodohan antara gadis
tadi dengan Sian Lun.
******
Memang benar sebagaimana yang terdengar dalam percakapan antara Liang Gi Cinjin dan
Beng To Siansu, kaisar Yang Te yang lalim dan hanya mengingat untuk melampiaskan
nafsunya sendiri itu, telah membuat rakyat amat tergencet dan sengsara.
Mulailah timbul pemberontakan-pemberontakan di mana-mana. Pertama-tama pemberontakan
timbul di propinsi Santung dan Hopak, setelah kaisar memimpin balatentara menyerang
Korea. Seorang patriot besar bernama Wang Po telah menulis sajak yang membongkar semua
keburukan pemerintah Sui, dan ia lalu memimpin barisan pemberontak yang terdiri dari para
petani di pegunungan Cingpai di propinsi Santung.
Juga di sepanjang lembah Yang-ce-kiang dan sungai kuning, timbullah pemberontakan yang
besar jumlahnya. Makin lama barisan pemberontak ini makin meluas sehingga mereka mulai
menduduki kota-kota dan dusun-dusun.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
85
Seorang pemimpin pemberontak lain bernama Li Mi memimpin barisan pemberontak di
Honan. Memang tadinya para pemberontak yang terpisah-pisah dan berkelompok-kelompok
ini seringkali kena pukul mundur oleh tentara kerajaan Sui akan tetapi mereka ini makin lama
makin besar jumlahnya dan mulai bersatu dengan barisan lain.
Ketika tentara kerajaan dari utara hendak menyerang barisan pemberontak yang dipimpin oleh
Li Mi, seorang pemimpin lain yang bernama Tou Cian Tek memimpin pasukan pemberontak
yang besar bergerak dari Santung ke Hopak dan memotong pasukan kerajaan yang hendak
menyerang barisan pemberontak Li Mi. Demikianlah, mulai ada kerja sama antara barisan
pemberontak sehingga tentara kerajaan dapat dipukul di sana sini.
Seorang pemimpin pemberontak lain yang penting untuk disebut adalah Tu Fu Wi, yang
memimpin barisannya di sebelah selatan sungai Huai dan yang menyerang tentara Suidi
Yangkou. Masih banyak lagi jumlahnya barisan-barisan pemberontak yang dipimpin oleh
orang-orang gagah dan pandai, semua dengan tujuan sama, yakni menumbangkan pemerintah
korup dari kerajaan Sui di bawah pimpinan kaisar Yang Te yang lalim.
Akhirnya, seorang jenderal besar yang amat gagah perkasa dan terkenal, yakni jenderal
kerajaan Sui yang bernama Li Goan, yang sudah lama merasa tidak suka dengan
pemerintahan Kaisar Yang Te, memberontak pula. Jenderal ini berkedudukan di Taigoan dan
ia memimpin ratusan ribu tentara menyerang dan menduduki Tiang-an. Hal ini terjadi pada
tahun 617 (Masehi).
Sebelum Jenderal Li Goan memberontak, terjadilah peristiwa yang hebat di kota Taigoan.
Liem Siang Hong, panglima yang berkepandaian tinggi dan gagah perkasa itu, adalah seorang
panglima kepercayaan Li Goan.
Biarpun Liem Siang Hong menjadi orang bawahan jenderal Li Goan, akan tetapi perhubungan
mereka seperti sahabat-sahabat baik saja. Mereka saling kunjung-mengunjungi dan dalam
segala hal mereka sependapat.
Juga Kwee Siong, yang kini telah pindah ke kota raja, kenal baik dengan jenderal Li Goan
dan panglima ini amat suka kepada Kwee Siong yang berotak cerdas dan berpemandangan
luas.
Pada suatu hari, beberapa bulan sebelum Li Goan memberontak, jenderal ini memanggil
Panglima Liem Siang Hong untuk mengadakan perundingan penting. Ketika Liem Siang
Hong sudah tiba, jenderal Li Goan membawanya ke kamar kerjanya dan menutup semua
pintu dan jendela. Liem Siang Hong merasa heran melihat sikap rahasia ini, dan ia tidak
merasa heran lagi ketika mendengar jenderal itu berbicara.
“Saudara Liem, kau tentu sudah mendengar tentang keadaan yang makin buruk dari
pemerintah Sui. Sungguh menggemaskan mengapa kaisar masih saja menulikan telinga
terhadap semua nasehat para tiong-sin (menteri setia dan jujur), sebaliknya bahkan
mendengarkan hasutan-hasutan para kan-sin (menteri durna)! Tenaga rakyat diperashabishabisan, dan selagi keadaan negara masih kalut dan lemah, bahkan melakukan penyerangan
mati-matian ke utara!”
Liem Siang Hong menarik napas panjang. “Memang hal ini amat buruk dan patut disesalkan,
Goanswe (bapak jenderal). Akan tetapi apakah yang harus dan dapat dilakukan oleh orang-
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
86
orang militer seperti kita? Kita hanya menanti perintah, dan para menteri dornayang lemah
itu bahkan berkuasa untuk memegang kendali pemerintahan, mengatur segala urusan dengan
maksud memenuhi kantong sendiri. Sungguh menyebalkan!”
“Kau, keliru, Liem ciangkun! Dalam keadaan seperti ini, biarpun kita tidak memegang jabatan
sebagai pengurus-pengurus negara, namun kita harus menghadapi kenyataan dengan pikiran
tenang dan matra waspada. Kalau negara terancam oleh barisan tentara asing, serahkanlah
kepada kita yang akan menghancurkan mereka atau mengorbankan nyawa dalam perang.
Akan tetapi, jangan menyuruh aku melakukan penyembelian terhadap tentara pemberontak
yang sesungguhnya adalah rakyat jelata yang sudah tidak sudi lagi dijadikan landasan kaki
para menteri dorna berikut kaisar yang lalim. Aku masih cukup setia dan selama iniaku
mengendalikan nafsu agar jangan ikut memberontak. Akan tetapi, aku sekarang hendak
menghadap kaisar dan memberi nasihat terakhir. Kalau beliau tidak menurut nasehatku,
menarik mundur barisan dari timur dan memperbaiki keadaan rakyat yang sengsara, aku akan
memihak kepada pemberontak!”
Liem Siang Hong mengerutkan alisnya. “Berbahaya sekali tindakan ini, goanswe. Untuk
memberi nasehat kepada kaisar, rasanya tidak perlu goanswe berangkat sendiri. Biarlah aku
yang mewakili goanswe dan membawa surat untuk disampaikan kepada kaisar.”
Jenderal itu memandang dengan mata tajam kepada Liem Siang Hong, “Saudaraku, tahukah
kau betapa bahayanya tugas ini?”
“Tentu saja aku tahu!” jawab panglima itu dengan gagah. “Akan tetapi, perasaan takut
merupakan pantangan besar bagi seorang perajurit seperti aku!”
“Bagus! Ketahuilah, memang terkandung maksud dalam hatiku menyuruh seorang
mewakiliku menghadap kaisar, dan kalau ada orang itu, hanya engkaulah, saudaraku! Bukan
aku tidak berani menghadap sendiri, akan tetapi kalau sampai di kota raja aku terkena
malapetaka dari para dorna, habis siapakah yang akan dapat memimpin pasukan-pasukan
untuk menyerbu dan meruntuhkan kerajaan yang sudah bobrok itu? Kau berangkatlah,
bawalah surat nasehatku kepada kaisar dan jangan khawatir, aku telah siap dengan seluruh
anak buahku. Kalau ada yang berani mengganggu selembar rambutmu di kotaraja, aku
bersumpah untuk mengganti kerugian dengan menduduki Tiang-an dan membasmi para
dorna!”
Demikianlah, setelah menerima surat dari jenderal itu, Liem Siang Hong lalu pulang ke
rumahnya. Ia tidak berani menceritakan tugasnya yang penting dan rahasia ini kepada
isterinya, akan tetapi ia merasa terharu juga.
Pertemuan dengan isterinya ini mungkin sekali untuk yang terakhir. Ia merasa rindu kepada
puteranya yang masih berada di Kun-lun-san belajar ilmu kepada Beng To Siansu.
“Isteriku!” katanya pada malam hari itu, “besok pagi aku akan pergi melakukan tugas
pekerjaanku. Tak usah kau tahu ke mana, karena memang belum ada ketentuan. Akan tetapi
mungkin sekali agak lama. Keadaan negara sedang kalut seperti ini dan siapa tahu kalau di
kota inipun akan ada huru-hara yang besar. Pesanku kepadamu, kalau sampai terjadi sesuatu
dan aku belum kembali, kau mintalah tolong kepada jenderal Li Goan dan apabila kelak kau
berada dalam keadaan yang membutuhkan pertolongan, kau dan putera kita berlindunglah
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
87
kepada saudara kita Kwee Siong. Hanya dia seoranglah yang akan dapat menerima kau dan
anakmu sebagai keluarga sendiri!”
Isterinya memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan suaranya gemetar ketika
bertanya. “Suamiku, mengapa kau berkata demikian? Seakan-akan kau berpamit untuk pulang
ke alam baka saja. Apakah yang terjadi, dan kau hendak pergi kemanakah?”
Melihat wajah isterinya menjadi pucat, Liem Siang Hong lalu menghiburnya dan tersenyum
untuk membikin tenang hati isterinya. “Soal mati hidup, siapa yang tahu? Aku hanya bicara
sebagai penjagaan dan persiapan saja. Siapa yang akan tahu perkembangan keadaan yang
makin lama makin panas ini. Aku bukan maksudkan kalau aku mati, akan tetapi misalnya
kalau perjalananku ini menjadi terputus oleh kerusuhan dan pemberontakan sehingga kita
terpisah jauh. Nah, kepada Kwee Siong dan jenderal Li Goan saja kau boleh dan dapat
berlindung.”
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali, di antar oleh lima orang perwira, berangkatlah
Liem Siang Hong ke kota raja. Panglima yang gagah berani ini telah berhasil menghadap
kaisar dan menyampaikan surat dari jenderal Li Goan yang isinya mengecam pedas kepada
Kaisar, mengajukan tuntutan-tuntutan agar supaya kaisar suka insaf dan jangan menuruti
bujukan dan hasutan para pembesar dorna.
Sebelum menghadap kepada kaisar, Liem Siang Hong menyuruh kelima orang perwira yang
mengawaninya itu untuk bersembunyi di rumah gedung Kwee Siong dan kepada adik
angkatnya ini ia memberi surat.
Kwee Siong menerima lima orang perwira dari Tai-goan yang sudah dikenalnya itu dan
alangkah kagetnya ketika ia membaca surat Liem Siang Hong yang berbunyi singkat.
Adikku Kwee Siong yang baik,
Aku sengaja tidak berhenti di rumahmu agar kau jangan ikut terbawa-bawa dalam perkara ini.
Aku sedang menjalankan tugas membawa surat Jenderal Li Goan kepada kaisar dan karena isi
surat ini merupakan kecaman dan nasehat, tidak terlalu dilebihkan apabila aku mungkin
takkan kembali dengan selamat dari dalam istana.
Hanya satu pesanku, apabila aku benar-benar sampai binasa oleh kaisar dan para pembesar
dorna, kau peliharalah baik-baik isteriku dan puteraku.
Selamat Tinggal.
Kakakmu,
Liem Siang Hong
Bukan main sedihnya hati Kwee Siong. Ia maklum dan telah yakin akan nasib kakak
angkatnya itu, oleh karena pada masa itu, “menasehati” kaisar merupakan pantangan besar
bagi mereka yang masih ingin hidup. Telah banyak para pembesar jujur yang menasehati
kaisar dan mereka ini dicap sebagai pemberontak dan hanya satulah hukuman bagi mereka
yang berani lancang menasehati kaisar, yakni hukuman mati.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
88
Kwee Siong lalu berkemas dan ia memerintahkan seorang perwira pengiring Liem Siang
Hong untuk diam-diam membawa isteri dan puteranya, yakni Kwee Cun yang baru berusia
sembilan tahun, untuk diam-diam melarikan diri ke Tai-goan.
Bab 11…..
Benar saja, tak lama sesudah Liem Siang Hong menyerahkan surat itu kepada kaisar, kaisar
ini dan beberapa orang menteri dornanya menjadi marah sekali dan pada saat itu juga Liem
Siang Hong ditangkap dan dihukum penggal kepala.
Empat orang perwira pengikut Liem-ciangkun, ketika mendengar akan hal ini, bersama Kwee
Siong lalu melarikan diri secepatnya keluar dari kotaraja, kembali ke Tai-goan. Ketika
mendengar bahwa Kwee Siong melarikan diri, kaisar menjadi marah sekli dan menyuruh para
pengawal mengejarnya, akan tetapi Kwee Siong dan empat orang perwira itu telah jatuh dan
tidak dapat dikejar lagi.
Jenderal Li Goan mengepal-ngepal tinju, menggigit-gigit bibir dan air matanya tak tertahan
lagi, terutama setelah mendengar laporan tentang dibunuhnya Liem Siang Hong.
“Kaisar lalim, pembesar-pembesar dorna! Kalian benar-benar telah buta dan telah
kemasukkan iblis. Saudaraku Liem Siang Hong, jangan mati penasaran, lihat saja betapa tak
lama lagi aku akan menghancur leburkan Tiang-an!”
Jenderal besar ini lalu menghimpun seluruh balatentaranya, ditambah pula dengan rakyat
jelata yang menyokong pemberontakannya dan segera memimpin ratusan ribu balatentara
menyerbu Tiang-an.
******
Kita tinggalkan dulu barisan Jenderal Li Goan yang mengamuk dan berusaha menggulingkan
pemerintahan kaisar yang lalim itu, dan marilah kita mengikuti perjalanan LiemSian Lun,
putera tunggal dari Liem Siang Hong yang gugur sebagai seorang patriot bangsa yang gagah
perkasa itu.
Setelah setahun melatih diri, dengan tekunnya dan telah dapat menguasai ilmu silat yang
diajarkan oleh Liang Gi Cinjin dengan sempurna, Liem Sian Lun mendapat izin dari Beng To
Siansu untuk turun gunung.
“Muridku, pertama-tama kau harus pergi menghadap suhumu Liang Gi Cinjin sebagaimana
telah ia pesan dulu. Kemudian, kau harus membuka matamu baik-baik dan melihat keadaan
dunia di sekelilingmu. Kalau aku tidak salah tafsir, kerajaan yang sekarang telah mendekati
keruntuhannya dan sepanjang pendengaranku, di mana-mana telah timbul pemberontakan
hebat. Ayahmu adalah seorang panglima, maka kau harus dapat mempertimbangkan keadaan
ayahmu. Kemudian sudah menjadi tugasmu pula untuk membantu perjuangan, hanya harus
kau berhati-hati dan dapat memilih pihak yang benar! Nah, kau berangkatlah.
Setelah menerima banyak nasehat dari gurunya, Sian Lun lalu turun dari Kun-lun-san dan
langsung menuju ke kota Ceng-tu. Tidak sukar baginya untuk mencari rumah perkumpulan
Pek-sim-kauw, karena rumah ini merupakan sekelompok bangunan yang besar dan banyak,
terkurung pagar tembok warna kuning yang tinggi.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
89
Sian Lun maklum bahwa ia akan menghadapi ujian suhunya, akan tetapi ia tidak takut karena
selama ini ia telah melatih diri dengan rajin dan sepanjang ingatannya semua pelajaran ilmu
silat dan ilmu pedang dari Liang Gi Cinjin telah dipelajari dan dilatihnya dengan baik.
Dengan tabah ia melangkah memasuki pintu gerbang di depan dan ia melihat banyak sekali
pendeta yang berpakaian dengan gambar hati putih di dada, akan tetapi semua pendeta ini
seakan-akan tidak melihatnya sehingga ia menjadi heran dan melangkah terus.
Ketika ia tiba di tengah halaman yang luas itu, tiba-tiba dari dalam keluar limaorang pendeta
tua yang berwajah angker. Pendeta-pendeta ini menghadang di tengah jalan, lalu seorang di
antara mereka bertanya garang.
“Saudara siapakah dan ada keperluan apakah masuk ke dalam rumah kami?”
Melihat lima orang pendeta yang memakai tusuk konde perak ini, Sian Lun yang sudah
mendapat keterangan dari Beng To Siansu, dapat menduga bahwa mereka ini tentulah lima
orang murid suhunya yang disebut Pek-sim Ngo-lojin. Ia cepat memberi hormat dan
menjawab,
“Siauwte adalah Liem Sian Lun dan siauwte datang mohon bertemu dengan suhu Liang Gi
Cinjin.”
Lima orang pendeta itu memang Pek-sim Ngo-lojin. Mereka ini masih merasa amatpenasaran
dan marah karena telah dikalahkan oleh Ling Ling dan ibunya pada tiga hari yang lalu.
Mereka masih merasa mendongkol terhadap suhu mereka karena mereka telah mendapat
marah dan teguran, akan tetapi suhu mereka masih memesan agar supaya mereka menjaga di
tempat penjagaan masing-masing dan menyerang orang yang ingin menghadap Liang Gi
Cinjin.
“Kalau ada orang datang mencariku, kalian harus mencoba dan menguji ilmu kepandaiannya,
akan tetapi berhati-hatilah. Jangan sampai melukai orang itu sehingga kalian menanam
permusuhan lagi dengan orang lain. Aku hanya ingin kalian menguji kepandaiannya saja.”
Kini datanglah orang muda ini yang ingin bertemu dengan Liang Gi Cinjin. Lima orang
pendeta itu baru tiga hari yang lalu telah menderita kekalahan, maka kini setelah saling
pandang dengan kawan-kawan sendiri, serentak mereka mencabut pedang dan berkatalah Pek
Thian Ji yang galak.
“Mau bertemu dengan guru kami! Tidak mudah, anak muda. Kalau kau tidak dapat
mengalahkan pedang kami, kau lebih baik pergi saja dan jangan mencoba untuk mengganggu
suhu!”
Sian Lun tidak merasa heran mendengar ini dan ia memang telah bersiap untuk menghadapi
ujian ini. Hanya ia merasa heran pendeta-pendeta yang menjadi murid gurunya ini nampak
galak dan agaknya hendak maju semua mengeroyoknya. Ia lalu mencabut keluar pedang
pemberian Beng To Siansu dan sambil memalangkan pedang di depan dada, ia berkata.
“Kalau ngo-wi hendak menghalangiku, terpaksa siauwte akan berlaku kurang ajar!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
90
Lima orang pendeta Pek-sim-kauw itu lalu maju mengepungnya dan berytempurlah mereka
dengan ramai. Akan tetapi baru saja mereka bertempur sepuluh jurus, bukan main kaget dan
herannya Pek-sim Ngo-lojin ketika melihat bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh pemuda
tampan ini bukan lain adalah ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat.
Kalau saja kelima orang pendeta itu menghadapi Sian Lun dengan ilmu silat lain, mungkin
pemuda itu akan repot juga menghadapi keroyokan lima orang pendeta yang lihai itu. Akan
tetapi Pek-sim Ngo-lojin menyerangnya dengan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang baru
mereka miliki delapan bagian, sedangkan pemuda itu sudah mewarisi sepenuhnya, makatentu
saja Sian Lun dapat melayani mereka dengan baik sekali.
Bahkan ketika ia mainkan bagian akhir dari ilmu pedang itu, yang paling sulit dan paling lihai
sehingga pedangnya berkelebatan bagaikan segulung awan putih menyelimuti tubuh kelima
pengeroyoknya, murid-murid Liang Gi Cinjin ini menjadi terkejut dan bingung sekali.
Pada jurus ke dua puluh dengan gerak tipu Halilintar Menyambar Ombak, Sian Lun
memperhebat gerakan pedangnya dengan sepenuh tenaga. Terengar suara nyaring dan keras
sekali dan tahu-tahu lima batang pedang dari pendeta-pendeta itu terlepas dari pegangan dan
terlempar jauh.
Tentu saja lima orang pendeta itu berdiri dengan melongo saking herannya. Hanya suhu
mereka saja yang dapat mainkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat sedemikian hebatnya.
“Dari manakah kau mencuri ilmu pedang kami?” Pek Im Ji berseru sambil memandang tajam.
Akan tetapi, Sian Lun tidak menjawab, hanya lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap ke
kiri sambil berseru,
“Suhu ......!”
Lima orang pendeta itu terkejut dan cepat menengok ke kiri dan benar saja, Liang Gi Cinjin
telah berdiri di situ sambil tersenyum. Hal ini menunjukkan pula betapa tajam pemandangan
mata dan pendengaran pemuda ini, jauh lebih lihai dari pada mereka yang tidak mengetahui
bahwa suhu mereka telah berada di situ. Cepat mereka lalu menjatuhkan diri berlutut pula
dihadapan Liang Gi Cinjin.
“Kembali kalian berlima telah menurutkan nafsu untuk maju mengeroyok pemuda ini.
Baiknya kalian ketahui bahwa tiada baiknya mempergunakan kekerasan karena di dunia ini
masih banyak orang yang lebih pandai dari pada kita. Ketahuilah bahwa pemuda ini adalah
muridku sendiri, atau juga sute (adik seperguruan) kalian yang jauh lebih berhasil dalam
mempelajari ilmu silat daripada kalian berlima.”
Sian Lun lalu berpaling kepada suheng-suhengnya dan berkata,
“Mohon suheng sekalian sudi memberi maaf kepadaku yang kurang ajar!”
“Tidak apa, sute, bukan salahmu karena kami berlimalah yang menyerangmu lebih dulu.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
91
Liang Gi Cinjin menjadi girang sekali melihat kemajuan Sian Lun. Ia benar-benar merasa
puas dan tidak sia-sialah ia mewariskan ilmu kepandaiannya kepada pemuda ini. Ia lalu
mengajak semua muridnya masuk ke dalam dan berkatalah Liang Gi Cinjin kepada Sian Lun,
“Muridku, menururt berita yang sampai di sini, di kotamu, yakni Tai-goan, telah mulai ada
pergelokan. Agaknya jenderal Li Goan telah bergerak pula dan menurut pendengaranku,
jenderal ini adalah seorang bijaksana dan gagah perkasa. Kau pulanglah dan coba kau
perhatikan sepak terjang para pejuang itu dari dekat. Kalau aku tidak salah, Li Goan inilah
orangnya yang patut kita bantu.”
Kemudian ia memberi perintah kepada Pek-sim Ngo-lojin untuk memberitahukan semua
anggauta Pek-sim-kauw agar supaya di manapun juga cabang mereka berada, suka membantu
pergerakan untuk menumbangkan kekuasaan kaisar dan kaki tangannya yang lalim dan
kejam.
Maka setelah kakek sakti ini selesai memberi wejangan, bubarlah enam orang muridnya itu.
Sian Lun langsung melanjutkan perjalanan ke Tai-goan, sedangkan kelima orang pendeta itu
lalu berpencar untuk menghubungi anak buah mereka di berbagai kota.
Kemudian ternyata bahwa bantuan para pendeta Pek-sim-kauw ini merupakan dorongan yang
besar sekali, dan tenaga mereka benar-benar amat berjasa dalam perjuangan menumbangkan
pemerintah Sui yang sudah tak disukai rakyat lagi.
Adapun Liem Sian Lun segera keluar dari kota Ceng-tu dan menuju ke timur. Akan tetapi,
baru saja ia keluar dari kota, tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu
Liang Gi Cinjin telah berada di sampingnya. Sian Lun cepat memberi hormat kepada gurunya
ini sambil memandang heran.
“Sian Lun, sesungguhnya dalam keadaan kacau seperti ini, tidak semestinya aku
memberitahukan ini. Akan tetapi sukarlah bagiku untuk menahan keinginan hatiku ini. Aku
telah bertemu dengan seorang gadis yang ilmu kepandaiannya luar biasa sekali dan ia adalah
ahli waris dari seorang yang dulu amat kuhormati. Ia telah mewarisi ilmu silatdari sahabatku,
Panglima Besar Kam Kok Han dan tentang ilmu pedangnya, mungkin hanya dia yang akan
dapat menghadapi Pek-sim-kiam-hoat. Melihat keadaan gadis itu, sebelum kau datang, telah
timbul niat dalam hatiku untuk menjodohkan kau dengan dia. Hal ini tentu saja terserah
kepadamu dan kepada orang tuamu, akan tetapi aku yakin bahwa kalau ayahmu mendengar
bahwa gadis itu adalah ahli waris Panglima Kam Kok Han yang besar dan terkenal, pasti ia
akan setuju juga. Nah, puaslah hatiku telah menyampaikan hal ini kepadamu, muridku.
Ketahuilah bahwa aku telah memberikan pedangku Pek-hong-kiam kepadanya, maka mudah
saja kau mengenalnya apabila kau melihat pedangnya.”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Sian Lun, kakek itu berkelebat pergi.
Sampai beberapa lama Sian Lun berdiri dengan muka merah, dan ia heran sekali melihat sikap
suhunya ini. Benar-benar orang-orang tua di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang luar
biasa anehnya.
Kemudian Sian Lun melanjutkan perjalanan. Ia melihat berbondong-bondong rakyat
mempersatukan diri dan ikut dalam perjuangan menyerang tentara Sui yang berada di daerah
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
92
mereka. Di mana-mana orang memegang pedang dan tombak sehingga suasana menjadi panas
sekali.
Hal ini membuat Sian Lun makin ingin lekas-lekas tiba di rumah dan ia mempercepat
perjalanannya. Apalagi setelah ia tiba di daerah Tai-goan dan mendengar bahwa kiniTai-goan
sudah bergolak dan Jenderal Li Goan sudah mengumpulkan balatentara untuk menyerang kota
raja.
Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika ia tiba di depan pintu rumah keluarganya, ia melihat
di depan tergantung kain putih dan di ruangan depan nampak duduk banyak sekali tamu.
Ibunya sedang bersembahyang, menyembayangi meja tanpa ada peti matinya. Sian Lun
melompat maju dan memeluk ibunya.
“Ibu....., ada apakah....? Siapa.... siapa yang ....?” Nyonya yang sedang menangis itu
menengok dan melihat Sian Lun, ia menubruk puteranya sambil menangis tersedu-sedu. Di
antara tangis dan sedu sedan, nyonya Liem menceritakan kepada anaknya betapa Liem Siang
Hong telah dihukum mati oleh kaisar.
Bukan main seduh dan marahnya hati Sian Lun mendengar ini. Dengan air mata bercucuran ia
berlutut di depan meja sembahyang itu dan tanpa memperdulikan pandangan semua mata
yang berada di situ, ia bersumpah keras-keras.
“Ayah, aku bersumpah untuk membalaskan sakit hati ini, untuk membantu perjuangan
menumbangkan pemerintahan yang lalim dan untuk mencari serta membunuh kaisar jahat
itu.”
“Anak muda, bangunlah! Berlakulah tenang. Ucapanmu tadi lebih mudah dikeluarkan dari
mulut dari pada dilaksanakan!” terdengar suara yang berpengaruh dan sebuah tangan yang
amat kuat memegang pundaknya.
Sian Lun merasa terkejut sekali karena merasa betapa tangan ini telah mengerahkan tenaga
menekan pundaknya dengan kekuatan yang sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya. Ia
cepat mengumpulkan lweekang untuk menahan tekanan ini dan dengan gerakan pundak yang
gesit ia berhasil melepaskan pundaknya lalu bangun berdiri.
Ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar
dan bersikap gagah sekali. Orang ini berpakaian sebagai seorang panglima, seperti pakaian
ayahnya dan untuk beberapa lama Sian Lun tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa.
“Sian Lun, berilah hormat kepada Li-goanswe (Jenderal Li),” kata ibunya.
Mendengar ucapan ini, teringatlah Sian Lun bahwa ia sedang berhadapan dengan Jenderal Li
Goan pemimpin besar yang gagah perkasa dan namanya telah terkenal di seluruh daratan
Tiongkok itu. Cepat-cepat ia memberi hormat dan mengusap air matanya, karena dihadapan
seorang gagah, ia merasa malu untuk mengeluarkan air mata.
Jenderal itu lalu menarik tangan Sian Lun, diajak bicara di ruang dalam, diikuti oleh Nyonya
Liem Siang Hong yang menggandeng tangan puteranya. Ketika mereka berada di dalam,
ternyata di ruang itu telah penuh dengan para orang-orang terkemuka, yakni pemimpin
daripada pemberontakan yang dikepalai oleh jenderal Li Goan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
93
Ketika Sian Lun datang, di dalam ruang itu sedang diadakan pertemuan yang merundingkan
tentang pergerakan mereka. Di antara mereka terdapat juga Kwee Siong, yang segera
menyambut dan memeluk Sian Lun sambil mengeluarkan airmata juga. Sian Lun amat terharu
dan girang melihat pamannya yang amat dikasihinya itu berada pula di tempat itu.
“Kebetulan sekali putera mendiang saudara Liem Siang Hong telah datang dan melihat
keadaannya, aku percaya bahwa di antara kita semua, dia seoranglah yang paling boleh
dihandalkan tenaganya!” kata jenderal itu kepada semua orang yang hadir. “Kita amat
membutuhkan tenaga seperti Liem Sian Lun ini dan alangkah bahagia rasa hatiku bisa
mendapat bantuannya?”
“Aku akan membantu sekuat tenaga!” kata Liem Sian Lun dengan penuh semangat. “Kalau
perlu, sekarang juga hamba bersedia untuk menyerbu!” sambungnya sambil menghadapi
jenderal yang gagah itu.
Jenderal Li Goan lalu melanjutkan siasat dan rencananya yang tadi tertunda oleh kedatangan
Sian Lun. Dengan singkat ia menceritakan tentang tugas yang dilakukan oleh mendiang
panglima Liem Siang Hong dan betapa panglima itu tewas karena dihukum oleh kaisar.
“Sekaranglah waktunya bagi kita untuk bergerak dan menggempur Tiang-an,” katanya.
“Balatentara kaisar sedang dikerahkan ke berbagai daerah untuk membendung barisan-barisan
petani yang sedang membanjir dari segala jurusan. Kalau kita melakukan serangan tiba-tiba,
tidak akan sukar bagi kita untuk merebut dan menguasai Tiang-an.
Jenderal yang pandai dan telah banyak pengalamannya tentang siasat peperangan ini lalu
memecah barisannya menjadi dua rombongan dan mengatur siasat untuk menyerbu Tiang-an
dari dua jurusan, yakni dari selatan dan barat. Barisan yang menyerbu dari selatan akan
dipimpin sendiri, adapun yang dari barat akan diserahkan kepada Liem Sian Lun untuk
dipimpin.
Pengangkatan-pengangkatan diadakan, dan Kwee Siong dipilih sebagai penasehat dan sebagai
hakim tertinggi yang memeriksa dan menjatuhkan hukuman kepada para tawanan. Orang she
Kwee ini yang memiliki sifat lemah lembut dan jujur, dipercayai untuk membujuk para
tawanan sehingga mereka itu mau tunduk dan membantu perjuangan mereka.
Kalau tidak perlu, maka pertumpahan darah antara bangsa sendiri akan dicegah. Juga Kwee
Siong mendapat tugas untuk memeriksa dan mengadili anggauta-anggauta sendiri yang
menyeleweng. Pendeknya Kwee Siong mendapat kekuasaan penuh sebagai hakim tertinggi.
“Bahkan aku sendiri kalau dianggap menyeleweng dan tidak benar, saudara Kwee berhak
untuk menangkap dan mengadili!” kata Jenderal Li yang gagah itu. Semua orang setuju sekali
dan demikianlah, pada keesokan harinya barisan yang ratusan ribu orang jumlahnya itu
dikerahkan, lalu bagaikan air bah barisan ini menuju Tiang-an.
Makin dekat dengan Tiang-an, dua barisan yang bergerak dari selatan dan barat ini makin
bertambah jumlahnya karena banyaknya rakyat yang menjadi suka rela dan membantu
perjuangan ini. Dengan girang Sian Lun melihat betapa di antara para sukarelawan ini banyak
terdapat pendeta-pendeta Pek-sim-kauw.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
94
Kwee Siong ikut pula dalam barisan Sian Lun, karena Kwee Siong ingin berjuang dekat
dengan keponakannya yang tercinta ini. Ketika kedua orang ini berangkat, mereka di antar
oleh keluarga mereka, yakni nyonya Liem Siang Hong, nyonya Kwee Siong, dan Kwee Cun
yang masih kecil.
“Kalau aku sudah besar, aku akan membantu engko Sian Lun bertempur!” kata Kwee Cun
dengan gagah. Sian Lun memondong anak itu dan berkata,
“Kelak kau akan menjadi seorang yang lebih gagah dari pada semua pahlawan!”
Sian Lun memesan kepada ibunya agar baik-baik menjaga diri, sedangkan Kwee Siong yang
sudah meninggalkan rumahnya di kotaraja, berpesan kepada isterinya agar isteri dan anaknya
tinggal bersama dengan nyonya Liem Siang Hong.
Tepat sebagaimana telah diperhitungkan oleh Jenderal Li Goan, pertahanan barisan kerajaan
di kota raja tidak kuat, karena balatentara kerajaan telah dipecah-pecah untuk memadamkan
pemberontakan yang timbul di mana-mana. Hanya pasukan-pasukan yang kecil jumlahnya
saja yang melakukan perlawanan terhadap barisan yang dipimpin oleh Jenderal Li Goan dan
oleh Liem Sian Lun. Pasukan-pasukan kerajaan ini dengan mudah dihancurkan, sebagian
besar ditawan dan bahkan ada yang menyerah dan menggabungkan diri dengan barisan
pemberontak.
Liem Siang Hong memimpin pasukannya menyerbu kota raja dari barat, ketika sudah tiba di
luar tembok kota, barisannya dihadang oleh sepasukan tentara kerajaan yang besar juga
jumlahnya dan nampak kuat, teratur baik, dan dikepalai oleh seorang panglima berkuda putih
yang tinggi besar. Panglima yang bertubuh seperti seorang raksasa itu duduk di atas kudanya
dan suaranya seperti geluduk ketika ia menantang,
“Barisan pemberontak! Apakah kalian sudah bosan hidup dan berani menghadapi tentara
dibawah pimpinanku?” Sambil berkata demikian, ia mencabut pedangnya dan memutar
pedang itu di atas kepala sehingga nampaklah sinar yang kekuningan dan terdengar suara
nyaring ketika pedang itu memecahkan hawa disekitarnya.
Melhat lagak panglima barisan kerajaan Sui ini, Sian Lun diam-diam kagum. Pamglima itu
benar-benar gagah dan amat pantas dalam pakaian perangnya.
“Siapakah dia, Kwee-siokhu (paman Kwee) ?” tanyanya kepada Kwee Siong yang duduk di
atas kuda, di sebelahnya.
“Dia adalah seorang jenderal muda yang amat gagah perkasa, bernama Kwan Sun Giok. Ia
dulu mengepalai barisan penjaga tapal batas di sebelah selatan. Hati-hatilah, Sian Lun. Ia
amat gagah dan berkepandaian tinggi,” jawab Kwee Siong sambil mengerutkan kening.
Memang ia sudah mendengar nama jenderal muda ini yang benar-benar amat terkenal gagah
perkasa tak terlawan.
Sementara itu, jenderal muda Kwan Sun Giok sudah melihat Kwee Siong, maka ia
menudingkan pedangnya dan membentak keras.
“Orang she Kwee! Kau benar-benar anjing tak mengenal budi! Kaisar telah memberi
anugerah kepadamu, akan tetapi siapa kira kau sekarang bahkan menggabungkan diri dengan
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
95
pemberontak. Mana anjing tua Li Goan? Suruh dia maju dan lekas berlutut minta ampun
untuk ku bawa menghadap kepada kaisar!”
“Kwan Sun Giok!” Sian Lun berseru marah sambil menggerakkan kudanya, maju
menghadapi panglima itu. “Alangkah besar mulutmu! Kaisar yang lalim dan membikin
sengsara rakyat tidak patut memegang pemerintahan lagi, dan kau orang yang tolol dan buta
agaknya hanya mabok oleh kesenangan dan harta benda kotor yang diberikan oleh kaisar
kepadamu. Tahukah kau harta benda siapa yang menyenangkan hidupmu? Keringat dan darah
rakyatlah yang kaupergunakan untuk berfoya-foya setiap hari bersama seluruh pembesarpembesar jahat. Untuk menghadapi orang macam kau, tidak perlu Li goanswe yang maju,
cukup dengan pedangku saja!”
Bukan main marahnya Kwan Sun Giok mendengar ini. Ia membuka lebar-lebar kedua
matanya dan memandang kepada Sian Lun.
“Siapa kau?” tanyanya dengan suara keras sehingga mengejutkan kuda yang ditungganggi
oleh Sian Lun. “Aku tidak sudi berusan dan bicara dengan segala serdadu pemberontak. Suruh
pemimpin barisan ini maju!”
“Akulah pemimpinnya,” jawab pemuda itu.
“Kau.......!?? Kwan Sun Giok membelalakan matanya dan kemudian sambil berdongak, ia
tertawa terbahak-bahak, memegangi perutnya yang besar penuh arak. “Ha, ha, ha, ha!
Agaknya anjing tua Li Goan sudah kehabisan panglima! Ia takut menghadapi aku dan
menyuruh bocah ini mengantarkan nyawa. Ha, ha!”
“Sian Lun, jangan layani dia dan berilah perintah kepada barisan untuk menyerbu saja!” kata
Kwee Siong perlahan, karena orang tua ini khawatir kalau-kalau Sian Lun tidak dapat
menandingi perwira yang tangguh ini. Akan tetapi Sian Lun tidak mau memperlihatkan
kelemahannya dan bahkan menantang.
“Kwan Sun Giok, tak perlu banyak bertingkah dan menjual kesombongan. Kalau kau
memang gagah, marilah kita bertempur mengadu kepandaian, disaksikan oleh barisan kita!”
“Baik, baik! Kalau kau dapat menangkan aku, biarlah semua tentaraku kau anggap kalah
saja!” jenderal itu menantang sambil melompat turun dari atas kudanya.
Sian Lun juga melompat turun dari kudanya dan mencabut pedangnya. Setelah berdiri di atas
tanah, nampaklah oleh Sian Lun betapa panglima musuh itu benar-benar tinggi besar. Akan
tetapi sedikitpun pemuda ini tidak merasa jerih dan berpesan kepada Kwee Siong agar supaya
jangan menggerakkan tentara lebih dulu sebelum selesai pertandingan ini.
“Bocah yang masih ingusan!” Jenderal Kwan membentak sambil memutar pedangnya.
“Bersiaplah untuk terima binasa!” Kemudian ia maju menyerbu dan mengirim bacokan
dengan pedangnya.
Sian Lun melihat gulungan sinar kuning menyambar ke arahnya dan ia maklum bahwa selain
pedang di tangan lawannya ini amat tajam dan berbahaya, juga tenaga lawannya benar-benar
hebat. Ia cepat mengelak ke kiri, lalu membalas dengan tusukan pedangnya ke arah perut
lawannya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
96
Kwan Sun Giok tercengang juga melihat kegesitan lawannya yang masih muda ini, maka ia
cepat menggerakkan pedang dengan sekuat tenaga untuk menangkis pedang lawan. Akan
tetapi Sian Lun bukanlah seorang pemuda yang bodoh. Ia maklum akan tajamnya pedang
lawan yang mengeluarkan sinar kuning itu, maka tentu saja ia tidak mau mengadu senjata.
Ia menarik kembali pedangnya dan cepat mengirim serangan-serangan lagi secara bertubitubi. Pedangnya berobah menjadi segulungan sinar putih yang amat kuat, lebar dan cepat
gerakannya, berputar-putar bagaikan seekor elang mengitari dan menyambar kurbannya.
Makin heran dan terkejutlah Kwan Sun Giok menyaksikan kehebatan ilmu pedang lawan. Tak
disangkanya sama sekali bahwa panglima pemberontak yang muda ini memiliki ilmu pedang
yang demikian tingginya. Panglima kerajaan Sui ini lalu membentak nyaring dan mainkan
ilmu-ilmu pedang yang banyak dipelajarinya.
Jenderal muda ini memang amat tangkas, bertenaga besar dan telah mempelajari banyak
macam ilmu pedang., di antaranya dari Go-bi-pai, Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai. Sayang
sekali, bahwa biarpun pengertiannya amat banyak, namun tidak sebuahpun dari pada ilmuilmu pedang itu ia pelajari sampai sempurna.
Betapapun juga, tidak mudah bagi Sian Lun untuk mengalahkan lawannya dalam waktu
singkat. Tidak saja gerakan jenderal itu cukup gesit dan tenaganya amat besar, akan tetapi
terutama sekali karena ia tidak berani mencoba mengadu pedangnya dengan pokiam (pedang
mustika) lawan.
Sian Lun hanya mengerahkan ginkangnya dan bergerak cepat sekali, mengirim seranganserangan dengan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat, dan kadang-kadang juga mengeluarkan
ilmu pedang dari Kun-lun-pai yang dipelajarinya dari Beng To Siansu. Akan tetapi ternyata
bahwa jenderal itupun mengenal ilmu pedang Kun-lun Kiam-hoat, maka dapat
mengimbanginya. Terpaksa Sian Lun lalu mengerahkan ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat yang
benar-benar hebat dan belum dikenal oleh jenderal ini.
Setelah bertempur lima puluh jurus belum juga berhasil mengalahkan Sian Lun, Jenderal
Kwan Sun Giok lalu membentak sambil menahan pedangnya.
“Tunggu dulu, aku tidak suka bertempur melawan orang yang tidak bernama! Melihat ilmu
pedangmu, kau tentu seorang murid dari guru yang pandai. Siapa namamu dan siapa pula
gurumu?”
Sian Lun tersenyum mengejek. “Butakah matamu bahwa aku tadi mainkan ilmu pedang Peksim-kiam-hoat? Kalau kau mengenal Pek-sim-kiam-hoat, tentu kau tahu bahwa aku adalah
murid dari Liang Gi Cinjin, namaku Liem Sian Lun!”
Bab 12…..
Terkejut juga jenderal Kwan mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari Liang Gi
Cinjin, maka ia cepat berkata,
“Kalau begitu, kau adalah suteku (adik seperguruan). Aku adalah murid dari Liang Hwat
Cinjin yang menjadi suheng dari gurumu!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
97
Liang Gi Cinjin tidak pernah bercerita kepada Sian Lun bahwa kakek sakti itu mempunyai
seorang suheng, maka Sian Lun belum pernah mendengar nama Liang Hwat Cinjin. Akan
tetapi, ia tidak berani menuduh jenderal itu membohong, hanya menjawab keras,
“Hubungan itu tidak menghalangi untuk aku memusuhimu, karena jalan kita berselisih. Kalau
kau dan pasukanmu suka menyerah dan menggabung untuk bersama-sama melenyapkan
kaisar lalim dan menolong rakyat jelata, tidak keberatan bagiku untuk mempercayai
omonganmu tadi.”
Jenderal Kwan Sun Giok menjadi marah sekali. Ia memberi aba-aba untuk menyerbu kepada
semua perwira pembantu dan barisannya. Kemudian ia sendiri menyerang lagi kepada Sian
Lun dengan sekuat tenaga.
Sian Lun juga memberi tanda kepada Kwee Siong yang segera memberi perintah kepada para
perajurit untuk menyerbu, sedangkan serangan Kwan Sun Giok yang hebat sekali itu terpaksa
ditangkis oleh Sian Lun dengan pedangnya. Akan tetapi akibatnya membuat Sian Lun merasa
terkejut sekali karena terdengar bunyi keras dan tahu-tahu pedang di tangannya telah putus
menjadi dua.
“Ha, ha, ha! Mampuslah kau!” Sun Giok tertawa bergelak, akan tetapi suara ketawanya ini
ditutup oleh pekik mengerikan ketika Sian Lun menyerbu dengan gerak tipu Raja Monyet
Merebut Mahkota, sebuah tipu gerakan dari ilmu silat Kun-lun-pai yang paling tinggi.
Gerakannya yang amat cepat itu tidak tersangka sama sekali oleh lawannya sehinggatahutahu tangan kirinya telah merampas pedang lawan sedangkan tangan kanannya mengirim
pukulan yang tepat mengenai ulu hati Jenderal Kwan Sun Giok. Pedang berpindah tangan dan
tubuh Kwan Sun Giok yang tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang, kemudian jatuh
terjengkang dalam keadaan mati dan dari mulutnya mengalir darah merah.
Sementara itu, kedua pihak telah bertempur hebat sekali dan banyak nampak jatuh korban.
Tentara di bawah pimpinan Kwan Sun Giok ini adalah tentara pilihan yang rata-rata memiliki
ilmu kepandaian cukup terlatih. Melihat ini, Sian Lun lalu mempergunakan pedang
rampasannya tadi mengamuk bagaikan naga sakti menyambar. Baru segebrakan saja, lima
orang perwira musuh telah ronoh mandi darah.
Sepak terjang yang gagah dari Sian Lun ini membangunkan semangat anak buahnya dan
melemahkan semangat lawannya. Apalagi ketika pemuda itu melompat ke atas sebuah tempat
yang tinggi, lalu menggerak-gerakkan pedang rampasannya sambil berseru keras.
“Dengarlah, para perajurit dari kerajaan Sui! Kalian sebagai anggauta rakyat jelata, tentu
sudah maklum akan kelaliman raja! Kami datang bukan untuk memusuhi kalian, melainkan
untuk membebaskan rakyat dari penindasan, untuk menumbangkan kekuasaan raja yang
sewenang-wenang! Menyerahlah dan mari kita bersama menjadi pembela rakyat! Yang
menyerah akan dianggap kawan, akan tetapi yang tetap berkeras kepala membela raja lalim
pasti akan mampus di ujung pedangku!”
Ketika mengeluarkan ucapan ini, Sian Lun mengerahkan khikangnya dan suaranya terdengar
keras sekali, menimbulkan gema yang terdengar sampai jauh. Ucapan ini amat berpengaruh,
karena pihak musuh menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan perlawanan mereka.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
98
Kalau jenderal Kwan Sun Giok yang demikian gagah perkasa masih roboh di tangan pemuda
yang hebat itu, apalagi mereka. Setelah melihat pihak-pihaknya banyak yang roboh, sebagian
besar daripada tentara kerajaan itu lalu melepaskan senjata dan berlutut menyerah.
Dengan mendapat kemenangan besar serta dapat merampas sebatang pedang pusaka yang
ampuh, Sian Lun lalu memimpin barisannya menyerbu kota raja yang tidak begitu kuat lagi
penjagaannya.
Kalau barisan yang dipimpin oleh Sian Lun hanya menghadapi perlawanan yang ringan, dan
hanya Jenderal Kwan Sun Giok saja yang merupakan penghalang yang disebut kuat, adalah
barisan yang dipimpin oleh Jenderal Besar Li Goan mengalami perlawanan yang amat gigih
daripada tentara kerajaan.
Barisan pemberontak ini yang bergerak dari selatan, jauh sebelum tiba di pintu gerbang kota
raja, telah mengalami perlawanan yang amat hebat dari tiga jurusan, yakni barisan-barisan
kerajaan di bawah pimpinan panglima-panglima Song, Cia, dan Wong. Tiga pasukan yang
besar jumlahnya ini baru saja kembali dari tugas pembersihan di bagian timur dan melihat
pergerakan barisan pemberontak dari Tai-goan, segera mengepung dan menyerangnya.
Panglima-panglima yang bernama Song Kian Hi, Cia Soan Kun, dan Wong Pak ini adalah
panglima-panglima besar yang berkepandaian tinggi, baik dalam ilmu silat maupun dalam
ilmu kemiliteran, mengatur barisan.
Jenderal besar Li Goan menjadi agak kewalahan menghadapi kepungan musuh ini, terutama
sekali tiga orang panglima itu mengamuk dengan amat dahsyatnya, sukar sekali ditahan.
Banyak perwira pembantu Jenderal Li Goan tewas dibawah amukan tiga orang panglima
musuh itu.
Jenderal Li Goan sendiri maju dan hanya dia seorang yang masih berhasil menahan desakan
tiga orang lawan ini. Song Kian Hi bersenjata tombak panjang, gerakan tombaknya luar biasa
kuatnya. Cia Soan Kun adalah ahli main golok yang tangguh sekali, sedangkan Wong Pak
memiliki toyanya yang amat berbahaya karena ia pandai main ilmu toya Raja Kera Puti.
Dibantu oleh dua orang perwira lain, Li Goan bertempur hebat menghadapi tiga orang
panglima kaisar ini, sedangkan barisannya yang terkepung dari tiga penjuru itupun
mengadakan perlawanan mati-matian. Tiba-tiba dua orang perwiranya yang menghadapiCia
Soan Kun dan Wong Pak berseru keras dan roboh mandi darah menjadi korban senjata lawan.
Kini Li Goan dikeroyok tiga oleh tiga orang panglima kosen itu. Untung sekali bahwa
Jenderal Li Goan adalah seorang peperangan kawakan yang tinggi ilmu silatnya. Ia memutar
pedangnya sedemikian rupa sehingga seluruh tubuhnya terlindung oleh gulungan sinar pedang
dan tidak mudahlah bagi tiga orang pengeroyoknya untuk merobohkan jenderal besar ini.
Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan ngeri dan beberapa orang tentara kerajaan roboh
bagaikan rumput dibabat. Ternyata dua orang wanita telah mengamuk menggerakkan pedang
dan menyerbu masuk. Dua orang wanita ini adalah Sui Giok dan Ling Ling. Yang lebih
menyeramkan adalah Ling Ling, karena dengan Pek-hong-kiam di tangan, ia merupakan
halilintar yang menyambar-nyambar tanpa mengenal ampun lagi.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
99
Akhirnya mereka berdua tiba di tempat Jenderal Li Goan dikeroyok. Melihat pakaian tiga
orang panglima itu, tahulah Sui Giok bahwa pengeroyok-pengeroyok itu adalah panglimapanglima tinggi dari kaisar, maka ia lalu berseru kepada anaknya.
“Kita basmi tiga orang panglima kaisar lalim itu!”
Sui Giok dan Ling Ling segera maju menolong jenderal yang sedang terdesak hebat itu, dan
membuat tiga orang panglima itu marah sekali.
“Pemberontak rendah, kau sudah bosan hidup!” teriak Song Kian Hi sambil menyambut
serbuan Ling Ling, Cia Soan Kun bertempur dengan Sui Giok dan kini Jenderal Li Goan
hanya menghadapi serangan Wong Pak seorang. Pertempuran menjadi lebih ramai lagi, akan
tetapi kini keadaannya menjadi terbalik.
Betapapun hebat permainan tombak Song Kian Hi, orang terkuat di antara ketiga panglima
itu, namun menghadapi permainan pedang dari Ling Ling, ia tidak berdaya. Belum juga dua
puluh jurus mereka bertempur, ujung pedang Ling Ling telah berhasil membabat putus ujung
tombaknya dan dengan gerakan yang amat aneh, cepat dan tak terduga, pedang Pek-hongkiam telah menembus dada panglima she Song itu.
Hampir berbareng dengan robohnya Song Kian Hi, panglima ke tiga Wong Pak juga roboh
terkena tendangan yang berat dari Jenderal Li Goan. Sui Giok tidak mau kalah dan ia
mempercepat gerakan pedangnya, maka tak lama kemudian, Cia Soan Kun juga memekik
keras dan tubuhnya terhuyung roboh dengan pundak kiri terbabat putus.
“Terima kasih, jiwi lihiap!” kata jenderal Li Goan dengan singkat oleh karena ketiganya harus
bergerak pula mainkan senjata menghadapi perwira-perwira lawan. Akan tetapi kini
perlawanan pihak tentara kerajaan tidak bersemangat lagi. Kemudian nampak Jenderal Li
Goan dengan gagahnya melompat ke tempat tinggi sambil memegang rambut dari tiga kepala
orang yang sudah putus lehernya.
“Lihat kepala siapa ini! Siapa menyerah akan diampuni nyawanya!” teriakannya keras sekali
karena ia mempergunakan tenaga khikang dari dalam perut. Ketika balatentara kerajaan
berikut para perwiranya melihat bahwa kepala yang kini tergantung pada tangan jenderal
besar itu adalah kepala tiga orang panglima, pemimpin mereka, semua orang menjadi
ketakutan. Ada yang melarikan diri, ada yang berlutut sambil melepaskan senjata.
Dengan demikian, Li Goan mendapat kemenangan besar dan segera memberi perintah untuk
menyerbu masuk ke dalam kota raja. Ketika jenderal ini memandang ke sana ke mari hendak
mencari dua orang wanita yang tadi membantunya, ternyata bahwa kedua orang wanita gagah
itu telah lenyap tak nampak bayangannya lagi.
Akan tetapi oleh karena perjuangan masih belum selesai dan jenderal Li Goan masih sibuk
menghadapi penyerbuan ke dalam kota raja, maka ia tidak dapat mencurahkan perhatiannya
kepada dua orang wanita gagah yang membantunya itu. Ia memimpin tentaranya masuk ke
dalam kota raja, setelah menyerbu para penjaga tembok benteng dan mendobrak pintu
gerbangnya.
Pada saat hampir bersamaan, balatentara pemberontak yang dipimpin oleh Liem Sian Lun
juga berhasil membobol pertahanan para penjaga benteng dan dengan sorak sorai yang ramai
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
100
sekali barisan ini menyerbu masuk dari lain jurusan. Dengan mudahnya barisan penjaga kaisar
dipukul hancur dan Li Goan memimpin pasukannya menyerbu istana kaisar. Akan tetapi
ternyata bahwa siang-siang kaisar telah melarikan diri dan mengungsi ke Yang-kouw.
Liem Sian Lun bertemu dengan Jenderal Li Goan yang merasa girang dan memuji pemuda itu
atas hasil serbuannya dan menyerahkan pedang rampasannya yang dapat dirampas dari tangan
Panglima Sui yang bernama Kwan Sun Giok. Ketika Li Goan menerima dan memeriksa
pedang itu, terkejutlah dia,
“Aah.......! Inilah pedang Oei Hong Kiam! Pedang ini adalah milik Panglima Besar Kam Kok
Han yang gagah perkasa dan yang kemudian dibunuh secara mengecewakan. Pedang ini patut
sekali dipergunakan sebagai pedang pusaka kerajaan baru, karena ia menjadi lambang
kegagahan dan kepahlawanan seorang patriot besar.
Dengan pedang ini pula menteri-menteri dorna yang telah mengacaukan negara dan memeras
rakyat akan kupenggal lehernya!” Sambil berkata demikian, Jenderal Li Goan lalu
menggerak-gerakkan pedang itu sehingga nampaklah gulungan sinar kuning yang
menyilaukan mata.
Sian Lun memandang kagum. Jenderal itu nampak agung, gagah, dan berpengaruh sekali
memegang pedang yang sakti itu. Sebagai ganti jasa atas kemenangan Sian Lun, pemuda itu
lalu menerima pengangkatan sebagai panglima muda dan menerima pula sebilah pedang
pusaka, yakni pedang Gi-tiang-kiam, pedang mustika yang diwariskan turun-temurun oleh
nenek moyang Jenderal Li Goan.
Jenderal Li Goan lalu mengumpulkan semua pemimpin barisan yang kini telah diangkatnya
menjadi perwira-perwira, dan dengan kata-kata keras ia memberi perintah,
“Cuwi-ciangkun! Berkat kerja sama dan semangat kepahlawanan seluruh barisan, akhirnya
kita berhasil menggulingkan tahta kerajaan Kaisar Yang Te dan menduduki Tiang-an!
Sungguhpun kaisar sendiri berhasil mengungsi, akan tetapi kerajaan dan singgasana telah
berada di tangan kita. Sekarang kita harus bertindak tegas, membuktikan kemauan kita yang
baik dan perjuangan kita yang suci. Para pembesar yang kini masih berada di kota, tangkap
dan tahan semua, akan tetapi jangan sekali-kali melakukan tindak hukum sendiri-sendiri.
Semua tawanan baru harus diserahkan kepada Hakim Agung kita, saudara Kwee Siong.
Hanya dialah seorang yang berhak memutuskan hukuman atau pembebasan seorang tawanan.
Juga awaslah terhadap penyelewengan-penyelewengan para perajurit!”
Pada saat Jenderal Li Goan sedang berunding dengan para perwira, tiba-tiba datanglah
seorang perwira yang bicara dengan gugup.
“Celaka, tai-goanswe! Di sebelah barat jalan raya terdapat orang mengamuk. Banyak perajurit
dia tewaskan dan kepandaiannya amat tinggi!”
Mendengar ini, Sian Lun lalu melangkah maju dan berkata,
“Biarlah hamba diberi ijin menangkap perusuh itu!”
Li Goan memberi persetujuan dan berangkatlah Sian Lun keluar dari istana itu sambil
membawa pedangnya Gi-tiang-kiam. Sebetulnya apakah yang terjadi di tempat keributan itu?
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
101
Orang yang mengamuk itu bukan lain adalah Ling Ling bersama ibunya. Kedua orang wanita
gagah ini, terutama sekali Ling Ling, sedang mengamuk hebat, dikeroyok oleh sepuluh orang
perajurit dan sudah banyak yang roboh tewas di bawah pedang Ling Ling yang digerakkan
sedemikian rupa sehingga yang nampak hanya sinar merah yang menyilaukan saja.
Mengapa Ling Ling menjadi begitu marah dan mengamuk? Hal ini diakibatkan oleh
penyelewengan para perajurit. Memang tidak mengherankan apabila di dalam suatu
peperangan, pihak yang menang selalu tergoda oleh setan angkara murka dan bertindak
sewenang-wenang. Demikianlah, maka banyak juga anggauta tentara dari barisan Jenderal Li
Goan yang menang perang itu, setelah memasuki kota, lalu melakukan perampokan dan
penculikan terhadap kaum wanita.
Serombongan tentara terdiri dari tujuh orang dengan kurang ajar sekali melakukan
perampokan dan menyeret keluar orang-orang wanita, keluarga dari para bangsawan. Pekik
orang-orang yang terbunuh, jerit wanita-wanita yang diculik keluar dari rumah, menarik
perhatian Ling Ling dan ibunya yang juga diam-diam sudah ikut masuk ke dalam kota yang
diduduki oleh barisan Jenderal Li Goan itu.
Ketika Ling Ling melihat tujuh orang perajurit merampok dan mengganggu wanita, ia
menjadi marah sekali.
“Kurang ajar! Beginikah macamnya orang-orang yang menyebut dirinya sebagai patriotpatriot?” bentaknya dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah menjambak rambut kepala
seorang tentara yang sedang menyeret seorang gadis bangsawan dan begitu ia mengerahkan
tenaga, perajurit yang nyeleweng itu terlempar jauh, menjerit ketakutan dan ketikajatuh ke
atas tanah ia tak dapat bergerak lagi. Ling Ling yang dibantu pula oleh ibunya lalu bergerak
cepat dan tujuh orang perajurit yang berlaku sewenang-wenang itu sebentar saja menggeletak
semua dalam keadaan terluka hebat.
Tentu saja para anggauta tentara lainnya yang melihat kawan-kawan mereka dihajar oleh dua
orang wanita itu, lalu beramai-ramai menyerbu dan mengeroyok. Sebagian besar di antara
mereka berlumba untuk dapat menangkap Ling Ling yang demikian cantik jelita.
Akan tetapi mereka itu kecele, karena gadis manis ini bukanlah sembarangan orang yang
dapat ditangkap begitu saja. Belum juga mereka dapat mengulur tangan, tubuh mereka telah
roboh kena pukulan atau tendangan Ling Ling dan ibunya yang mengamuk bagaikan dua ekor
naga betina yang marah.
Sudah menjadi lazim bahwa di antara anggauta tentara terdapat rasa setia kawan yang amat
besar. Mereka tentu saja selalu membantu kawan-kawan mereka tanpa memeriksadulu
apakah kawan-kawan itu bertindak salah atau bertindak benar.
Demikianlah, makin banyaklah perajurit-perajurit yang mengurung dan mengeroyok Ling
Ling dan ibunya, bahkan kini mereka itu telah mencabut senjata dan kini tak seorangpun yang
ingin menangkap dan memeluk Ling Ling, melainkan menyerang dengan maksud membunuh.
Ling Ling dan ibunya sudah terlampau banyak merobohkan kawan-kawan mereka, melukai
bahkan membunuh. Kini mereka mengamuk dan mengeroyok dua orang wanita itu untuk
dibunuh.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
102
Akan tetapi, keroyokan yang sungguh-sungguh ini bahkan membuat Ling Ling dan ibunya
makin menjadi marah. Kini Ling Ling dan tidak ragu-ragu lagi untuk mencabut pedangnya
dan berkelebatlah sinar merah mengamuk dengan hebat sekali.
Para perwira yang mendengar keributan itu mulai tertarik dan datang ke tempat itu. Akan
tetapi mereka juga tidak berdaya menghadapi Ling Ling yang sudah menjadi amat marah itu.
“Tidak tahunya pemberontak-pemberontak yang menggulingkan pemerintahan lama adalah
perampok-perampok jahat!” seru Ling Ling di antara amukannya. “Sama halnya dengan
mengusir harimau mendatangkan srigala! Ibu, mari kita basmi mereka semua ini!”
“Ling Ling!” teriak Sui Giok sambil memutar pedangnya, “jangan sembarangan membunuh!
Cukup asal kau menjatuhkan mereka dengan melukai kaki mereka saja. Tak perlu kita
melakukan pembunuhan. Lebih baik kita melaporkan kepada panglima yang berkuasa!”
Betapapun juga, Sui Giok masih lebih sabar dan dapat menduga bahwa tidak semua perajurit
berlaku sewenang-wenang terhadap penduduk kota itu yang sebagian besar terdiri dari para
bangsawan. Akan tetapi mana Ling Ling mau menaruh hati kasihan kepada para
pengeroyoknya?
Pada saat itu, terdengar bentakan keras, “Semua perajurit, mundur!” Dan berkelebatlah
bayangan yang gesit sekali menghadapi Ling Ling dan Sui Giok. Perajurit-perajurit yang
tadinya mengeroyok dua orang wanita itu, ketika melihat siapa orangnya yang datang,
menjadi lega dan cepat melakukan perintah itu, dan melompat mundur menjauhi kedua orang
wanita itu.
Ling Ling dan Sui Giok memandang dan mereka melihat seorang pemuda dengan pedang
bersinar gemilang di tangan kanan berdiri dengan gagahnya. Adapun Sian Lun ketika melihat
Ling Ling, ia menjadi kagum sekali dan untuk beberapa lama tak dapat mengeluarkan suara.
Tak terasa lagi mereka berdua saling pandang sampai lama sekali dan akhirnya Sian Lun
menjadi merah mukanya.
Bagaimana ia bisa tertarik kepada seorang gadis yang agaknya membantu kaisar dan telah
merobohkan banyak sekali anak buahnya. Akan tetapi, untuk menegur gadis itu, hatinya
merasa berat sekali.
Ketika melihat wanita kedua, seorang nyonya setengah tua yang juga cantik sekali, ia lalu
menegur,
“Toanio, mengapakah kau dan kawanmu mengamuk dan membunuh banyak perajurit?
Apakah kalian ini menjadi pembela-pembela kaisar lalim?”
Akan tetapi sebelum Sui Giok sempat menjawab, Ling Ling sudah mendahului ibunya dan
membentak.
“Kaukah yang mengepalai semua bangsat-bangsat perampok ini? Bagus, kalau begitu rasakan
tajamnya pedangku!” Sambil berkata demikian, Ling Ling lalu maju menyerang dengan
pedangnya yang bersinar merah.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
103
Sian Lun menjadi mendongkol dan marah sekali. Nona ini ternyata amat galak dan telah
berani memaki perajurit-perajuritnya sebagai bangsat perampok. Tanpa banyak cakap iapun
menangkis serangan itu dengan pedang Gi-tiang-kiam dan membalas dengan serangan yang
tak kalah hebatnya.
Terkejutlah keduanya ketika pedang mereka bertemu, karena mereka merasa betapatelapak
tangan mereka pedas dan tergetar, sedangkan kedua pedang itu mengeluarkan titik bunga api.
Pertempuran dilanjutkan dengan hebat dan makin lama keduanya menjadi makin heran,
kagum dan kaget. Ilmu pedang lawan benar-benar kuat dan tinggi sekali. Mereka sama gesit,
sama kuat dan sama pandai.
Betapun juga, lambat laun Ling Ling merasa betapa ilmu pedang pemuda itu benar-benar
amat mengagumkan dan gerakannya lebih tenang dan kuat dari pada gerakan pedangnya
sendiri. Memang, sesungguhnya Sian Lun masih menang sedikit ilmu pedangnya, karena
selain ia telah menerima gemblengan dari suhunya, Beng To Siansu, iapun telah mewarisi
ilmu pedang Pek-sim-kiam-hoat dari Liang Gi Cinjin.
Seratus jurus telah lewat akan tetapi kedua orang muda itu masih saling serang dengan
hebatnya. Biarpun dalam keadaan terdesak, gadis yang tabah itu tidak menjadi gentar, bahkan
ia lalu mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk merobohkan lawan. Bagi Sian
Lun, ia makin tertarik kepada gadis ini dan hatinya tidak tega untuk melukainya. Maka ia
berlaku hati-hati dan tidak mau melakukan serangan-serangan maut, sehingga keadaan
mereka tetap berimbang.
Sui Giok merasa gelisah sekali. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan, puterinya akan kalah.
Akan tetapi, bagaimana ia dapat membantu?
“Ling Ling, hayo kita pergi dari sini!” teriaknya berulang-ulang karena kini para perwira
lainnya telah mengurung tempat itu dan keadaan mereka amat terancam.
“Tidak, ibu. Sebelum aku berhasil merobohkan cacing tanah ini, aku tidak mau pergi?” jawab
Ling Ling yang merasa penasaran sekali.
Beberapa orang perwira hendak maju membantu Sian Lun, akan tetapi begitu Sui Giok
memutar pedangnya menghadapi mereka, senjata tiga orang perwira telah terpentaldan tubuh
mereka kena disapu oleh kaki Sui Giok sehingga terguling-guling. Melihat kehebatan nyonya
ini, terkejutlah semua perwira dan mereka tidak berani lagi maju mendekati.
Pada saat itu, berkelebat bayangan orang tinggi besar dan terdengarlah seruannya yang
menggeledek dan berpengaruh sekali.
“Sian Lun, tahan! Nona pedang merah, harap kau bersabar dulu!”
Mendengar seruan ini, Sian Lun lalu melompat mundur, karena yang datang adalah Jenderal
Li Goan sendiri. Juga Ling Ling ketika melihat jenderal besar ini, menahan pedangnya. Akan
tetapi ia berdiri tegak dan memandang kepada jenderal itu dengan pandangan mata tajam.
“Kau mau apa, goanswe?” tanyanya angkuh.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
104
Li Goan tersenyum dan berkata, “Kau dan panglimaku ini bertempur bagaikan dua ekor naga
sakti saja! Sungguh hebat, sungguh indah dilihat, akan tetapi amat berbahaya!” Kemudian ia
berpaling kepada Sui Giok dan mengangkat tangan memberi hormat, lalu berkata kepada ibu
dan anak itu.
“Jiwi lihiap, baru kemaren jiwi membantu barisanku mengalahkan barisan kaisar, akan tetapi
mengapa hari ini jiwi telah melakukan hal sebaliknya? Mengapa jiwi menyerang para
perajuritku dan bahkan menyerang panglimaku? Sungguh aneh sekali jiwi ini, kemaren
menjadi pembantu sekarang menjadi lawan!”
Jenderal ini bicara dengan suara yang jelas, tenang dan muka terang sehingga Sui Giok
merasa malu. Akan tetapi Ling Ling menudingkan pedangnya kepada semua perajurit yang
menggeletak di situ sambil berkata keras.
“Kemaren yang kami bantu adalah barisan orang-orang gagah yang berjuang menumbangkan
kekuasaan raja lalim. Akan tetapi hari ini kami menyerang barisan perampok yang berlaku
sewenang-wenang, merampok, membunuh, dan menculik wanita. Apanya yang aneh dalam
perbuatan kami? Kaulah orangnya yang aneh, goanswe! Kemaren kau memimpin pasukan
pejuang, apakah hari ini kau hendak membela dan memimpin perampok-perampok jahat
macam ini?”
Mendengar ucapan ini, bukan main malu dan marahnya jenderal itu. Mukanya yang gagah itu
menjadi merah sampai ke telinganya. Tanpa menjawab kata-kata Ling Ling, ia memandang
kepada seorang perajurit yang terluka, menghampirinya lalu menjambak rambutnya, dipaksa
berdiri.
“Siapa yang memimpin perampokan ini?” tanyanya dengan suara bagaikan harimau
mengaum.
Perajurit yang terluka pahanya oleh pedang Ling Ling itu, menjadi pucat dan dengan bibir
gemetar dan tubuh menggigil ia menjawab.
“Hamba......, hamba hanya terbawa-bawa, yang menjadi biang keladinya adalah Ciu-twako
itu.........” Ia menuding ke arah seorang perajurit yang patah tulang pundaknya dan rebah
merintih-rintih di atas tanah.
Jenderal Li Goan melepaskan jambakannya, akan tetapi ia menendang tubuh perajurit itu
sehingga tubuh itu terpental jauh dalam keadaan tak bernyawa lagi. Kemudian menghampiri
perajurit she Ciu yang kini memandang dengan mata terbelalak takut.
Semua orang, termasuk Ling Ling, Sui Giok, dan Sian Lun, memandang dengan diam tak
mengeluarkan sedikitpun suara. Demikian pula para perajurit dan perwira. Keadaan menjadi
sunyi sekali.
“Kau mengaku telah membawa kawan-kawanmu merampok dan menculik wanita-wanita?”
tanyanya dengan suara mengguntur.
Perajurit itu tidak berani mengeluarkan suara, bahkan tidak berani pula menatap pandang
mata pemimpin besar itu. Ia menundukkan kepalanya dan tubuhnya menggigil seperti orang
kedinginan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
105
“Jawab!” Jenderal Li Goan membentak.
“Hamba..... hamba hanya merampok...... bangsawan-bangsawan ....... kaki tangan kaisar........”
“Bagaimana bunyi larangan ketiga dan kelima?” suara Jenderal Li mengguntur lagi.
“Ketiga..... tidak boleh merampok......, kelima .... tidak boleh mengganggu wanita.....”
“Bedebah, kau masih ingat larangannya, namun tetap kau langgar!” Srrrrt! Pedang yang
mengeluarkan cahaya kuning tercabut dari pinggang jenderal itu dan sekali ia ayunkan
pedangnya, putuslah leher perajurit yang menyeleweng tadi.
Jenderal Li Goan lalu mengangkat pedang Oei Hong Kiam tinggi-tinggi, dan berkata dengan
suara keras terhadap semua perwira dan perajurit.
“Dengarlah semua, hai patriot-patriot bangsa sejati. Kalian telah mencucurkan peluh,
mengeluarkan darah, mempertaruhkan nyawa untuk membela bangsa dan mengusir penindas
rakyat. Perjuanganmu itu baru disebut suci dan bermanfaat apabila tidak kalian kotori dan
nodai sendiri dengan perbuatan-perbuatan jahat seperti yang telah dilakukan oleh manusiamanusia ini. Jangan menjadi pelindung rakyat hanya di mulut saja, akan tetapi dihati selalu
mencari kesempatan untuk memeras rakyat jelata. Contohnya perajurit yang kupenggal
lehernya ini, siapa saja yang berani melakukan pelanggaran seperti dia, pedangku iniakan
memenggal lehernya.”
Bab 13…..
Setelah berkata demikian, Jenderal Li Goan hendak memberi hormat kepada Sui Giok dan
Ling Ling, akan tetapi ibu dan anak itu memandangnya dengan mata terbelalak. Pandangan
mata Ling Ling dan Sui Giok sebenarnya bukan tertuju kepada wajah jenderal itu melainkan
kepada pedang Oei Hong Kiam yang diangkat tinggi-tinggi oleh Jenderal Li Goan.
“Oei Hong Kiam ......!” berseru Ling Ling dan ibunya hampir berbareng dan tiba-tiba wajah
mereka menjadi beringas. Inilah pedang peninggalan Panglima Kam Kok Han yang telah
dirampas oleh pembunuhnya. Sebelum menarik napas terakhir, Bu Lam Nio telah berpesan
agar mereka berdua mencari dan membunuh pemegang pedang Oei Hong Kiam!
Bagaikan mendapat komando, serentak Ling Ling dan Sui Giok menubruk maju dengan
pedang mereka, menyerang Jenderal Li Goan yang sama sekali tidak menyangkanya. Baiknya
jenderal besar ini memiliki ilmu silat tinggi, maka ketika dua pedang itu menyambarnya, ia
masih dapat menangkis pedang Sui Giok dan mengelakkan diri dari tusukan pedang merah di
tangan Ling Ling yang menyambar lehernya. Namun gerakan Ling Ling amat cepatnya
sehingga biarpun jenderal itu berhasil menyelamatkan nyawanya masih saja ujung pundaknya
terbabat sehingga baju dan kulit pundaknya terobek oleh ujung pedang.
“Eh, gilakah kalian?” Jenderal Li Goan masih sempat berseru kaget, dan Sian Lun lalu
menyerbu ke depan menghadapi amukan Ling Ling yang amat berbahaya ilmu pedangnya itu.
Juga semua perwira mengurung maju sambil berteriak-teriak.
“Tangkap pemberontak wanita! Bunuh mereka!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
106
Ada pula yang berseru, “Mereka adalah siluman kejam! Bunuh!”
Ling Ling tertawa bergelak dan dengan suara yang menyeramkan ia berseru,
“Hayo, majulah! Keroyoklah Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li! Kami tidak takut!
Pemegang Oei Hong Kiam harus mampus di tangan kami!” Ia terus mengejar Jenderal Li
Goan, akan tetapi oleh karena Sian Lun menghalanginya, dengan sengit dan marah sekali ia
lalu menyerang Sian Lun sehingga kembali ia bertempur dengan hebatnya menghadapi
pemuda kosen itu.
Nama Cialing Mo-li dan Toat-beng Mo-li sudah terkenal sekali, karena nama ini telah banyak
diceritakan orang. Maka mendengar nama ini, terkejutlah semua orang, termasuk Sian Lun
dan Jenderal Li Goan.
Akan tetapi jenderal yang berpengalaman ini tidak mau melihat wanita gagah itu terbunuh,
karena ia pikir tentu ada apa-apanya di belakang yang mereka hendak membunuhnya. Apalagi
ucapan Ling Ling yang terakhir, yang menyatakan bahwa pemegang pedang Oei Hong Kiam
harus mati di tangan mereka, amat menarik hatinya.
“Sian Lun, jangan bunuh mereka! Tangkap mereka hidup-hidup! Ini merupakan perintah!”
katanya keras sehingga terdengar oleh semua perwira yang beramai-ramai mengurung ibu dan
anak itu.
Para perwira ketika mendengar perintah ini lalu mengambil tambang dan jala, dan beramairamai mereka melemparkan jala dan tambang ke arah kedua orang wanita yang mengamuk
bagaikan kerbau gila itu. Dikeroyok demikian banyak orang, terutama sekali menghadapi
pedang Sian Lun yang luar biasa, akhirnya Ling Ling dan Sui Giok dapat tertutup oleh jala.
Mereka memberontak dan dengan pedang mereka, banyak jala yang putus-putus dan banyak
pula perwira yang terkena bacokan sehingga terluka. Akan tetapi, selagi mereka merontaronta di dalam jala, Sian Lun lalu menghampiri Ling Ling dan dengan cepat sekali lalu
menotok pundak gadis itu di jalan darah tai-hwi-hiat sehingga lemaslah tubuh Ling Ling.
Jenderal Li Goan juga melompat ke dekat Sui Giok dan jenderal yang berkepandaian tinggi
ini menyontoh tindakan Sian Lun dengan tiam-hoatnya yang dipelajarinya dari ilmu totokan
Siauw-lim-pai, maka robohlah Sui Giok dengan tubuh lemas pula.
“Tahan mereka dan hadapkan kepada pengadilan tertinggi untuk diperiksa!” jenderal itu
memerintahkan kepada para perwiranya. “Akan tetapi harus memperlakukan mereka baikbaik!”
Setelah berkata demikian, ia mengajak Sian Lun masuk ke dalam istana untuk melanjutkan
usaha perkembangan selanjutnya agar pemerintahan yang baru dapat berjalan lancar.
******
Pada keesokan harinya, Kwee Siong dengan pakaian kebesaran telah duduk di belakang meja
besar di dalam istana di ruang lebar bagian persidangan pengadilan kaisar. Pembantupembantunya telah menduduki tempat masing-masing dan di kanan kiri siap menjaga empat
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
107
belas orang perwira yang berpakaian indah dan bersikap gagah. Empat orang algojo yang
bertubuh tinggi besar bagaikan raksasa berdiri di kanan kiri pula, diam tak bergerak bagaikan
patung.
Suasana di ruang pengadilan sepi sunyi, tidak ada seorangpun berani mengeluarkan suara.
Memang Kwee Siong terkenal amat memegang aturan dan melarang orang-orang membuat
gaduh apabila ia sedang mengadakan pemeriksaan terhadap para pesakitan.
Ia amat manis budi akan tetapi memegang disiplin teguh sekali. Di dalam pemeriksaan, ia
amat jujur dan adil, pandai sekali memancing omongan pesakitan. Pandai pula ia mengangkat
dan menyanjung-nyanjung pesakitan untuk kemudian dibantingnya sehingga banyaklah para
pesakitan yang tadinya mati-matian menyangkal perbuatannya, terkena bujuk dan masuk
dalam perangkap sehingga tanpa diminta lagi mereka itu dengan sukarela telah mengakui
semua perbuatannya.
Di dalam pekerjaan ini, sistim yang dipergunakan oleh Kwee Siong jauh berbeda dengan
sistim pengadilan di masa itu. Biasanya, seorang hakim mengandalkan alat penyiksaan untuk
memaksa pesakitan mengakui perbuatannya.
Pendapat Kwee Siong lain lagi, karena menurut pendapatnya, pemeriksaan mengandalkan alat
penyiksaan ini banyak sekali membuat orang-orang yang tidak bersalah terpaksa mengakui
perbuatan pelanggaran yang sebenarnya tidak dilakukan, semata-mata karena tidak tahan
terhadap siksaan-siksaan tadi. Dengan demikian terkenal di zaman itu banyak sekali orang
tidak berdosa terpaksa menjalani hukuman, karena terpaksa mengakui perbuatan kejahatan
yang tidak dilakukannya, dipaksa oleh alat-alat penyiksa tadi.
Algojo-algojo atau tukang-tukang penyiksa yang seperti raksasa itu diadakan di situ oleh
Kwee Siong hanya untuk menakut-nakuti saja, dan mereka berempat ini jarang sekali turun
tangan.
Setelah memeriksa surat-surat tuduhan dan laporan dari para pesakitan yang banyak sekali
jumlahnya, Kwee Siong lalu memanggil nama seorang pesakitan. Dengan amat lancar
dilakukan tanya jawab dan pemeriksaan terhadap para pesakitan, seorang demi seorang.
Cara memutuskan sesuatu perkara amat bijaksana dan kadang-kadang membuat para
pembantunya diam-diam saling pandang dengan terheran-heran. Sebagai contoh dari pada
kebijaksanaan pemeriksaan dan keputusan Kwee Siong yang dianggap aneh oleh para
pendengarnya, adalah dua hal sebagai berikut.
Seorang bangsawan tua yang dekat dengan keluarga kaisar, ketika dibawa menghadap di
ruangan itu, tidak mau berlutut di depan meja pengadilan.
“Berlutut!” bentak seorang algojo sambil memaksanya untuk berlutut. Karena tenaga algojo
itu amat kuat, maka bangsawan tua itu terpaksa berlutut. Akan tetapi, begitu ia berlutut dan
tangan algojo yang menekan pundaknya dilepaskan, ia berdiri lagi dengan tegak dan
memandang kepada Kwee Siong dengan mata menentang.
“Tua bangka kurang ajar! Kau harus berlutut!” Alagojo itu berseru lagi dan mengangkat
tangannya untuk mengancam bangsawan itu, akan tetapi terdengar Kwee Siong berkata.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
108
“Biarkan saja!” Kemudian ia memandang kepada bangsawan itu dengan sabar, dan ia
mengenal bangsawan itu yang bukan lain adalah Cin Kui Ong, seorang yang berpangkat
kepala urusan kebudayaan di zaman pemerintah Sui.
“Kiranya Cin Kui Ong taijin yang berdiri dihadapanku,” hakim ini berkata tenang, “kerajaan
Sui telah musnah, apakah kau masih saja berkeras kepala dan hendak melakukan perlawanan
dengan sikapmu yang angkuh?”
Cin Kui Ong meludah ke atas tanah dengan sikap yang menghina sekali. “Cih! Kerajaan boleh
musnah, akan tetapi kesetiaanku takkan musnah, biarpun kau akan memenggal leherku. Aku
Cin Kui Ong tidak boleh dipersamakan dengan segala siauwjin (orang rendah) she Kwee yang
tidak ingat budi. Kau dulu mendapat anugerah kaisar dan sekarang kau berbalik memihak
pemberontak. Apakah kau tidak malu menghadapi nenek moyangmu?”
Seorang algojo hendak turun tangan membungkam mulut yang amat menghina itu, akan tetapi
Kwee Siong memberi tanda agar bangsawan itu dibiarkan saja bicara.
“Orang she Kwee!” Cin Kui Ong melanjutkan bicaranya dengan semangat membubung tinggi
dan muka merah. “Telah beberapa keturunan aku orang she Cin mengabdi kepada kaisar,
mengalami jatuh bangunnya kerajaan, akan tetapi belum pernah keluargaku berlaku khianat.
Kami adalah orang-orang setia yang tidak akan takut menerima datangnya hukuman dari
pihak pemberontak keji. Bagi kami, lebih baik mati sebagai seorang pahlawan terhadap
kaisar!”
“Bagus, Cin Kui Ong! Kau masih bisa bicara tentang kepahlawanan dan kegagahan. Memang
tepat sekali ucapanmu bahwa orang harus menjunjung tinggi kesetiaan, akan tetapi lupakah
kau bahwa diatasnya kesetiaan masih terdapat kebajikan, prikemanusiaan, dan keadilan?
Apakah benar-benar kau tidak melihat betapa Kaisar Yang Te berlaku amat lalim dan tidak
memperdulikan keadaan rakyat jelata? Lupakah kau betapa ratusan laksa jiwarakyat kecil
dikorbankan hanya untuk kesenangan dan nafsu dari kaisar yang angkara murka itu? Tidak
tahu pulakah kau betapa pembesar-pembesar tinggi berlaku korup, memeras rakyat,
menggendutkan kantongnya dan perutnya sendiri tanpa memperdulikan keluh kesah dan
penderitaan rakyat?”
“Tak usah kau memberi petuah kepadaku, Kwee Siong! Dalam hal ini, kau yang masih muda
mana dapat melampaui pengalamanku. Aku tahu, tidak buta mataku, aku tahu akan semua itu,
akan tetapi aku orang she Cin tidak pernah melakukan hal-hal semacam itu. Betapapun juga,
kami adalah orang-orang yang patuh akan kewajiban, tidak sudi memeras rakyat, tidak sudi
berlaku korup, patuh dan setia dengan setulusnya hati!”
Kwee Siong tertawa, “Kesetiaan membuta, ketulusan yang timbul dari hati lemah. Eh, orang
she Cin, pernahkah kau yang melihat segala ketidak adilan itu menegur kaisar? Pernahkah kau
turun tangan menghalangi kawan-kawan sejawatmu yang melakukan pekerjaan terkutuk itu?”
Untuk pertanyaan ini, Cin Kui Ong tak dapat menjawab. Akhirnya ia membela diri. “Urusan
orang lain bukanlah urusanku. Kewajibanku telah kuselesaikan dengan hati bersih. Perduli
apa dengan urusan orang lain. Thian tidak buta dan semua orang yang berbuat jahat pasti akan
mendapat hukumannya sendiri.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
109
“Nah, itulah kelemahanmu, Cin-taijin! Kegagahan tanpa disertai keadilan dan kebajikan akan
menjadi kegagahan yang merusak. Kesetiaan tanpa disertai pertimbangan dan prikemanusiaan
akan menjadi kesetiaan yang palsu. Setialah orang-orang yang berani menegur dan
memperingatkan junjungannya dari pada kesesatan. Setialah orang-orang yang berani
melakukan hal itu, tanpa memperdulikan nasib sendiri, tidak takut menghadapi murka raja.
Rakyat menderita hebat, yang makmur hanyalah orang-orang yang memegang pangkat, akan
tetapi kau membutakan mata terhadap nasib rakyat jelata. Aku dapat melihat hal itu dan aku
membantu perjuangan rakyat yang memang sudah seadil-adilnya. Pemimpin yang tidak
pandai membawa rakyat ke arah kemakmuran sudah tak layak lagi disebut pemimpin. Kaisar
diangkat bukan untuk menyenangkan diri sendiri, melainkan untuk berusaha ke arah
kemakmuran rakyatnya, kekuatan negaranya!”
Mendengar uraian ini, diam-diam Cin Kui Ong menjadi kagum sekali. Terbukalah matanya
bahwa kesetiaannya terhadap pemerintah Sui itu sama halnya dengan mendorong dan
membela kejahatan merajalela. Akan tetapi, ia tetap mengangkat dada dan berkata.
“Kalau begitu, biarlah aku mengaku bahwa pemerintah Sui memang buruk. Dan sebagai
seorang pembesar dari pemerintah yang buruk, aku siap untuk dihukum mati. Biarlah aku
membayar kesalahan kerajaan Sui dengan kesetiaan dan nyawaku!”
Kwee Siong tersenyum girang. Ia memberi tanda kepada penjaga dan berkata, “Bebaskan dia!
Kembalikan gedungnya yang disita dan bebaskan pula semua keluarganya!”
“Kwee Siong, kau menghinaku!” Cin Kui Ong berkata marah. “Lebih senang hatiku kalau kau
menjatuhi hukuman mati kepadaku!”
Akan tetapi Kwee Siong menggelengkan kepalanya. “Tidak, Cin-taijin. Orang-orang
bersemangat kesatria dan berjiwa pahlawan seperti kau amat dibutuhkan oleh rakyat yang
perlu dipimpin. Pemerintahan baru membutuhkan tenagamu, dan kalau kau memang mencinta
nusa dan bangsa, tentu kau akan suka menyumbangkan tenagamu!”
Demikianlah, Cin Kui Ong yang terheran-heran itu didorong keluar dari ruang sidang itu dan
disuruh pulang. Hal ini amat mengherankan semua orang, akan tetapi perhitungan Kwee
Siong memang tepat.
Sebelumnya ia memang telah tahu bahwa pembesar ini termasuk di antara para pembesar
yang jujur dan adil, dan setelah kini dikeluarkan, ternyata kelak Cin Kui Ong akan merupakan
seorang pembesar yang amat baik dan membantu lancarnya roda pemerintahan yang baru.
Keputusan kedua yang dijatuhkan kepada seorang pembesar muda bernama Oei Lok Cun juga
mengherankan semua orang. Pembesar ini usianya baru tiga puluh tahun lebih dan tadinya ia
berpangkat kepala bagian perbendaharaan.
Seperti juga Cin Kui Ong, ia ditawan sebelum sempat melarikan diri, karena ia tidak dapat
pergi meninggalkan gedungnya yang penuh dengan harta bendanya. Sebelum melakukan
pemeriksaan, Kwee Siong sudah membuat catatan riwayat hidup dan keadaan seorang
pesakitan, maka ia tahu bahwa pembesar muda she Oei ini dulunya terkenal sebagai seorang
pembesar tukang korupsi. Betapapun juga, ia hendak melihat sikapnya dulu, baru mengambil
keputusan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
110
Begitu dihadapkan dengan Kwee Siong, Oei Lok Cun lalu menjatuhkan diri berlutut tanpa
berani mengangkat mukanya.
Atas pertanyaan Kwee Siong, Oei Lok Cun menjawab bahwa dia adalah seorang bekas
pembesar bagian perbendaharaan, mempunyai seorang putera dan tidak ikut mengungsi
dengan kaisar karena katanya ia hendak tunduk terhadap pemerintah yang baru.
“Oei Lok Cun!” Kwee Siong membentak dengan suara keras. “Kau kini menyatakan hendak
tunduk terhadap pemerintahan yang baru, apakah kau tahu siapakah para pemberontak yang
kini menggulingkan kaisar?”
“Hamba tahu, hamba tahu!” jawab Oei Lok Cun cepat-cepat. “Yang menggulingkan kaisar
adalah Jenderal Li Goan yang gagah perkasa dan adil.”
Marahlah Kwee Siong mendengar jawaban ini. “Bodoh! Tidak terbukalah matamu bahwa Ligoanswe hanya menjadi pemimpin yang terpilih oleh rakyat? Rakyat jelatalah yang
menggulingkan pemerintah kaisar lalim. Tahukah kau? Rakyat jelata yang telah lama terinjakinjak dan tercekik yang bangkit menggulingkan kaisar!”
“Betul..... betul......” kata Oei Lok Cun gagap. “Hamba tadi lupa, rakyat jelatalah yang gagah
berani yang memberontak dan menggulingkan raja lalim!”
Kwee Siong tersenyum menyindir. Manusia yang tak dapat dipercaya, makinya di dalam hati.
Anjing penjilat yang berbahaya.
“Hm, sekarang kau menyebut rakyat jelata yang gagah berani? Akan tetapi berapa banyak
sudah uang suapan yang kau terima pada waktu rakyat diperas dan dipaksa menjadi pekerja
paksa?”
Pucatlah muka Oei Lok Cun mendengar tuduhan ini. Dengan bibir gemetar dan tubuh
menggigil, ia berkata, “Itu..... itu..... hamba terpaksa......, taijin!”
“Terpaksa bagaimana?”
“Hamba..... hamba hanya menurut perintah kaisar...... hamba ...... hamba tidak memakai uang
itu...... kalau taijin kehendaki, sekarang juga hamba akan kembalikan semua uang itu.....
sungguh mati, hamba tidak menggunakan uang itu, hamba mau menyerahkan kembali kepada
taijin.....”
“Tutup mulutmu!” Kwee Siong membentak marah karena merasa ia akan diberi suapan secara
demikian berterang dan tak tahu malu. “Kau kira aku semacam engkau? Kau bilang bahwa
kau sekarang hendak menurut dan tunduk kepada pemerintah baru? Betul-betul kau
bersumpah bahwa kau akan membantu kami?”
Gembiralah wajah Oei Lok Cun karena mendapat harapan baru.
“Tentu saja, taijin! Hamba bersumpah untuk membela dan bersetia, hamba suka membantu
dengan jiwa raga hamba!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
111
Hampir saja Kwee Siong tertawa bergelak mendengar omong kosong ini. “Nah, bagus kalau
begitu,” katanya menahan senyum, “sekarang kaisar telah melarikan diri dan kami
membutuhkan tentara untuk mengejar dan menawannya. Kau harus membantu dan berjuang
di garis depan, menghadapi tentara penjaga kaisar.”
Bukan main terkejutnya Oei Lok Cun mendengar ucapan ini.
“Ampun, taijin! Hamba seorang yang lemah, tak pernah memegang senjata! Biarlah hamba
membantu dengan harta benda hamba saja, untuk membeli ransum. Hamba....... hamba
bersedia berjuang di garis paling belakang saja!”
Habislah kesabaran Kwee Siong. Ia memberi tanda kepada penjaga dan memutuskan,
“Masukkan pengecut dan penjilat ini ke dalam penjara. Hukumannya sepuluh tahun, harta
bendanya disita, ditinggalkan sepuluh bagian untuk putera dan keluarganya!”
Oei Lok Cun menangis dan mengeluh panjang pendek ketika ia diseret keluar. Seorang
pembantu Kwee Siong yang duduk di sebelah kiri hakim itu dan yang tergerak hatinya oleh
keluh kesah bekas pembesar kerajaan Sui itu memandang kepada Kwee Siong dengan mata
memohon penjelasan.
“Orang macam itu,” kata Kwee Siong dengan sabar, “adalah orang yang amat berbahaya.
Dalam keadaan negara aman, ia selalu berusaha untuk mengumpulkan kekayaan, tak perduli
dengan jalan korupsi atau memeras rakyat. Kalau negara berada dalam bahaya, ia
menyembunyikan diri, dalam persiapan perang ia selalu melepaskan diri mempergunakan
uangnya.
Kalau peperangan selesai, ia akan gembar gembor menonjolkan diri sebagai pahlawan
terbesar dan menuntut jasa. Ia pengecut dan penjilat, berusaha menyuap pembesar atasannya
dan mencekik pekerja bawahannya.”
Penjelasan ini membuat semua orang menahan napas karena kagum dan takut. Kalau ada di
antara para pembantu itu yang bercita-cita seburuk kelakuan Oei Lok Cun, akan lenyaplah
cita-cita itu bagaikan asap tertiup angin.
Demikianlah, Kwee Siong memeriksa semua tawanan dan pesakitan dengan caranya sendiri,
penuh kebijaksanaan, kewaspadaan, dan keadilan. Banyak yang dibebaskan, ada pula yang
dihukum mati atau dihukum sampai bertahun-tahun.
Ketika tiba giliran dua orang pesakitan wanita yang di dalam laporan disebut sebagai Toatbeng Mo-li dan Cialing Mo-li, ia mengerutkan keningnya. Disangkanya bahwa kedua orang
wanita itu tentulah perampok-perampok jahat yang mempergunakan kesempatan dalam
peperangan itu untuk melakukan kejahatan, Akan tetapi ketika ia membaca laporan itu
mendapat kenyataan bahwa dua orang wanita itu menyerang dan melukai Jenderal Li Goan, ia
menjadi terkejut sekali.
“Bawa ke sini seorang demi seorang!” perintahnya.
Tak lama kemudian dari luar terdengar suara ribut-ribut dan seorang gadis muda yang cantik
jelita diseret masuk. Gadis ini adalah Ling Ling yang diikat kedua kaki tangannya akan tetapi
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
112
gadis itu masih berusaha meronta-ronta. Kalau saja ia tidak dalam keadaan tertotok maka ia
akan dapat membuat tali-tali yang mengikat kaki tangannya itu akan putus semua.
“Hati-hatilah, jahanam-jahanam biadab!” desisnya dengan suaranya yang merdu dan nyaring
sekali. “Kalau aku dapat bebas, aku akan patahkan lehermu seorang demi seorang.”
Ketika ia diseret di depan Kwee Siong, Ling Ling berdiri tegak dan memandang kepada
pembesar ini dengan mata tajam dan penuh kebencian. Akan tetapi Kwee Siong
memandangnya dengan senyum ramah dan pandang mata lembut, sehingga Ling Ling merasa
heran dan juga jengah. Dengan heran ia merasa betapa kemarahannya mencair menghadapi
wajah pembesar yang bermata tajam dan bermuka ramah itu.
Pada saat itu, seorang perwira datang dan menyerahkan sepucuk surat kepada Kwee Siong.
Ketika Kwee Siong membaca surat itu, ternyata itu adalah surat dari Li Goan yang minta agar
supaya Kwee Siong menyelidiki keadaan kedua orang wanita yang mengamuk itu dengan
seksama dan teliti. Dalam suratnya ini, Li Goan menceritakan betapa di dalam perjalanannya
menyerbu kota raja, kedua orang wanita itu telah membantunya mati-matian dan jasamereka
amat besar.
“Nona, siapakah namamu?” tanyanya setelah membaca surat itu.
“Perlu apa bertanya lagi. Aku disebut Iblis Wanita dan aku sudah kalah karena keroyokan
yang pengecut sekali. Aku sudah tertangkap, mau bunuh boleh bunuh, buat apa banyak
tanya?”
“Kau gagah berani sekali, nona. Sayang sekali seorang gadis yang masih muda seperti kau,
seorang yang masih banyak harapan di hari depan, yang seharusnya menjadi seorang calon
ibu yang bijaksana, seorang berkepandaian tinggi yang seharusnya menjadi pejuang yang
amat dibutuhkan oleh rakyat, kau ternyata telah tersesat sedemikian jauhnya. Sungguh sayang
sekali kau menerima pelajaran ilmu kepandaian setinggi itu, kalau hanya kau pergunakan
untuk membunuh Jenderal Li Goan, pemimpin besar dari rakyat jelata!”
Kata-kata pertama yang dikeluarkan oleh Kwee Siong mengharukan hati Ling Ling sehingga
hampir saja ia mengeluarkan air matanya. Akan tetapi ucapan terakhir itu memanaskan
hatinya sehingga ia menjawab marah,
“Kau ini siapakah maka berani bicara tentang kegagahan? Siapa yang tersesat? Aku
selamanya membela rakyat dan membenci kaisar lalim dan pembesar terkutuk. Aku
mengamuk dan membunuh perajurit-perajuritmu karena mereka merampok dan menculik
wanita!”
Kwee Siong tersenyum dan mengangguk-angguk. “Aku sudah tahu, nona. Aku sudah tahu
pula betapa kau dan kawanmu yang seorang lagi telah membantu perjuangan Jenderal Li
Goan. Akan tetapi, mengapa kau tiba-tiba menyerang Jenderal Li Goan? Mengapa kau dan
kawanmu tiba-tiba berbalik pikiran dan berusaha mati-matian untuk membunuhnya?”
“Karena ia musuh besar Kam Kok Han! Karena dia yang memegang Oei Hong Kiam!”
“Apa maksudmu?” tanya Kwee Siong dengan heran sekali.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
113
“Tak perlu aku banyak bicara. Pendeknya siapa saja yang menjadi ahli waris pedang Oei
Hong Kiam, orang itu harus kubunuh!”
Tertarik sekali hati Kwee Siong mendengar ini. Ia sudah hampir dapat membuka tabir rahasia
tentang penyerangan itu. Ia mendesak dan membujuk, akan tetapi benar saja, Ling Ling tidak
mau menjawab lagi. Ia tidak mau membuka rahasia Bu Lam Nio, dan hanya menyatakan
bahwa ia harus membunuh Jenderal Li Goan, karena jenderal itu membawa pedang Oei Hong
Kiam.
Kwee Siong menjadi kewalahan menghadapi gadis yang keras kepala ini.
“Bawa yang seorang lagi ke sini!” perintahnya kepada penjaga.
Berbeda dengan Ling Ling, Sui Giok masuk ke dalam ruangan itu dengan patuh dan tidak
banyak memberontak. Ketika ia dihadapkan kepada Kwee Siong, Sui Giok mengangkat
mukanya dan memandang, juga Kwee Siong memandang tajam. Dan..... keduanya menjadi
pucat sekali. Baik Sui Giok maupun Kwee Siong seakan-akan melihat setan di siang hari,
mata mereka terbelalak, mulut celangap, bibir gemetar dan tubuh menggigil.
“Siapa namamu?” tanya Kwee Siong menahan getaran hatinya, akan tetapi tetap saja suaranya
terdengar parau dan menggigil sehingga semua orang memandangnya dengan khawatir.
“Hamba bernama Liem Sui Giok, taijin.....” menjawab Sui Giok sambil menundukkan
mukanya untuk menahan keluarnya air mata dari sepasang matanya. Ling Ling hampir saja
berteriak saking herannya melihat sikap ibunya ini. Belum pernah ia melihat ibunya bersikap
demikian lemah lembut dan tunduk.
“Dan........ dan ini........ ini anakmu......?” Wajah Kwee Siong makin pucat dan suaranya makin
perlahan.
“Betul, inilah Ling Ling, puteri hamba....”
Terdengar teriakan keras dan ributlah semua orang di situ melihat betapa KweeSiong roboh
pingsan di atas bangkunya dengan kepala terkulai di atas meja. Dan yang amat mengherankan
hati Ling Ling, ibunya berlutut sambil menundukkan muka dan menangis.
Dalam keadaan ribut-ribut, ibu dan anak ini dibawa kembali ke kamar tahanan, sedangkan
Kwee Siong lalu digotong masuk ke dalam istana. Ia pingsan sampai lama sekali dan ketika
siuman, ia menderita demam panas yang hebat. Ia menderita pukulan batin yang hebat sekali
ketika ia melihat isteri dan puterinya telah menjadi orang-orang yang disebut siluman-siluman
wanita.
Begitu siuman, ia berteriak-teriak dan kemudian jatuh pingsan lagi. Jenderal Li Goan cepat
mencari ahli obat untuk memeriksanya dan memberinya obat. Semua orang berpendapat
bahwa Kwee Siong terlampau lemah dan setelah ikut dalam peperangan yang melelahkan,
sekarang kelelahan membuatnya jatuh sakit berat.
Bab 14.....
Malam hari itu, Sian Lun dipanggil oleh Jenderal Li Goan.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
114
“Kau pergilah ke tempat tahanan dan sedapat mungkin lanjutkan pemeriksaan pamanmu
(Kwee Siong) atas diri dua orang wanita itu. Coba kau tanya dengan jelas, mengapa mereka
itu membenci orang yang memegang pedang Peihk ini!” Jenderal ini sudah mendengar
tentang hasil pemeriksaan itu dan hatinya ingin tahu sekali.
Kemudian Jenderal Li Goan lalu berpesan kepada Sian Lun agar supaya membebaskan kedua
orang itu. “Mengaku atau tidak, kau harus bebaskan mereka. Biarlah mereka datang lagi kalau
masih penasaran hendak membunuhku!” Jenderal ini tertawa. “Aku sudah siap menantinya.”
Demikianlah, malam hari itu sambil membawa surat perintah, Sian Lun menuju ke tempat
tahanan. Sebelum ia tiba di tempat itu, Ling Ling dan ibunya bicara dengan asyik sekali.
Berkali-kali Ling Ling membujuk ibunya agar suka menceritakan sikapnya yang aneh tadi,
akan tetapi ibunya hanya menarik napas panjang.
“Tidak ada apa-apa, anakku, hanya bahwa dahulu aku pernah berkenalan dengan pembesar
itu. Dia adalah kawan baik ayahmu dan....... agaknya ia terharu melihat keadaan kita.
Sudahlah, tak perlu kau tahu lebih banyak akan hal ini dan tak perlu pula kau bicara dengan
siapapun juga. Biar aku yang akan menyelesaikan sendiri urusan ini apabila dia sudah dapat
memeriksa lagi.”
Ling Ling tak dapat mendesak ibunya yang nampak sedih dan selalu menangis itu. Dan pada
saat itu, Sian Lun telah memperlihatkan surat kuasa kepada kepala penjaga, karena tanpa
adanya surat kuasa dari Jenderal Li Goan, biarpun Sian Lun cukup dikenal sebagai panglima
muda, tak mungkin ia diperkenankan masuk untuk bercakap-cakap dengan para tawanan.
Demikianlah disiplin yang amat baik dan keras dari Jenderal Li Goan.
Ketika melihat ada orang berjalan mendekati kamar tahanan mereka, Sui Giok menghentikan
tangisnya dan Ling Ling memandang dengan marah ketika melihat bahwa yang datang adalah
pemuda lihai yang kemarin bertempur dengan dia.
“Mau apa kau datang?” ia menegur dengan marah sekali dan seluruh mukanya berobah
merah.
Akan tetapi Sian Lun ketika melihat betapa kedua orang itu dibelenggu dan keadaan mereka
masih lemah bekas totokannya dan totokan jenderal Li Goan, merasa amat kasihan. Ia cepat
membuka pintu kamar tahanan itu dan membuka pula belenggu kaki tangan mereka.
Bahkan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membuka totokan dengan menepuk dan menotok kedua
pundak gadis dan ibunya itu. Sesungguhnya totokan yang kemarin dilakukan olehnya dan
oleh jenderal Li Goan telah lenyap pengaruhnya dalam waktu seperempat hari saja, akan
tetapi kalau lenyapnya bukan karena dibuka dengan totokan lain, pengaruhnya masih ada dan
masih membuat tubuh terasa lemas.
Bukan main herannya hati Ling Ling dan Sui Giok ketika mereka melihat perbuatan pemuda
bekas lawan ini. Lebih-lebih lagi rasa heran mereka ketika Sian Lun mengeluarkan dua batang
pedang dari dalam mantelnya, yakni pedang Ling Ling dan pedang Sui Giok yang kemaren
telah dirampas.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
115
“Apa maksudmu dengan semua ini?” tanya Ling Ling masih ketus dan galak. “Apakah kau
hendak menyombongkan keberanianmu dan menantangku melanjutkan pertempuran kita satu
lawan satu tanpa adanya pengeroyokan yang pengecut?” Sambil berkata demikian, gadis ini
sudah siap dan mencabut pedangnya. Akan tetapi ia dicegah oleh ibunya yang segera bertanya
kepada Sian Lun,
“Orang muda, sesungguhnya mengapa kau melepaskan kami? Apakah kehendakmu?”
“Aku diperintah oleh Jenderal Li Goan untuk melepaskan kalian karena beliau menganggap
kalian telah membantu perjuangan dan berjasa kepadanya.”
Ucapan ini benar-benar di luar persangkaan kedua anak dan ibu itu. Tadinya mereka mengira
bahwa Sian Lun sendiri yang mempunyai maksud menolong mereka, akan tetapi Jenderal Li
Goan? Bukankah mereka telah menyerang dan hendak membunuhnya, bahkan Ling Ling
telah berhasil melukai pundaknya?
Sian Lun dapat menduga apa yang mereka pikirkan, maka ia lalu berkata lagi.
“Sesungguhnya, Jenderal Li Goan merasa amat penasaran mengapa kalian hendak
membunuhnya hanya karena kebetulan sekali ia memegang pedang Oei Hong Kiam. Padahal,
ia memiliki pedang itu adalah atas pemberianku!”
Mendengar ucapan ini, baik Ling Ling maupun Sui Giok melompat bangun dan memandang
kepada Sian Lun dengan mata tajam mengancam.
“Jadi tadinya pedang itu adalah milikmu??” tanya Sui Giok yang tiba-tiba berobah suaranya
menjadi keren sekali sehingga Sian Lun merasa amat terkejut.
Kemudian ...............
“Memang Jenderal Li menerima pedang itu dariku,” kata pula Sian Lun sambil memandang
tajam.
“Kalau begitu kau harus mampus ditanganku!” seru Ling Ling dan ibunya hampir berbareng.
Sian Lun makin terkejut dan cepat-cepat ia mengangkat kedua tangannya. “Harap sabar dulu
toanio, dan kau juga nona. Pedang itu bukanlah pedang yang kuwarisi dari nenek moyangku.
Aku hanya kebetulan saja mendapatkan pedang itu!”
Sui Giok menunda serangannya dan memandang tajam penuh perhatian. “Coba kau ceritakan
bagaimana kau mendapatkan pedang itu? Siapa pemiliknya sebelum terjatuh ke dalam
tanganmu?”
Melihat ketegangan pada muka kedua orang wanita itu, Sian Lun dapat menduga bahwa
pedang Oei Hong Kiam itu tentu mempunyai riwayat yang hebat sekali. Dengan singkat ia
lalu menuturkan betapa ia mendapatkan pedang itu dari tangan seorang Panglima lawan,
yakni Jenderal Kwan Sun Giok yang menjadi murid dari Liang Hoat Cinjin.
Mendengar penuturan ini, Sui Giok menarik napas panjang dan berkata kepada Ling Ling.
“Ah, mengapa buruk benar nasib kita? Jenderal Li Goan yang gagah perkasa hampir saja kita
bunuh karena kecerobohanku. Anak muda, tolong kau sampaikan pernyataan maafku kepada
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
116
Jenderal Li Goan, dan juga terima kasih kami bahwa dia telah begitu baik hati untuk
melepaskan kembali kami, ibu dan anak yang berdosa.”
Bangga hati Sian Lun mendengar ucapan ini dan pemuda yang tadinya merasa gelisah ini, kini
dapat tersenyum kembali. Dengan mata berseri, ia memandang kepada Ling Ling dan ibunya
lalu berkata,
“Jenderal Li Goan adalah seorang pemimpin besar yang bijaksana. Kalau saja jiwi sudi
bertemu dengan dia dan menyatakan hendak bekerja sama menggulingkan kaisar lalim yang
kini masih belum tewas, tentu dia akan menerima dengan kedua tangan terbuka.”
Sui Giok menggelengkan kepalanya. “Kami bukanlah orang-orang yang haus akan kedudukan
dan pangkat.”
“Betapapun juga, kaisar lalim itu akhirnya pasti akan mampus di ujung pedangku!” Ling Ling
menyambung kata-kata penolakan ibunya.
“Orang muda, sebelum kami pergi, dapatkah kau menerangkan padaku, siapakah gerangan
hakim yang memeriksa kami siang tadi?”
Sian Lun tersenyum gembira ketika menjawab, “Ah, dia? Dia adalah pamanku sendiri,
bernama Kwee Siong, orang termulia di atas dunia ini!”
Wajah Sui Giok menjadi pucat sekali dan bibirnya gemetar. Untuk menyembunyikan
kebingungan dan keharuan hatinya, ia berkata gagap. “Jadi kau keponakannya, bukan
anaknya.....?” Pertanyaan ini sebetulnya merupakan ucapan penutup keharuannya, asal keluar
saja, akan tetapi dijawab oleh Sian Lun yang tidak menduga sesuatu.
“Bukan toanio. Aku bukan anaknya. Pamanku Kwee hanya mempunyai seorang putera yang
bernama Kwee Cun, baru delapan tahun usianya.”
Belum habis pemuda itu mengeluarkan ucapan ini, Sui Giok telah memegang tangan Ling
Ling dan menariknya keluar. “Hayo kita pergi!”
Tentu saja Sian Lun menjadi heran sekali. Akan tetapi ketika ia menyusul keluar, ibu dan
anak yang aneh itu telah lenyap ditelan malam gelap. Terpaksa ia kembali ke tempat tinggal
Kwee Siong dengan hati menduga-duga.
Adapun Ling Ling yang semenjak kecil belum diberitahu oleh ibunya akan nama ayahnya,
juga sama sekali tidak pernah mengira bahwa hakim itu adalah ayahnya sendiri. Tadinya Sui
Giok menanti dengan hati penuh harapan ketika ia melihat betapa hakim itu adalah suaminya
sendiri, akan tetapi dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika mendengar dari Sian Lun
bahwa suaminya yang kini telah menduduki pangkat tinggi itu ternyata telah menikah lagi dan
telah mempunyai seorang putera.
Ia menyembunyikan hal ini dari Ling Ling, karena ia maklum akan kekerasan hati puterinya
ini. Ia tidak dapat menyalahkan pernikahan suaminya itu, karena sebagai seorang bijaksana,
Sui Giok dapat mempertimbangkan keadaan suaminya yang tadinya seakan-akan
menghidupkan jiwanya yang telah mati, kini api harapan itu padam lagi dan membuat ia
merasa betapa kosongnya dunia ini.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
117
Sementara itu, ketika siuman kembali dari pingsannya, Kwee Siong memandang ke kanan
kiri, kemudian terdengar ia mengeluh.
“Mana........ mana mereka........??” bisiknya berkali-kali dengan tubuh terasa panas bagaikan
dibakar.
Seorang tinggi besar mendekatinya dan memegang tangannya.
“Saudara Kwee, kau kenapakah?” suara ini halus sekali sungguhpun terdengar besar dan
dalam.
Kwee Siong memandang kepada wajah Jenderal Li Goan, dan tiba-tiba ia bangun dan duduk.
“Goanswe.... tolonglah..... keluarkan mereka. Ah, mereka itu adalah isteriku dan puteriku!Sui
Giok..... isteriku ternyata masih hidup dengan anaknya .... anakku ..... Ling Ling!”
Tentu saja Li Goan menjadi terharu dan menggeleng-gelengkan kepala, mengira bahwa hakim
ini telah menjadi kacau pikirannya karena terserang demam.
“Beristirahatlah, saudara Kwee, kau terserang penyakit panas. Mungkin kau terlalu lelah,”
katanya lemah lembut sambil mendorong perlahan pundak Kwee Siong supaya berbaring lagi.
Akan tetapi, dengan mata terbelalak Kwee Siong memegang tangannya dan berkata,
“Tidak, Goanswe, tidak! Dua orang wanita itu..... yang katanya menyerangmu, mereka itu
benar-benar isteri dan puteriku yang kukira tewas belasan tahun yang lalu!”
Barulah Jenderal Li Goan terkejut mendengar ucapan ini. Ia lalu duduk di pinggir
pembaringan Kwee Siong yang menceritakan riwayatnya ketika ia dibawa pergi oleh pasukan
pengumpul tenaga rakyat untuk dipaksa bekerja. Ia menuturkan pula bahwa telah beberapa
kali ia menyuruh orang menyelidiki keadaan isteri dan anaknya, dan mendengar bahwa
mereka itu tidak kelihatan bekas-bekasnya lagi, kemungkinan besar sudah tewas di dalam
hutan.
“Dan sekarang mereka muncul..... mereka berada di sini! Ah, tolonglah Goanswe, bebaskan
mereka, biar mereka datang ke sini!”
Li Goan terkejut sekali dan cepat ia pergi keluar untuk memberi kabar kepada Sian Lun. Akan
tetapi ia mendengar dari pemuda ini bahwa kedua ibu dan anak itu telah pergi, entah ke mana.
Pemuda ini menuturkan pengalamannya dan dengan wajah lesu jenderal ini lalu masuk
kembali ke kamar di mana Kwee Siong berbaring dengan penuh harapan.
Alangkah terkejut dan menyesalnya hati Kwee Siong ketika ia mendengar Li Goan berkata,
“Mereka sudah pergi, agaknya isterimu tidak mau bertemu dengan kau.” Ia lalu menuturkan
kembali apa yang ia dengar dari Sian Lun tadi.
Kwee Siong menutup mukanya dengan kedua tangan dan ia menangis terisak-isak seperti
anak kecil.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
118
“Ah, Sui Giok..... Sui Giok...... tentu kau marah dan membenciku..... aku telah berdosa besar
kepadamu! Sui Giok, mengapa kau tidak mau kembali kepadaku.....?”
Dalam keadaan sakit keras Kwee Siong lalu diangkat pulang ke rumah sendiri. Atas
permintaannya, peristiwa itu dirahasiakan, hanya Kwee Siong dan Li Goan sendiri yang
mengetahuinya. Bahkan Sian Lun sendiri tidak diberi tahu bahwa ibu dan anak yang
menyerang Li Goan itu sebenarnya adalah isteri dan puteri dari Kwee Siong.
Nyonya Kwee Siong dari keluarga Liok adalah seorang yang terpelajar. Melihat keadaan
suaminya dan mendengar betapa di dalam sakitnya, suaminya mengingau dan memanggilmanggil nama Sui Giok, ia menjadi curiga.
Ia telah diberitahu oleh suaminya bahwa suaminya dulu pernah menikah dengan orang yang
bernama Sui Giok dan yang dikabarkan telah tewas, maka ketika ia melihat suaminya sudah
menjadi agak sembuh, dengan halus ia mendesak dan membujuk kepada Kwee Siong untuk
menceritakan keadaannya. Kwee Siong maklum akan kebaikan hati isterinya, maka ia lalu
berterus terang, menceritakan apa yang telah terjadi.
Nyonya Kwee menjadi sangat terharu dan dengan setulus hatinya ia mengucurkan air mata.
“Aduh, kasihan sekali mereka! Suamiku, mengapa pada saat kau bertemu dengan mereka, kau
tidak mengajak mereka pulang ke sini? Mereka berhak duduk di sampingmu dan hidup
bersama kita serumah. Dia adalah ibu dari anakmu yang sulung dan aku adalah ibu dari
anakmu yang bungsu. Kami dapat menjadi enci-adik dan hidup rukun di sini.”
Kwee Siong menghela napas berulang berkali dengan penuh kemenyesalan.
“Aku berdosa besar ..... aku berdosa besar kepada mereka......” hanya inilah yang diucapkan
berkali-kali dan hatinya penuh dengan pertanyaan bagaimana Sui Giok yang lemah lembut itu
kini telah menjelma menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian hebat
dan mengerikan. Akan tetapi siapakah dapat menjawab pertanyaan ini? Puterinya, Ling Ling
yang dulu masih berada dalam kandungan Sui Giok ketika mereka terpaksa berpisah, ternyata
demikian cantik jelita, demikian gagah berani, ah........
Tiada habisnya penyesalan menggerogoti hati Kwee Siong sehingga dalam beberapa bulan
saja rambut kepalanya banyak yang menjadi putih, sikapnya makin pendiam dan seringkali ia
duduk melamun. Sungguhpun ia masih melakukan tugas pekerjaannya seperti biasa, namun ia
tak pernah lagi nampak gembira seperti biasa. Tentu saja isterinya juga ikut menjadisedih.
Berkali-kali isteri yang bijaksana ini menghiburnya.
“Suamiku, kau tidak berdosa, sama sekali tidak berdosa. Kau bukan sengaja meninggalkan
enci Sui Giok, dan kau menikah dengan aku karena mengira bahwa enci Sui Giok sudah
meninggal dunia. Nasiblah yang menjadikan enci Sui Giok seperti itu dan yang telah
merusakkan kebahagiaan rumah tanggamu bersama enci Sui Giok. Ada ujar-ujar kuno yang
menyatakan bahwa perbuatan salah yang dilakukan tanpa disadarinya dan tanpa disengaja
bukanlah perbuatan dosa. Lebih baik kita berusaha mencari mereka dan membawa mereka itu
ke sini.”
Terhibur jugalah jati Kwee Siong oleh ucapan isterinya yang bijaksana ini dan ia mulai
menyuruh orang-orangnya untuk mencari di mana adanya ibu dan anak itu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
119
******
Jenderal Li Goan ternyata adalah seorang yang tidak saja pandai mainkan senjata dan
memimpin barisan, akan tetapi ternyata ia pandai pula menghatur pemerintahan. Ia mulai
mengatur pemerintahan, mengangkat pembesar-pembesar, membagi-bagi tugas dan mulai
mengatur pekerjaan, melanjutkan ketatanegaraan dengan adil dan baik. Disamping ini, ia
masih mengerahkan pasukan-pasukannya untuk terus mengejar kaisar dan sisa balatentaranya.
Sementara itu, di mana-mana masih saja berkobar api pemberontakan. Sebagian besar para
pasukan pemberontak yang bergerak menyendiri, dapat dibujuk dan dapat digabungkan
dengan barisan di bawah pimpinan Jenderal Li.
Akan tetapi ada pula pemberontak-pemberontak yang mempunyai cita-cita sendiri dan yang
bahkan memerangi pasukan Jenderal Li, oleh karena ini dipimpin oleh orang-orang yang
sesungguhnya menginginkan kedudukan kaisar. Oleh karena ini, di mana-mana terjadi
pertempuran antara pasukan kaisar melawan para pemberontak dan antara pasukan-pasukan
Jenderal Li melawan pemberontak-pemberontak yang tidak mau menggabungkan diri.
Keadaan negara menjadi rusuh sekali, pertempuran kacau balau terjadi di mana-mana.
Kedudukan Kaisar Yang Te makin lemah, sungguhpun kaisar ini masih melakukan
perlawanan mati-matian. Pemberontak-pemberontak yang paling hebat menggempur barisan
Kaisar Yang Te adalah sepasukan pemberontak baru yang terdiri dari pendeta-pendeta dan
anak buah perkumpulan agama Pek-sim-kauw.
Mereka ini berjuang tanpa maksud untuk keuntungan diri sendiri. Mereka hanya bergerak
untuk menumbangkan kekuasaan Kaisar Yang Te yang amat dibenci karena kelalimannya.
Tadinya anggauta-anggauta Pek-sim-kauw ini bangun dan menggabungkan diri dengan para
pemberontak setempat, tidak memilih pihak mana dan siapa yang memimpin pemberontakan
itu.
Akan tetapi, akhirnya terbuka mata mereka dan yang merasa bahwa barisan pemberontak di
mana mereka menggabung diselewengkan pemimpinnya yang memberontak dengan maksud
untuk menjadi kaisar, lalu keluar dari pasukan itu. Akhirnya para anggauta Pek-sim-kauw ini
agaknya mendapatkan seorang pemimpin baru dan mereka bersatu merupakan sebuah
pasukan Pek-sim-kauw yang luar biasa kuatnya.
Tiap kali terjadi pertempuran antara barisan Pek-sim-kauw melawan barisan pelindung kaisar
banyaklah perwira-perwira gagah perkasa dari kaisar yang roboh tewas oleh pasukan yang
kuat ini. Sesungguhnya pasukan Pek-sim-kauw ini tidak seberapa banyak jumlahnya, akan
tetapi mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi. Apalagi pemimpin mereka yang baru,
ternyata bahwa pemimpin ini amat tangguh dan tiap kali pasukan Pek-sim-kauw menghadapi
perlawanan yang dipimpin oleh seorang perwira lihai selalu pemimpin Pek-sim-kauw inilah
yang merobohkan perwira itu.
Siapakah pemimpn Pek-sim-kauw yang lihai ini? Bukan lain adalah Ling Ling dan ibunya,
Sui Giok. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ibu dan anak ini melarikan diri dari
tempat tahanan setelah dilepaskan oleh Sian Lun. Karena Sui Giok merasa hancur hatinya dan
habis binasa pengharapannya ketika mendengar bahwa suaminya yang kini telah menjadi
seorang pembesar tinggi ternyata telah menikah lagi dan telah mempunyai seorang putera.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
120
Kalau dulu di dalam setiap tindakan, Sui Giok selalu menjadi kemudi dan selalu mencegah
puterinya berlaku ganas, adalah kini nyonya mempunyai sepak terjang mengerikan sekali. Di
dalam setiap pertempuran, Sui Giok mengamuk bagaikan kerbau luka, menghancurkan tentara
musuh yang berani menghadapinya.
Ia berlaku nekad dan tidak memperdulikan lagi bahaya yang mengancamnya, seakan-akan ia
tidak perduli lagi akan hidup matinya. Memang nyonya ini telah putus harapan dan di dalam
dadanya terdapat kedukaan besar sekali yang selalu disembunyikan dari mata orang lain,
bahkan dari mata puterinya sendiri.
Ling Ling dan Sui Giok diangkat menjadi pemimpin oleh pasukan Pek-sim-kauw, ketika pada
suatu hari serombongan pendeta Pek-sim-kauw terdiri dari belasan orang telah dikurung oleh
sepasukan tentara kaisar di dalam sebuah hutan. Belasan pendeta Pek-sim-kauw inimelawan
mati-matian, akan tetapi karena pihak lawan amat banyak jumlahnya dan dipimpin oleh lima
orang perwira kelas satu, agaknya rombongan pendeta Pek-sim-kauw itu tidak akan menang
dan tidak mempunyai jalan keluar pula.
Tiba-tiba terdengar bentakan merdu dan nyaring dan dua bayangan orang yang luar biasa
sekali gerakannya menyerbu masuk, mengocar-ngacirkan barisan kaisar ini dan dalam
beberapa jurus saja telah berhasil merobohkan lima orang perwira kaisar. Barisan kaisar
menjadi kacau balau dan ketika melihat betapa pemimpin-pemimpin mereka gugur, mereka
lalu melarikan diri.
“Toat-beng Mo-li dan Cialing Mo-li!” tiba-tiba terdengar seruan heran dan ketika kedua orang
wanita yang telah membantu mereka itu menengok, Ling Ling dan Sui Giok mengenal bahwa
di antara para pendeta itu, terdapat dua orang pendeta yang mereka kenal baik, yakni Pek
Hong Ji dan Pek Thian Ji dua orang di antara Pek-sim Ngo-lojin di Cengtu.
Demikianlah, Ling Ling dan ibunya lalu diangkat menjadi pemimpin mereka dan ketika
ditanya, Pek Hong Ji dan adiknya memberitahukan bahwa tiga orang di antara kelima kakek
gagah itu, yakni Pek Im Ji, Pek Yang Ji, dan Pek Te Ji, telah gugur di dalam pertempuranpertempuran yang lalu.
Dengan adanya pasukan Pek-sim-kauw ini, maka para anggauta dan pendeta Pek-sim-kauw
yang tersebar di mana-mana lalu datang menggabungkan diri sehingga pasukan ini menjadi
makin besar dan kuat. Pasukan ini bermarkas di dalam sebuah hutan di luar kota Yang-kouw
di mana Kaisar Yang Te membangun benteng sebagai tempat pertahanan terakhir.
Memang, karena dikejar-kejar dan sebagian besar barisannya telah dapat dipukul mundur
hancur, Kaisar Yang Te dengan para pengikut dan pasukannya yang masih bersetia
kepadanya, lalu bersembunyi di dalam kota Yang-kouw. Sisa-sisa barisan dikumpulkan dan
dipusatkan di tempat ini, membuat pertahanan yang cukup kuat. Beberapa kali pasukanpasukan pemberontak datang menggempur, akan tetapi pertahanan kaisar ini berhasil
memukul mundur barisan penyerang sehingga sampai hampir setahun kaisar itu masih hidup
selamat di kota Yang-kouw ini.
Pada suatu hari, ketika Ling Ling dan Sui Giok sedang duduk beristirahat di bawah sebatang
pohon pek yang besar, datanglah seorang pendeta Pek-sim-kauw dan setelah dekat, ternyata
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
121
bahwa yang datang itu adalah pendeta Pek Hong Ji. Napasnya terengah-engah tanda bahwa
pendeta yang sudah tua ini telah berlari-lari dari tempat jauh dalam keadaan yang tegang.
“Ada apakah, totiang?” tanya Ling Ling sambil bangun berdiri.
“Siocia, toanio, pertempuran besar telah dimulai! Penyerbuan besar-besaran telah terjadi,
dilakukan oleh barisan Jenderal Li dari Tiang-an. Inilah saatnya benteng Yang-kouw
dihancurkan.”
Seakan-akan menjadi bukti dari laporan pendeta Pek Hong Ji ini, tiba-tiba terdengar sorak
sorai yang riuh sekali dari jurusan kota Yang-kouw.
“Bagus, kita harus cepat menyerbu, membantu barisan Jenderal Li!” dengan sigap Ling Ling
memberi perintah. “Kumpulkan kawan-kawan kita dan kita menyerbu dari belakang kota.
Biarkan barisan Tiang-an yang besar jumlahnya menggempur dari depan dan selagi para
tentara kaisar mempertahankan dan mengumpulkan kekuatan di benteng depan, kita
menyerbu dari belakang dan memasuki kota!”
Ketika pasukan mereka sudah berkumpul dan hendak berangkat, Sui Giok berkata kepada
Ling Ling dan kepada kedua pendeta Pek-sim-kauw, yakni Pek Hong Ji dan Pek Thian Ji.
Kalau kita sudah berhasil menyerbu masuk, jangan mengganggu kaisar, dia adalah bagianku
dan pedang ini yang akan menamatkan riwayatnya!”
Pek Thian Ji tersenyum. “Aduh, toanio bersemangat benar?! Jangan kuatir, toanio, kami
takkan mendahului.”
Berangkatlah pasukan istimewa ini keluar dari dalam hutan, berlari dengan cepat sekali tanpa
mengeluarkan suara. Mereka ini rata-rata memiliki ilmu lari cepat yang cukup baik. Ketika
mereka telah keluar dari hutan, suara sorak sorai peperangan makin terdengar ramai.
Ternyata bahwa barisan dari Tiang-an telah mulai menyerbu dan peperangan telah terjadi
dengan hebatnya. Pasukan dari Tiang-an ini mempergunakan anak panah yang menghujani
tempat-tempat penjagaan di atas tembok benteng, sedangkan dari dalam benteng juga keluar
anak panah dan batu dari atas tembok bagaikan hujan.
Ling Ling dan Sui Giok memimpin pasukan mereka ke belakang kota dan menghampiri
tembok kota. Akan tetapi ternyata perhitungan mereka meleset. Serbuan balatentara dari
Tiang-an yang amat besar jumlahnya dan amat kuat itu, membuat kaisar menjadi ketakutan
sehingga kaisar ini bersiap-siap untuk lari mengungsi lagi.
Oleh karena itu, ketika pasukan Pek-sim-kauw tiba di luar benteng sebelah belakang dan
hendak mendobrak pintu itu, tiba-tiba dari atas tembok yang nampaknya tak terjaga itu
turunlah batu-batu dan anak panah bagaikan hujan lebatnya. Dan selagi mereka menjadi
terkejut dan kacau balau serta banyak anak buah yang menjadi korban hujan batu dan anak
panah, tiba-tiba pintu benteng terbuka lebar-lebar dan sepasukan perwira istimewa, yakni
barisan pelindung kaisar yang berkepandaian tinggi sekali, menerjang dan membabat mereka.
Ling Ling dan Sui Giok menjadi marah sekali. Dengan nekad kedua ibu dan anak ini lalu
menyerbu dan menghadapi keroyokan para perwira dengan gagahnya. Akan tetapi, para
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
122
perwira itu benar-benar tangguh sehingga ibu dan anak ini tidak dapat mencegah ketika kaisar
dapat melarikan diri dengan sebuah kendaraan, dikawal oleh sepasukan pelindung yang
nampak gagah dan kuat.
Ling Ling dan Sui Giok tidak dapat mengejar, karena para pengeroyok mereka amat banyak
dan amat tangguh. Adapun para pendeta Pek-sim-kauw juga sibuk menghadapi serbuan
perajurit-perajurit bayangkari.
Sui Giok menjadi sengit sekali. Ia memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga robohlah
seorang lawan, kemudian ia berteriak keras, “Tahan anjing-anjing ini! Aku hendak mengejar
kaisar jahanam itu!”
Ia lalu melompat pergi, mengejar ke arah rombongan kaisar sambil menjerit-jerit. “Kaisar
lalim! Tunggulah pembalasanku! Kau telah menghancurkan hidupku, sekaranglah saatnya aku
membalas dendam!!”
Jeritan ini disertai isak tangis sehingga Ling Ling menjadi terharu dan terkejut juga. Amat
berbahayalah kalau ibunya menyerbu rombongan kaisar itu seorang diri. Ia maklum bahwa di
antara rombongan kaisar itu terdapat banyak sekali pelindung yang ilmu silatnya tinggi. Maka
ia lalu menyerbu cepat, merobohkan dua orang pengeroyok dan berkata kepada Pek Hong Ji.
“Totiang, aku hendak menyusul ibu.” Ia lalu melompat cepat, menyusul ibunya.
Alangkah kagetnya ketika akhirnya ia dapat menyusul ibunya yang sedang dikeroyok oleh
dua orang perwira yang amat gagah perkasa. Rombongan kaisar tidak kelihatan lagi, agaknya
telah melarikan diri ke atas bukit yang nampak dari situ, dan ibunya telah dilawan oleh dua
orang perwira yang berkepandaian tinggi.
“Kaisar jahanam, tunggu ku penggal lehermu!” Sui Giok masih menjerit-jerit sambil memutar
pedangnya.
“Perempuan gila, kau ingin mampus!” seru seorang di antara kedua perwira yang mengeroyok
dan dengan sebuah sabetan hebat goloknya berhasil merobohkan Sui Giok.
“Ibu.......!” Ling Ling yang tak keburu mencegah peristiwa itu melompat menerjang dengan
hebat dan begitu pedangnya berkelebat, ia telah membabat kepala perwira yang bergolok itu
bersama goloknya yang juga terbabat putus. Tanpa dapat mengeluarkan suara, perwira itu
roboh dengan kepala pecah.
Bab 15.....
Ling Ling menjadi marah sekali. Perwira kedua yang bersenjata tombak hendak lari melihat
kehebatan sepak terjang gadis ini, akan tetapi belum sepuluh langkah ia lari, tiba-tiba ia
merasa ada sambaran angin dari belakangnya.
Cepat ia membalikkan tubuh dan memutar tombaknya, akan tetapi terdengar suara keras dan
tombaknya terbabat putus oleh pedang Pek-hong-kiam di tangan Ling Ling. Sebuah tusukan
dengan gerak tipu Burung Hong Mematuk Jantung dan robohlah perwira bertombak itu
dengan dada tertembus pedang.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
123
Dalam kemarahannya, Ling Ling hendak mengejar terus ke atas bukit, akan tetapi tiba-tiba ia
mendengar keluhan ibunya yang memanggil namanya. Ia cepat menghampiri ibunya dan
berlutut lalu memeluk kepala ibunya. Ternyata bahwa sebelum menerima bacokan golok tadi,
Sui Giok telah menderita banyak luka dalam pertempurannya dengan dua orang perwira tadi.
“Ibu......!” Sui Giok membuka matanya mendengar panggilan anaknya ini dan ia merangkul
leher Ling Ling, menarik kepala puterinya itu, mendekat dan menciumi muka anaknya. Ketika
ia melepaskan pelukannya, muka Ling Ling penuh darah, darah yang mengalir keluar dari
jidat ibunya.
“Ling Ling....... dengarlah, hakim itu....... pembesar yang bernama Kwee Siong, hakim yang
memeriksa kita itu....... dia adalah suamiku, dia adalah ayahmu!”
“Ibu.........”
“Dia benar ayahmu, Ling Ling, ayahmu yang dulu dipaksa berpisah dariku, sewaktu kau
masih dalam kandunganku.......... sekarang dia telah menjadi pembesar tinggi.......” wajah Sui
Giok berseri sebentar, “dan ...... dia sudah menikah lagi, sudah berputera.......”
“Aku hendak mencari dan membunuhnya, ibu! Dia telah menyakiti hatimu!”
“Jangan, Ling Ling, dia ayahmu........”
“Aku tidak perduli! Kalau dia ayahku, mengapa dia melupakan ibu? Mengapa dia kawin lagi
dan membiarkan ibu hidup sengsara? Aku harus membunuhnya!”
Wajah Sui Giok yang sudah pucat itu menjadi makin pucat. Inilah yang ia takutkan selama
ini. “Ling Ling, dengar..... aku terluka parah dan takkan lama lagi hidup.......”
“Ibu, jangan kau berkata demikian. Akan kubawa kau kepada Pek Hong Ji Totiang. Dia bisa
mengobatimu.” Ling Ling mengangkat tubuh ibunya, memondongnya dan hendak
membawanya kembali ke tempat pertempuran tadi, di luar pintu belakang benteng.
“Ling Ling......... aku tak kuat lagi, nak..... perhatikanlah kata-kataku terakhir. Jangan kau
membunuh ayahmu, dia tidak bersalah. Dia mengira aku telah mati, Ling-ji, bersumpahlah
bahwa kau takkan membunuh ayahmu! Yang berdosa dan bersalah besar adalah kaisar......”
“Aku akan bunuh mereka....... akan kubunuh mereka semua.......” kata Ling Ling bagaikan
mabok sambil membawa lari tubuh ibunya.
“Ling-ji........” suara ibunya melemah dan tiba-tiba bagaikan tersentak kaget, Ling Ling
menahan kakinya dan berdiri bagaikan patung. Ia memandang ke depan, tidak berani
memandang kepada ibunya, akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali. Ia merasa betapadi
dalam pondongannya, tubuh ibunya menegang sebentar lalu tiba-tiba menjadi lemas dan
dingin.....!
“Ibu......” bisiknya perlahan tanpa berani memandang ke bawah.
“Ibu.......!” panggilannya mengeras. Tiada jawaban.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
124
“Ibu......!!” kini ia memandang kepada wajah ibunya yang masih berada di dalam
pondongannya. Mata Ling Ling terbelalak, wajahnya makin pucat sekali, kedua kakinya
menggigil sehingga ia jatuh berlutut dengan tubuh ibunya masih dipondongnya.
Ibu......!!!” ia menjerit keras sambil memeluk tubuh ibunya yang sudah menjadi mayat.
“Ibu, bicaralah, bukalah matamu, ibu........” Bagaikan gila, Ling Ling membuka-buka pelupuk
mata ibunya yang sudah tertutup, melihat betapa bola mata ibunya diam tak bergerak,
menciumi mulut dan mata ibunya, memohon supaya ibunya hidup kembali. Akhirnya gadis
yang malang ini roboh pingsan sambil memeluk tubuh ibunya.
Ketika siuman kembali, ternyata Ling Ling telah ditolong Pek Hong Ji dan kawan-kawannya.
Dengan penuh penghormatan jenazah Sui Giok lalu dikubur, diiringi tangis dan ratap Ling
Ling yang memilukan. Dari Pek Hong Ji, Ling Ling mendengar betapa kota Yang-kouw telah
terjatuh ke dalam tangan balatentara Jenderal Li Goan dan bahwa pasukan-pasukan kaisar
telah dapat dihancurkan.
“Yang memimpin pasukan dari Tiang-an itu bukan lain adalah sute kami yang gagah
perkasa!” Pek Hong Ji menuturkan kepada Ling Ling dengan bangga. “Memang benar-benar
hebat sepak terjang sute kami Liem Sian Lun itu. Kegagahannya dapat disamakan dengan kau
siocia.”
Akan tetapi Ling Ling tidak tertarik. Di dalam kesedihannya ditinggal mati ibunya, yang
teringat olehnya hanya balas dendam saja.
“Kiumpulkan kawan-kawan, sekarang juga kita menyerbu ke bukit itu, menghabiskan sisasisa pengikut kaisar dan membunuh kaisar jahanam itu.”
“Nona, kawan-kawan sudah lelah dan menurut Liem-sute, sudah disiapkan pasukan istimewa
untuk menyerbu naik ke bukit dan menawan kaisar!”
Ling Ling memandang marah. “Begitukah? Kalau demikian, biarlah aku sendiri naik ke atas
dan melakukan penangkapan sendiri!”
Terpaksa Pek Hong Ji lalu menjawab, “Baiklah, baiklah, tentu saja kami menurut
perintahmu.” Maka dikumpulkanlah pasukan Pek-sim-kauw yang masih ada tiga puluh orang
lebih jumlahnya itu dan menyerbulah mereka ke atas bukit.
Benar seperti yang dikatakan Pek Hong Ji, dari lain jurusan yakni dari jurusan kota Yangkouw, nampak barisan yang panjang sedang menuju ke bukit di mana Kaisar Yang Te
mengungsi.
“Cepat, jangan sampai terdahului oleh mereka!” Ling Ling memberi perintah dan mereka
bergerak lebih cepat lagi untuk mendahului barisan yang dipimpin oleh Liem Sian Lun.
Sementara itu, Liem Sian Lun yang memimpin pasukannya, juga melihat pasukan Pek-simkauw ini menaiki bukit. Ia telah mendengar dari Pek Hong Ji bahwa pasukan itu dipimpin
oleh Toat-beng Mo-li, wanita yang dicari-cari oleh pamannya, Kwee Siong itu. Ia tidak tahu
mengapa pamannya mencari mereka, akan tetapi hatinya merasa gembira ketika mendengar
bahwa dua orang wanita itu ternyata membantu perjuangan menumbangkan kekuasaan kaisar.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
125
Kini melihat pasukan Pek-sim-kauw mempercepat gerakannya, iapun lalu memberi aba-aba
kepada pasukannya untuk bergerak lebih cepat lagi. Maka bergeraklah dua pasukan itu dari
lain jurusan, bercepat-cepat dan agaknya berlomba untuk dulu mendului menerjang
pertahanan akhir dari kaisar di puncak bukit itu.
Bukan main sibuknya barisan pengawal kaisar menghadapi serbuan dua pasukan musuh ini.
Betapapun juga, barisan pengawal terakhir ini adalah barisan terkuat, yang terdiri dari pada
pengawal-pengawal yang setia dan gagah berani.
Mereka melakukan perlawanan hebat sehingga tidak mudahlah bagi pasukan-pasukan
penyerbu untuk membobolkannya. Pertempuran hebat terjadi, di mana dari dua pihak jatuh
korban-korban yang banyak sekali.
Di dalam kehebatan pertempuran ini, Ling Ling lalu memisahkan diri dan dengan cepatnya ia
lalu mendaki bukit itu, menuju perkemahan kaisar yang berada di pinggir sebuah anak sungai.
Keadaan di puncak bukit itu indah sekali. Ketika Ling Ling sudah tiba di atas, ia sendiri
terpesona oleh keindahan pemandangan alam di tempat itu. Suara pertempuran di lereng bukit
hanya terdengar samar-samar saja dan keadaan di situ amat sunyi dan indah. Burung-burung
berkicau, mengiringi desiran anak sungai, kadang-kadang dihembus angin gunung yang
membuat daun-daun dan kembang-kembang menari-nari.
Perkemahan yang dibuat di situ amat banyaknya. Adapun kemah di mana kaisar berada
merupakan kemah terbesar dengan bendera naga terpancang di atasnya.
Di situ nampak kosong dan sunyi, karena para penjaga semua dikerahkan ke lereng bukit
untuk membendung serbuan para musuh. Akan tetapi, ketika Ling Ling hendak menyerbu ke
dalam kemah kaisar itu, tiba-tiba muncul lima orang perwira dengan pedang di tangan.
Lima orang ini adalah pengawal pribadi kaisar. Mereka adalah lima orang siwi (pengawal
kaisar) yang berkepandaian tinggi, karena tingkat kepandaian mereka bahkan masih sedikit
lebih tinggi dari pada kepandaian perwira-perwira kelas satu dari kerajaan.
Mereka inilah yang menjadi perisai kaisar dan untuk dapat menawan atau membunuh kaisar,
orang harus dapat merobohkan mereka terlebih dulu. Bagaikan patung-patung batu, kelima
orang siwi itu berdiri dengan pedang di tangan, menghadang di depan kemah dengan mata
memandang penuh kemarahan.
“Nona, sekarang bukan waktunya bersenang-senang. Kalau kau hendak mencumbu Hongsiang, lebih baik mencari kesempatan lain waktu,” kata seorang di antara mereka dengan
senyum sindir.
“Keparat jahanam! Aku datang untuk memenggal leher kaisar lalim!”
“Oho, mudah benar kau membuka mulut!” seru siwi kedua.
Akan tetapi Ling Ling tidak mau banyak bicara lagi, pedang Pek-hong-kiam diputar cepat dan
berobah menjadi segunduk sinar putih yang menerjang kelima orang siwi itu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
126
“Bagus, kau dapat juga mainkan pedang!” seru seorang siwi dan kelimanya lalu menyambut
serbuan Ling Ling. Gadis ini harus mengakui ketangguhan para lawannya, karena tangkisan
pedang mereka membuat pedangnya terpental kembali, sedangkan kelimanya ternyata juga
memiliki pedang pusaka yang kuat sekali.
Pertempuran terjadilah dengan hebatnya di tempat sunyi itu. Dan betapapun Ling Ling
mengerahkan tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, namun sukar sekali baginya
untuk merobohkan seorang di antara kelima pengeroyoknya.
Ilmu pedang para siwi itu amat kuatnya, karena mereka ini adalah murid-murid dari Bu-tongpai yang sudah menamatkan pelajaran ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoat. Kalau saja mereka
tidak maju berlima, agaknya Ling Ling masih akan dapat menang, karena sesungguhnya ilmu
pedang Ling Ling yang luar biasa, yakni Kim-gan-liong-kiam-sut, masih lebih menang dan
unggul daripada ilmu pedang Bu-tong-kiam-hoat.
Akan tetapi dengan majunya lima orang yang ilmu kepandaiannya setingkat ini, mereka
merupakan lawan yang amat tangguh. Mereka dapat bermain pedang dengan saling membela
dan saling melindungi, dan melakukan serangan pembalasan yang tak kalah berbahayanya.
Ditambah lagi oleh kelelahannya, Ling Ling mulai terdesak dan terkurung hebat. Akhirnya ia
bermain pedang sambil mundur. Selalu menangkis dan harus mempergunakan ginkangnya
untuk menghindarkan diri dari bahaya maut yang disebarkan oleh pedang-pedang lawannya.
Ia menjadi marah dan penasaran sekali, Hanya keteguhan hati dan ketabahannya yang luar
biasa saja membuat Ling Ling masih kuat bertahan selama itu. Pertempuran telah berjalan
hampir seratus jurus, namun tetap saja kelima orang siwi itu tidak mampu merobohkan gadis
pendekar ini.
Bukan main kagum dan penasaran rasa hati para siwi ini. Mereka telah berlatih hebat, dan
ilmu silat mereka untuk di kotaraja, telah amat terkenal dan sukar dicari tandingannya. Setelah
melalui ujian yang amat berat dan mengalahkan banyak calon-calon, barulah mereka diterima
sebagai yang terkuat dan diangkat menjadi pengawal-pengawal pribadi kaisar. Akan tetapi
sekarang, menghadapi seorang gadis muda saja mereka tidak berdaya merobohkannya.
Sungguh memalukan sekali.
“Kurang ajar!” seru seorang siwi yang berjenggot panjang. “Rasakan hui-to (golok terbang)
mautku!” Setelah berseru demikian, ia melemparkan tiga batang golok kecil yang melayang
cepat sekali ke arah tubuh gadis itu. Hui-to ini benar-benar berbahaya sekali karena selain
cepat sekali datangnya, juga mengeluarkan bunyi melengking yang dapat mengacaukan
semangat lawan.
Tiga batang hui-to ini menyambar ke arah leher, dada, dan pusar Ling Ling. Dan pada saat itu,
empat orang siwi lain sedang menyerang Ling Ling dari kanan kiri. Agaknya tidak ada jalan
keluar lagi bagi gadis ini dan agaknya ia akan menjadi korban sambaran tiga buah hui-to tadi.
Akan tetapi ternyata Ling Ling memiliki ketabahan dan ketenangan yang luar biasa sekali.
Begitu melihat serangan hui-to dari depan dan serangan pedang dari kanan kiri, tiba-tiba ia
berseru nyaring dan ia menjatuhkan tubuhnya ke belakang dangan gerak tipu Trenggiling
Turun Dari Gunung.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
127
Dengan amat cepatnya setelah tubuhnya rebah telentang sehingga tiga batang hui-to itu
menyambar lewat di atasnya, ia lalu menggulingkan tubuhnya ke depan dan pedangnya
menyambar cepat sekali ke arah kaki siwi yang melepaskan hui-to tadi.
Bukan main kagetnya siwi berjenggot panjang itu. Serangan balasan ini sama sekali tak
pernah disangkanya, demikian cepat dan kontan datangnya. Ia cepat mengelak sambil
melompat ke atas dan sebelum Ling Ling dapat melanjutkan serangannya, kawan-kawannya
telah datang mengurung dan kembali Ling Ling dikeroyok lima.
Pada saat yang amat berbahaya bagi gadis itu, tiba-tiba terdengar seruan keras,
“Jangan khawatir, nona, aku datang membantumu membinasakan lima anjing penjaga ini!”
Dan Liem Sian Lun telah memutar pedangnya yang bersinar kuning itu untuk menggempur
para pengeroyok Ling Ling. Memang, dalam tugasnya ini, Sian Lun diberi pinjam pedang
Oei-hong-kiam dari Jenderal Li Goan.
Biarpun tidak menjawab sesuatu dan berpura-pura tidak melihat Sian Lun, namun Ling Ling
bertambah semangatnya ketika melihat pemuda yang pernah dikenal kelihaiannya ini. Pedang
Pek-hong-kiam diputar makin cepat dan dengan sebuah sabetan kilat, ia berhasil membacok
roboh seorang pengeroyok.
Tadi ketika mengeroyok Ling Ling seorang saja, lima orang siwi itu masih belum dapat
mengalahkannya dalam seratus jurus, apalagi setelah sekarang Ling Ling mendapatbantuan
Sian Lun yang ilmu pedangnya bahkan lebih lihai dari pada nona itu. Tentu saja kedua orang
muda ini bukanlah makanan empuk bagi empat orang siwi itu dan tak lama kemudian,
terdengar teriakan-teriakan susul menyusul dan kelima orang siwi itu semua telah tewas di
ujung pedang Sian Lun dan Ling Ling.
“Nona, dimanakah ibumu?” tanya Sian Lun yang tidak tahu apa yang harus dikatakan
terhadap nona itu. Akan tetapi matanya memandang dengan amat kagum sehingga Ling Ling
menjadi cemberut. Ia menganggap pandang mata pemuda itu kurang sopan. Tanpa menjawab
sesuatu, Ling Ling lalu melompat dan menyerbu ke dalam kemah kaisar. Akan tetapi, di
dalamnya ternyata sunyi dan kosong.
Ling Ling berjalan terus dan keluar dari pintu belakang kemah itu, diikuti oleh Sian Lun yang
merasa penasaran melihat sikap nona yang seakan-akan membencinya itu.
Ketika kedua orang muda itu sampai di belakang kemah itu, tiba-tiba mereka berhenti dan
berdiri memandang ke depan dengan muka tertegun. Apakah yang mereka lihat?
Kaisar Yang Te, masih nampak gagah dan berpakaian mewah, sedang berdiri di dekat anak
sungai, dihadap oleh seorang kakek tua yang berpakaian sebagai pelayan. Terdengar suara
kaisar itu berkata sambil tersenyum-senyum.
“Tidak betulkah kata-kataku tadi, Lao Kwang? Seorang kaisar harus menghadapi kebangkitan
atau keruntuhannya dengan senyum di mulut. Semua orang memberontak, tidak ingat bahwa
aku adalah kaisar yang harus mereka hormati, kaisar yang dipilih oleh Thian sendiri untuk
memimpin rakyat seluruh negara. Ha, ha, ha! Dan sekarang mereka mengejar-ngejarku untuk
membunuhku. Bukankah ini lucu sekali? Lihatlah, laksaan orang saling membunuh hanya
karena aku seorang! Bukankah hal ini hebat sekali? Apakah artinya aku mengorbankan
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
128
nyawaku untuk kebesaran seperti itu? Ha, ha, Lao Kwang, kau bilang apa tadi? Kaupun ingin
pula memberontak?”
Kakek itu sambil bercucuran air mata lalu mencabut sebilah pedang pendek dan setelah
berlutut ia lalu berkata,
“Hong-siang, junjunganku, juga anak yang kutimang-timang semenjak masih bayi! Mengapa
tidak dulu-dulu paduka mendengar nasehat seorang rendah seperti hamba? Mengapa paduka,
hanya menurutkan kata nafsu hati, menurutkan bujukan para pembesar buruk? Mengapa
paduka ingin memuaskan hati tanpa memperdulikan pengorbanan rakyat jelata? Ah, apakah
yang akan menimpa diri paduka?”
Kaisar itu tertawa bergelak. “Lao Kwang, kau seorang yang setia dan bersikap selalu
merendah. Alangkah bodohnya kau ini! Kalau aku bertindak sebagai seorang kaisar yang
bodoh dan mengalah, tdak mau memeras tenaga rakyat untuk membuat bangunan-bangunan
besar, untuk menyerang negara timur, akan jadi kaisar apakah aku ini? Betapapun juga,
akhirnya aku toh mesti mati. Kalau aku membiarkan keadaan negara tanpa memperkuatnya,
biarpun dengan menekan rakyat, aku akan mati sebagai seekor semut, rakyat yang gendut dan
senang akan lupa kepadaku dan negara sebentar lagi akan dirampas oleh orang asing.
Sekarang, biarpun aku mati, lihatlah saluran air yang megah, lihatlah tembok besar yang jaya,
semua adalah bekas tanganku. Orang takkan melupakan selama sejarah berkembang. Mati?
Ha, ha, ha, siapa yang takut mati? Di dunia aku menjadi kaisar, mustahil di alam baka aku
tidak diberi pangkat dan kedudukan? Aku adalah kaisar, tahu? Dalam keadaan bagaimanapun
juga, kaisar tetap dihormati, menjadi tawanan pun berbeda dengan perajurit biasa. Tetap
menjadi tawanan besar dan penting, diperlakukan penuh penghormatan!”
Pada saat itu, mereka melihat dua orang muda yang berdiri dengan pedang di tangan.
“Hong-siang, musuh telah datang menyerbu!” bisik Lao Kwang
“Mereka itu?” Kaisar membalikkan tubuhnya dan menudingkan telunjuknya ke arah Ling
Ling dan Sian Lun. “Hanya dua orang muda yang bodoh, yang menjadi alat dari pada
keganasan perang! Apakah mereka ini akan dapat menggantikan kedudukanku? Ha, ha, ha!”
“Kaisar lalim, rasakan pembalasanku!” tiba-tiba Ling Ling berseru kerasdan menyerbu. Akan
tetapi, ia kalah dulu oleh Lao Kwang. Dari belakang, pelayan yang semenjak Yang Te masih
kecil telah menjadi pelayannya itu, telah menusuk punggung Kaisar Yang Te dengan
pedangnya. Kaisar itu mengeluh berat dan tubuhnya roboh telentang, tak bergerak lagi.
“Hamba ikut, tuanku!” kata Lao Kwang dan sebuah tusukan ke arah dadanya dengan pedang
yang dipegangnya membuat ia roboh di samping Kaisar Yang Te.
Tertegunlah Ling Ling dan Sian Lun menyaksikan peristiwa ini. Untuk beberapa lama Ling
Ling berdiri memandang ke arah tubuh kaisar itu. Inikah musuh besarnya? Inikah orang yang
telah menghancurkan penghidupan ibunya? Yang telah menghancurkan penghidupan rakyat
banyak? Sukar untuk dipercaya.
Kaisar ini hanya memerintah dan memberi petunjuk. Yang menjadi pelaksana bukanlah dia
sendiri dan mana kaisar ini bisa mengetahui cara pelaksanaan perintahnya? Tahukah kaisar ini
bahwa tenaga rakyat yang dikerahkan itu diperoleh dengan jalan yang curang dan keji oleh
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
129
para petugasnya? Siapakah yang salah? Kaisarnya, atau para petugas yang nyeleweng,
ataukah jamannya yang salah?
Setelah menarik napas panjang, Ling Ling lalu berpaling dan Sian Lun melihat betapa kedua
mata gadis cantik itu basah oleh air mata. Ling Ling lalu melompat pergi meninggalkan
tempat itu.
“Nona, tunggu dulu!”
Ling Ling menahan tindakannya. Mereka telah berada jauh dari kemah kaisar itu.
“Kau mau apa?” tanyanya dengan tegas dan ketus.
Sian Lun menggerakkan alisnya dan tersenyum pahit. “Beginikah sikapmu kepada orang yang
telah berusaha membantumu? Nona, kau agaknya benci kepadaku. Ada apakah dan apakah
kesalahanku?”
“Tidak ada yang benci dan tidak ada yang salah! Aku hanya ingin tahu mengapa kau
menyusulku?”
“Nona, aku hanya ingin menyatakan bahwa pamanku Kwee Siong telah mencari-cari dan
menanti-nanti kau dan ibumu.”
Berkerut kening Ling Ling mendengar nama Kwee Siong disebut-sebut.
“Aku tidak kenal pamanmu. Ada apa dia menanti-nanti kami?”
“Entahlah, hanya aku tahu bahwa paman sedang sakit dan seringkali menanyakan kau dan
ibumu. Di manakah ibumu?”
“Ibu..... ibu sudah meninggal dunia!” Setelah berkata demikian Ling Ling melompat dan lari
lagi dengan cepatnya.
“Nona, tunggu dulu.....!”
Ling Ling berlari terus, akan tetapi Sian Lun mengejarnya dan karena ia sudah lelah sekali,
Ling Ling terpaksa berhenti. Sian Lun melihat kini betapa air mata telah mengalir turun di
kedua pipi gadis itu yang agak pucat.
“Mengapa kau mengejarku? Apakah kau menagih budimu ketika kau menolongku tadi? Nah,
biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu, dan sekarang pergilah!”
Sian Lun memandang dengan penuh iba. “Nona, aku menyesal sekali, yakni ... tentang
ibumu...”
“Jangan kau sebut-sebut akan hal ibuku. Ibu telah gugur dalam pertempuran, tidak ada
hubungannya dengan kau.”
Pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan dua orang perwira pembantu Sian Lun tiba
di tempat itu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
130
“Liem-ciangkun, musuh telah dipukul habis. Sebagian besar telah menyerah. Menanti
perintah!”
Demikian kata mereka sambil turun dan berdiri dengan sikap gagah.
“Bawa semua tawanan dan kembalikan ke Tiang-an. Kau mewakili aku memimpin pasukan.
Seperti biasa, berlakulah keras, jangan biarkan anak buah kita meninggalkan barisan,”
perintah Sian Lun dengan suara keren. Kedua pembantunya memberi hormat dan pergi lagi
menunggang kuda.
“Aku harus pergi sekarang, selamat tinggal!” kata Ling Ling.
“Nanti dulu, nona. Kau telah banyak berjasa dalam perjuangan kami, apakah kau tidak mau
bersamaku kembali ke Tiang-an? Sungguh, nona, pamanku amat mengharap-harap
kedatanganmu.”
“Memang aku mau ke Tiang-an, akan tetapi tidak bersama engkau!”
Berseri wajah Sian Lun mendengar ini,
“Bagus, kau tentu akan datang kepada pamanku Kwee Siong, bukan? Baik sekali.”
“Memang aku akan mencari orang she Kwee itu, untuk membunuhnya dengan pedangku!”
Setelah berkata demikian, Ling Ling melompat dan berlari pergi.
Untuk sejenak Sian Lun berdiri bagaikan sebuah patung batu. Ucapan yang dikeluarkan
dengan sengit oleh gadis itu benar-benar telah membuatnya terheran-heran dan terkejutsekali.
Ada apakah antara pamannya dan gadis ini serta ibunya yang telah gugur? Ah, ia harus
mencegah maksud gadis itu. Setelah melihat bayangan Ling Ling lenyap dibalik pohon-pohon
barulah Sian Lun menjadi terkejut dan cepat ia lalu melompat dan berlari cepat mengejar.
Dengan hati yang amat berat karena masih berduka mengingat kematian ibunya, Ling Ling
berlari dengan cepat sekali. Kakinya telah terasa lelah dan lemahlah seluruh tubuhnya. Ia telah
bertempur melawan musuh-musuh yang tangguh dan telah sehari lamanya ia tidak makan.
Akan tetapi ia tidak mau berhenti mengaso karena maklum bahwa pemuda she Liem itu tentu
akan mengejarnya.
Ketika ia tiba di sebuah dusun dan melihat, bahwa pemuda itu tidak dapat menyusulnya, ia
lalu masuk ke sebuah restoran dan memesan makanan. Setelah makan dan beristirahat
sejenak, pulihlah kembali kekuatannya dan ia merasa tubuhnya sehat. Kemudian ia
melanjutkan perjalanannya dan alangkah mendongkolnya ketika tiba di luar dusun itu,
pemuda she Liem itu telah menantinya sambil duduk di atas rumput seorang diri.
Ling Ling berpura-pura tidak melihatnya dan hendak berlari terus, akan tetapi Sian Lun
berkata.
“Nona Ling Ling, mengapa tergesa-gesa? Akupun hendak menuju ke Tiang-an. Tidak sudikah
kau melakukan perjalanan bersamaku?”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
131
“Kau melakukan perjalanan, apa hubungannya dengan aku? Aku tidak melarang orang
menuju ke Tiang-an,” jawab Ling Ling merasa marah kepada dirinya sendiri mengapa melihat
pemuda ini hatinya berdebar girang.
Sian Lun terpaksa mempercepat langkahnya agar dapat mengimbangi kecepatan lari gadis
aneh ini.
“Nona, bukankah kau adalah nona yang dulu pernah menerima pedang Pek-hong-kiam dari
Liang Gi Cinjin, ketua dari Pek-sim-kauw?”
“Memang akulah yang dimaksudkan oleh suhumu itu. Dia seorang yang baik hati, akan tetapi
suhumu itu masih mempunyai hutang kepadaku yang harus dibayarnya!”
Setelah berkata demikian, kembali Ling Ling berlari pergi tanpa memperdulikan kepada Sian
Lun lagi. Pemuda ini segera mengejarnya. Ling Ling mengerahkan kepandaiannya berlari
cepat yang disebut Couw-sang-hui (Terbang Di Atas Rumput). Ia sengaja mengeluarkan
kepandaiannya karena ia hendak mencoba apakah pemuda itu akan dapat mengejarnya.
Sian Lun merasa penasaran sekali melihat betapa gadis itu berlari dengan amat cepatnya.
Iapun lalu mengeluarkan ilmunya berlari cepat yang disebut Keng-sin-sut dan setelah berlarilarian beberapa belas li, akhirnya dapat juga ia mengejar gadis itu.
“Nona, kau sungguh terlalu. Mengapa kita tidak berjalan perlahan saja menuju ke Tiang-an?
Apakah yang membuat nona demikian terburu-buru?”
Ling Ling tidak menjawab, akan tetapi tiba-tiba lalu duduk di atas rumput di bawah sebatang
pohon besar. Enak sekali duduk di situ, ditiup angin sambil mendengarkan gemersiknya daundaun pohon tertiup angin. Peluhnya mengalir dari atas jidat, disapunya dengan sehelai
saputangannya.
Sian Lun juga duduk di depannya, agak jauh dari nona itu. Sungguhpun mereka duduk
berhadapan, akan tetapi keduanya tidak berkata-kata dan bahkan tidak saling memandang.
Sungguh keadaan yang amat lucu dan ganjil.
“Mengapa kau mati-matian mengejarku dan hendak berjalan bersamaku?” tanya Ling Ling
tiba-tiba dan sepasang matanya yang indah dan tajam itu menatap wajah Sian Lun. Untuk
sesaat, pemuda itu berusaha menahan serangan sinar mata ini, akan tetapi akhirnyaia
menunduk karena pandangan mata gadis yang menyelidik ini benar-benar tajam sekali.
“Nona, aku tidak mempunyai niat buruk terhadapmu. Aku kagum sekali akan kegagahanmu,
hanya aku merasa tidak enak mendengar ucapanmu tadi yang hendak membunuh pamanku
Kwee Siong. Ketahuilah bahwa paman Kwee bagiku sama dengan ayahku sendiri. Tidak
boleh kau mengganggunya. Dia orang yang baik-baik, semulia-mulianya orang, mengapakah
kau begitu membencinya dan hendak membunuhnya?”
Ling Ling memandang tajam dengan kening berkerut. Ia amat benci kepada ayahnya itu.
Seorang ayah yang telah menyia-nyiakan ibunya. Ibunya menyatakan bahwa ayahnya itu
tidak bersalah.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
132
Kalau memang ayahnya itu orang baik-baik, mengapa tidak dicarinya ibunya yang hidup
seperti seorang “iblis” di dalam hutan? Mengapa ayahnya yang sudah menjadi seorang
pembesar itu bahkan lalu menikah lagi dan telah memperoleh seorang putera? Mengapa
ketika bertemu di pengadilan dulu, ayahnya tidak menerima mereka sebagai isteri dan anak?
Kalau dipikir-pikir, bukan kaisar yang menjadi biang keladi kesengsaraan ibunya, melainkan
Kwee Siong itulah! Orang itu harus dibunuhnya, untuk membalas sakit hati ibunya.
Kini melihat sikap Sian Lun yang hendak membela Kwee Siong, mendengar ucapan pemuda
gagah ini yang memuji-muji Kwee Siong sebagai seorang yang berhati mulia, hatinya menjadi
perih dan gemas sekali.
“Paman Kwee amat baik kepadaku,” terdengar lagi Sian Lun berkata, “seakan-akan aku
anaknya sendiri. Ia memperlakukan aku seperti anak sendiri, mengajarku membaca dan
menulis, memberi nasehat-nasehat dan pelajaran filsafat dan budi pekerti.Orang sebaik dia
tidak mungkin mempunyai musuh dan tak mungkin mengganggu orang lain. Mengapa kau
hendak membunuhnya, nona?”
Bab 16.....
“Kau tak perlu tahu, Liem-ciangkun. Urusan ini adalah urusanku sendiri, orang luar tak
berhak tahu. Betapapun juga, aku akan mencarinya di Tiang-an dan akan membunuhnya
dengan tanganku sendiri.” Kata-kata ini diucapkan dengan tegas dan mengandung kemauan
bulat.
“Tidak mungkin, nona. Perbuatanmu itu sebelum dapat kau lakukan, kau akan menghadapi
seluruh penduduk Tiang-an, seluruh barisan di bawah pimpinan Jenderal Li Goan sendiri.
Kwee-susiok adalah seorang yang dihormati dan dipandang tinggi oleh semua orang. Takkan
mungkin mengganggu, lebih sukar dari pada mengganggu kaisar sendiri.”
Makin tinggi orang memuji ayahnya makin banyak orang mengingatkan kepadanya akan
kemuliaan ayahnya, makin teringatlah Ling Ling akan kesengsaraan ibunya dan makin
panaslah hatinya. Ia tersenyum mengejek dan menjawab sambil berdiri dan mencabut
pedangnya.
“Kau kira aku takut menghadapi siapapun juga? Biarpun ada selaksa dewa hendak melindungi
orang she Kwee itu, tetap aku hendak membunuhnya!”
Mulai panas darah Sian Lun. Betapapun ia mengagumi gadis ini dan menaruh hati kasihan
mendengar kematian ibu gadis ini, namun sikap gadis itu dianggapnya amat keterlaluan.
Iapun bangkit berdiri dan berkata.
“Dan dengarlah, nona. Orang pertama yang akan menghalangi kehendakmu yang kejam itu
bukan lain orang adalah aku sendiri!”
“Kau....?” Ling Ling memandang tajam sambil mengangkat alisnya yang berbentuk
melengkung seperti bulan sabit itu.
“Ya, aku sendiri! Aku yang telah diperlakukan dengan baik oleh Kwee-susiok, yang telah
dianggap sebagai anak sendiri, aku takkan membiarkan siapapun juga mengganggunya!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
133
“Manusia sombong! Siapa takut kepadamu? Apa kau kira dulu aku sudah kalah olehmu?
Cabutlah pedangmu dan mari kita lanjutkan pertempuran yang dulu!” tantang Ling Ling.
“Nona, haruskah kita bertempur lagi? Mengapa kau begitu berkeras hendak membunuh
pamanku? Berilah penjelasan agar aku ikut pula mempertimbangkan apakah niatmu itu benar
atau salah.”
“Bukan urusanmu, tak usah kau bertanya lagi. Pendeknya aku hendak membunuh Kwee
Siong dan kalau kau menghalangiku boleh kau mencoba mengalahkanku!”
Terpaksa Sian Lun mencabut pedangnya Oei-hong-kiam. “Menyesal sekali, nona. Aku tak
ingin bertempur dengan kau......”
“Awas pedang!” teriak Ling Ling tanpa memperdulikan ucapan ini dan langsung menyerang
dengan sebuah tusukan berbahaya. Sian Lun cepat menangkis dan berpijarlah bunga api
ketika dua pedang pusaka itu bertemu.
Ling Ling menyerang lagi dan mainkan pedangnya dengan hebat sehingga yang nampak
hanyalah gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Sian Lun terpaksa mengimbangi
permainan pedang nona ini dan pedang Oei-hong-kiam segera diputarnya merupakan
segulung sinar kuning yang tak kalah cepatnya.
Demikianlah, kedua orang muda yang lihai itu kembali mengadu kepandaian di dalam hutan,
ramai dan seru, tanpa ada seorangpun yang menjadi saksi.
Sian Lun bertempur dengan hati-hati. Ia maklum bahwa gadis ini amat lihai. Ginkang dan
lweekangnya berimbang dengan kepandaiannya sendiri dan ilmu pedang gadis itu luar biasa
ganasnya.
Betapapun juga, ia tidak tega untuk melukai gadis ini, dan bertempur hanya dengan maksud
menguji kepandaian saja dan kalau ia mencari kemenangan juga, bukan dengan cara
merobohkan gadis itu dalam keadaan terluka. Ia hanya akan merampas atau melepaskan
pedang dari tangan nona itu. Akan tetapi ia maklum bahwa hal ini bukanlah mudah saja.
Sebaliknya, Ling Ling yang sudah tahu pula akan kepandaian pemuda ini, kini berusaha untuk
mengalahkan lawannya dan bertempur dengan amat sengitnya. Dalam keadaan demikian,
maka sedikit kelebihan permainan pedang Sian Lun menjadi tertutup dan pertempuran itu
menjadi berimbang dan luar biasa ramainya.
Seratus jurus lewat tanpa terasa, dan belum juga di antara kedua orang muda ini adayang
kalah atau menang. Mereka saling serang dan saling desak, mengeluarkan gerak-gerak tipu
yang terlihai. Betapapun juga, diam-diam Ling Ling harus mengakui keunggulan pemuda itu,
karena setelah pertempuran berjalan seratus lima puluh jurus, ia mulai merasa lelah dan
telapak tangan kanannya yang memegang pedang menjadi panas dan perih. Adapun Sian Lun
lawannya masih nampak kuat dan gerakan serta kecepatannya tidak berkurang.
Akhirnya Sian Lun merasa bahwa ia takkan dapat mengalahkan nona yang nekat ini tanpa
melukainya. Akan tetapi bagaimana ia sampai hati untuk melukai nona yang dikagumi dan
dikasihinya ini? Dan sedikit saja ia melamun, tiba-tiba ujung pedang Pek-hong-kiam ditangan
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
134
Ling Ling sudah menyerangnya dengan gerak tipu Kim-gan-liong-hian-jiauw (Naga Bermata
Emas Mengulur Kuku).
Sedangkan pada saat itu pedangnya masih tersembunyi di balik lengan ketika ia tadi bergerak
dengan gerak tipu Burung Walet Menyembunyikan Ekor. Melihat serangan maut ini, Sian
Lun terkejut sekali dan cepat ia mempergunakan tenaga pergelangan tangan untuk memutar
pedangnya yang segera meluncur ke depan melakukan tangkisan ke arah ujung pedang lawan
yang menusuk ke arah dadanya.
“Traaang!” dua pedang itu beradu keras sekali. Saking hebatnya tenaga keduanya yang
dikeluarkan pada saat genting itu, ujung pedang Ling Ling meleset dan meluncur cepat ke
arah tenggorokan Sian Lun sedangkan pedang Sian Lun sebaliknya kena terpukul dan melesat
menuju ke arah pundak gadis itu.
Keduanya terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tiada waktu lagi. Dengan cepat tangan kiri
mereka bergerak. Ling Ling melakukan gerakan Kwan-im-siu-kiam (Dewi Kwan-im
Menyambut Pedang) sedangkan Sian Lun membuat gerakan Siauw-kin-na-jiu-hwat
mencengkeram ke arah gagang pedang gadis itu.
Gerakan mereka begitu kuat dan cepat sehingga pada saat itu juga, pedang mereka telah
pindah tangan. Oei-hong-kiam telah terampas oleh Ling Ling sedangkan Pek-hong-kiam
terampas oleh Sian Lun. Mereka terhindar dari bahaya maut, akan tetapi tetap saja mereka
menjadi pucat dan mengeluarkan keringat dingin
Sian Lun cepat melompat ke belakang dan menjura.
“Nona, ilmu pedangmu benar-benar luar biasa sekali. Dan pedang inipun amat baiknya.”
“Pedang itu adalah pedang suhumu, Liang Gi Cinjin. Biarlah kau kembalikan kepadanya.
Adapun pedang ini......”
Ling Ling menggerak-gerakkan Oei-hong-kiam yang terasa lebih enak ditangannya, karena
pedang ini gagangnya lebih kecil dan lebih cocok untuk jari-jari tangannya. “Pedang ini
adalah pedang dari Panglima Kam Kok Han, dan aku sebagai ahli waris ilmu pedangnya, .....
aku berhak mendapatkan pedang ini!”
Sambil berkata demikian, Ling Ling memandang kepada pemuda itu dengan sikap
menantang.
Sian Lun menjadi tertegun. “Kau ....., kau hendak merampas pedang itu? Kembalikan, nona.
Pedang itupun boleh kupinjam dari Jenderal Li!”
“Bukankah kau dulu merampasnya dari seorang panglima kerajaan Sui? Pedang ini bukan
pedangmu, bukan pula pedang Jenderal Li, akan tetapi adalah pedang dari mendiang
Panglima Kam! Kalau kau ada kepandaian, boleh kau rampas kembali, pedang ini sekarang
sudah berada di tanganku!” kembali Ling Ling memandang dengan sikap menantang.
Untuk sesaat teganglah semua urat dalam tubuh Sian Lun. Ia hendak bergerak menyerang
nona itu untuk merampas kembali pedangnya, akan tetapi ia mengurungkan niatnya dan
kemudian bahkan duduk di atas rumput sambil tersenyum.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
135
“Biarlah, ambillah...... kalau kau kehendaki, asal saja kau jangan membunuh paman Kwee.”
“Kau perduli apa dengan segala niatku? Kalau masih penasaran, hayo kau berdiri dan mari
kita lanjutkan pertempuran kita!”
Akan tetapi Sian Lun menggelengkan kepalanya. “Kau serang dan bunuhlah aku kalau kau
mau. Aku tiada nafsu untuk bertempur mati-matian seperti orang gila, tanpa ada alasannya.
Aku tidak percaya kau tidak akan malu menyerang seorang yang tidak melawan.”
Karena iapun sudah merasa lelah sekali, Ling Ling lalu menyimpan pedangnya dan
menjatuhkan diri di atas rumput dan bersandar pada pohon. Kembali kedua orang muda itu
duduk berhadapan di atas rumput seperti tadi sebelum mereka bertempur mati-matian.
Matahari telah mulai bersembunyi di balik pohon-pohon dan hawa mulai terasa dingin.
Setelah melepaskan penat, Ling Ling bangkit kembali, dan Sian Lun menegurnya.
“Hendak ke manakah, nona?”
“Ke mana lagi? Tentu ke Tiang-an!” jawaban ini terdengar penuh tantangan.
“Kalau aku jadi engkau, aku takkan melewati daerah seribu rawa di malam hari.”
“Apa maksudmu?”
“Kalau kau keluar dari hutan ini, kau akan tiba di daerah yang penuh dengan rawa-rawa yang
amat berbahaya. Tidak saja banyak sekali rawa-rawa yang tertutup rumput dan merupakan
perangkap maut yang mengerihkan, bahkan di situ juga banyak sekali terdapat binatangbinatang berbisa. Tak mungkin ada orang dapat melalui tempat itu di waktu malam!”
Ling Ling adalah seorang gadis yang keras hati, keras kepala, dan bandel. Apalagi yang
mengeluarkan kata-kata tadi adalah seorang pemuda yang menjadi musuhnya, pemuda yang
“dibencinya”, tentu saja ia tidak sudi untuk mentaati nasehatnya. Ia teringat akan daerah
berawa ini, karena dulu ia pernah lewat di daerah ini.
“Aku tidak takut!” katanya dan cepat ia berlari pergi. Ketika ia keluar dari hutan itu, tibalah ia
di daerah penuh rawa itu, nampak gelap, sunyi dan menyeramkan. Matahari telah lenyap,
terganti oleh malam yang remang-remang, dengan pohon-pohon besar menjulang dan jurang
di sana-sini, seperti raksasa-raksasa setan menanti kedatangannya penuh ancaman.
Tak terasa lagi Ling Ling merasa ngeri juga dan ia menengok ke belakang. Dari jauh, nampak
sosok tubuh orang merupakan bayang-bayang yang bergerak ke arahnya. Ia terkejut, akan
tetapi setelah bayangan itu mendekat, ia mengenal itu sebagai bayangan Sian Lun.
Ling Ling merasa girang sekali, akan tetapi hanya untuk sebentar. Siapa orangnya yang
takkan merasa girang kalau melihat seorang yang telah dikenalnya dalam malam yang
menyeramkan di daerah yang mengerihkan itu, sungguhpun orang itu seperti Sian Lun
sekalipun.
Akan tetapi ia segera dapat mengusir rasa girangnya ini dan berganti merasa gemas. Ia ingin
berlari secepatnya, akan tetapi tidak mungkin melakukan hal ini dalam daerah yang demikian
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
136
berbahaya. Ia maklum bahwa tanah berlumpur yang membentang luas di depannya itu belum
tentu tanah keras, dan kalau sekali kakinya terjeblos ke dalam rawa yang tertutup rumput,
akan celakalah dia.
Sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya dan mereka berdua berjalan tanpa mengeluarkan
sepatahpun kata, tanpa saling pandang, bagaikan dua bayangan setan berkeliaran di daerah
menyeramkan itu.
“Gadis bandel!” tiba-tiba Sian Lun berkata perlahan. Ia marah dan mendongkol sekali. Akan
tetapi Ling Ling tidak menjawab, hanya diam-diam tersenyum di dalam gelap. Telah berkalikali ia dibikin mendongkol dan marah oleh pemuda ini, dan kali ini ia merasa girang dapat
membalas dendam dan membuat Sian Lun marah dan mendongkol.
Pemuda ini, sudah beberapa kali lewat di daerah ini, maka ia lebih hafal akan liku-liku jalan
di situ, tahu di mana letaknya rawa-rawa yang berbahaya. Akan tetapi ia diam saja dan hanya
menurut ke mana Ling Ling memilih jalan. Ia maklum bahwa gadis itu telah tersasardan
salah jalan, akan tetapi ia diam saja.
Setelah berjalan tersaruk-saruk dan bulan telah muncul, menambah keseraman tempat itu,
belum juga mereka dapat keluar dari daerah liar ini, bahkan tiba-tiba Ling Ling menahan
kakinya dan melompat mundur. Hampir saja ia celaka, karena ketika kakinya menyentuh
rumput di depannya, ternyata bahwa di bawah rumput itu terdapat lumpur. Baiknya ia berlaku
hati-hati, kalau tidak tentu ia akan terjeblos ke dalam lumpur dan berbahaya.
Ling Ling melompat ke belakang bagaikan diserang ular. Ia berjalan ke kanan, akan tetapi
baru beberapa belas tindak kembali ia menghadapi lumpur berumput. Ke kiri tidak mungkin,
karena di sana membentang jurang yang amat dalam. Untuk kembali? Ah, bagaimana ia harus
kembali melalui jalan tadi yang demikian jauhnya? Ia berdiri termenung dengan bingung.
“Kita telah salah jalan,” kata Sian Lun dengan suara tenang, akan tetapi mengandung
kegembiraan, karena diam-diam ia mentertawakan gadis itu.
Ling Ling cemberut. “Kau sudah tahu dari tadi?”
“Tentu saja aku tahu,” jawab pemuda itu.
“Kurang ajar! Kalau sudah tahu mengapa diam saja? Mengapa kau membiarkan kita tersesat
ke jalan buntu ini?”
“Kuberitahu juga kau takkan percaya omonganku, apa perlunya? Biarlah, gadis kepala batu
seperti engkau perlu sewaktu-waktu mendapat hajaran.”
“Tutup mulutmu! Siapa suruh kau mengikuti perjalananku? Kau pergilah dan biarkan aku
sendiri!” Suara yang marah ini mengandung isak yang ditahan.
Akan tetapi Sian Lun tidak menjawab, bahkan ia lalu mengumpulkan daun-daun kering dan
memanjat pohon untuk mengambil ranting-ranting kering. Ditumpuknya daun dan ranting itu
di situ lalu ia membuat api unggun.
“Pergi!” seru Ling Ling. “Mengapa kau tidak mau pergi? Aku tidak ingin ditemani!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
137
“Di sini bukan tempat milikmu, di sini daerah rawa, tiada pemiliknya. Siapa saja boleh
bermalam di sini. Kau suruh aku pergi ke mana? Kembali ke jalan tadi, mungkin akan tersasar
ke tempat yang lebih berbahaya lagi. Tahukah kau bahwa tak jauh dari sini terdapat daerah
yang penuh dengan ular-ular kecil berbisa? Bagaimana kau dapat melawan ular-ular kecil
yang tiba-tiba menyerang kakimu dari dalam gelap? Sekali saja kena gigitan seekor ular itu,
tubuh kita akan menjadi kaku dan bengkak-bengkak, nyawa takkan tertolong lagi. Ke mana
aku harus pergi? Aku akan bermalam di sini dan besok kalau sudah terang tanah, barulah
dapat kita keluar dari neraka ini.”
Meremang bulu tengkuk Ling Ling mendengar cerita tentang ular-ular berbisa itu. Padahal
cerita ini amat dilebih-lebihkan oleh Sian Lun. Dengan jengkel sekali Ling Ling duduk di
bawah pohon di mana Sian Lun mengambil ranting-ranting tadi dan ia memandang kepada
pemuda itu yang mengatur ranting dan daun yang mulai bernyala.
Kemudian Sian Lun duduk menghadapi Ling Ling. Untuk beberapa lama mereka diam saja
dan agaknya di dalam cahaya api unggun yang suram itu, Sian Lun lebih berani memandang
dan menatap wajah gadis itu lebih lama. Karena di dalam keadaan yang agak gelap ini, sinar
mata gadis itu yang luar biasa tajamnya tidak begitu menikam pandang matanya.
“Jadi kau adalah ahli waris dari Panglima Besar Kam Kok Han?” tanya Sian Lun kemudian.
“Ya,” jawab Ling Ling singkat.
“Jadi kau she Kam?”
“Bukan,” kembali jawaban yang singkat sekali.
Sunyi kembali sampai lama. Sian Lun merasa heran melihat keadaan gadis yang menarik
perhatiannya ini. Seorang gadis yang keras hati dan galak, seakan-akan telah mengerasdalam
rendaman air pengalaman yang pahit getir.
Siapakah dia ini? Ada hubungan apakah dengan Kwee Siong? Betapapun juga, ia seorang
gadis patriot yang gagah perkasa, dan seorang yang berpribudi tinggi. Buktinya, gadis yang
pernah bermusuhan dengan Pek-sim-kauw ini, akhirnya di dalam perjuangan bahkan menjadi
pemimpin pasukan Pek-sim-kauw yang amat terkenal dan ditakuti musuh.
“Nona, aku telah mendengar bahwa namamu Ling Ling, akan tetapi siapakah shemu?”
Hampir saja Ling Ling menjawab untuk mengaku terus terang, akan tetapi ia teringatbahwa
pengakuannya ini akan membuka rahasianya bahwa ia adalah puteri Kwee Siong. Ia tidak
mau pemuda ini mengetahui bahwa dia adalah puteri Kwee Siong, maka ia lalu menutup
kembali bibinya yang sudah hampir digerakkan.
“Nona, mengapa kau diam saja? Apakah terlalu kurang ajar pertanyaanku tadi?” setelah
menanti agak lama Sian Lun berkata lagi.
“Sudahlah, jangan banyak tanya,” akhirnya Ling Ling menjawab juga, “aku lelah dan
mengantuk, hendak tidur!” Sambil berkata demikian, gadis itu berdiri dan hendak pergi
menjauhkan diri dari tempat itu.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
138
“Eh, nona, mengapa pergi? Mau tidur, tidurlah saja di sini, di bawah pohon dekat api unggun.
Biarlah aku yang pergi menjauhkan diri kalau kau tidak ingin berdekatan dengan aku.”
Akan tetapi Ling Ling menoleh sambil berkata, “Aku tidak biasa tidur dalam terang api.
Menyilaukan mata. Padamkanlah api unggunmu yang menyilaukan itu!”
“Mana bisa dipadamkan? Api ini mengusir binatang-binatang kecil yang mengganggu kita.
Dan pula, hawa malam begini dingin.” Sian Lun membantah.
Ling Ling membanting-banting kakinya. “Kalau begitu, mengapa kau menawarkan tempat itu
kepadaku? Kau selalu membantah dan membawa kehendak sendiri. Keras kepala!” Gadisini
dengan marah lalu menjahui tempat itu, berjalan kembali ke jalan tadi, kemudian merebahkan
diri di bawah pohon berikutnya, tak jauh dari tempat Sian Lun.
Ia dapat melihat pemuda itu berdiri di dekat api unggun sambil memandang ke arahnya. Akan
tetapi Ling Ling tidak perduli, membuka buntalan pakaiannya dan segera duduk bersandar ke
pohon dan menyelimuti tubuhnya dengan sebuah mantelnya.
Gadis aneh, pikir Sian Lun sambil duduk bersandar pohon itu, .....aneh, galak, akan tetapi
amat manis dan menarik hati........
******
Pada keesokan harinya, Ling Ling bangun dari tidurnya dengan tubuh lemas. Ia hampir tak
dapat tidur malam itu karena benar saja, banyak nyamuk yang mengganggunya. Ia telah
menutupi seluruh tubuhnya, akan tetapi nyamuk di daerah rawa itu benar-benar bandel.
Binatang-binatang kecil itu dapat menggigitnya melalui mantelnya dan mukanya menjadi
sasaran. Bukan main marah dan mendongkolnya, akan tetapi ia merasa malu untuk membuat
api unggun seperti Sian Lun.
Ketika pada pagi hari itu ia hendak melanjutkan perjalanan dengan diam-diam tanpa memberi
tahu kepada pemuda itu, ternyata bahwa Sian Lun telah mendahuluinya dan datang
mendekatinya.
“Enak tidur?” tanya pemuda ini sambil tersenyum. Panas hati Ling Ling mendengar
pertanyaan ini yang dianggapnya seperti olok-olok karena tidak tahukah pemuda itu betapa ia
menderita gangguan nyamuk? Ia sama sekali tidak tahu bahwa juga Sian Lun tidak tidur
malam itu, sungguhpun bukan karena gangguan nyamuk, akan tetapi gangguan hati sendiri
yang mulai jatuh cinta kepadanya.”
“Kau yang enak tidur!” jawabnya mendongkol. “Bagaimana aku dapat tidur di tempat seperti
neraka ini?”
“Nona, harap kau jangan terlalu mencurigaiku. Kalau saja kau menurut kata-kataku, tentu kau
tidak akan mengalami kekecewaan. Aku lebih hafal akan jalan-jalan di sini dan percayalah,
aku akan membawamu ke Tiang-an, dan takkan kuhalangi segala tindakanmu kecuali kalau
sudah sampai di kota itu.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
139
Ling Ling tidak menjawab, akan tetapi ia tidak membantah dan mengikuti pemuda itu ketika
Sian Lun mengajaknya keluar dari daerah rawa itu. Mereka berjalan kembali ke jalan yang
kemaren kemudian membelok ke kanan dan selanjutnya Sian Lun yang menjadi penunjuk
jalan.
Mereka melakukan perjalanan bersama, merupakan pasangan yang amat sedap dipandang
karena mereka sama-sama muda, gagah dan elok. Akan tetapi, di sepanjang jalan mereka
tidak pernah, atau jarang sekali bicara.
Ling Ling merasa betapa tubuhnya terasa tidak enak sekali dan kepalanya kadang-kadang
pening. Akan tetapi tentu saja ia tidak sudi memperlihatkan keadaannya kepada Sian Lun.
Ia mengira bahwa ia terlampau lelah dan kurang tidur, dan ia tidak mau menyatakan
kelemahannya terhadap Sian Lun. Padahal sebetulnya ia telah terserang oleh bisa gigitan
nyamuk-nyamuk malam tadi.
Setelah matahari naik tinggi, mereka tiba di sebuah dusun dan Sian Lun yang melihat betapa
gadis itu wajahnya pucat dan penuh keringat lalu berkata.
“Kita beristirahat dulu dan mengisi perut.”
“Aku tidak ingin makan!” bantah Ling Ling.
“Ingat, nona. Aku yang menjadi penunjuk jalan dan sekarang aku merasa lapar dan lelah. Kau
pun nampak lelah, mengapa berkeras kepala?”
“Kau yang keras kepala!” kata Ling Ling merengut, akan tetapi ia mengikuti pemuda itu yang
melangkah masuk ke dalam sebuah restoran.
“Dua bubur, bebek tim dan air teh.” Sian Lun memesan kepada seorang pelayan yang
menghampiri mereka. Pelayan itu mengangguk dan pergi ke belakang untuk menyediakan
pesanannya.
“Aku tidak suka bubur dan bebek tim, apalagi air teh!” Ling Ling membantah. “Aku ingin
daging dan arak!”
“Dalam keadaan seperti ini, tidak baik makan daging dan minum arak, nona. Kesehatanmu
bisa terganggu.”
Ling Ling dengan mata melotot, akan tetapi dalam pandangan Sian Lun, ia nampak makin
cantik dan menarik kalau sedang marah.
“Kau kira aku anak kecil yang harus menurut segala omonganmu? Aku mau daging dan
arak!” kata Ling Ling.
“Ssst, nona. Banyak orang di sini, tidak malukah kalau kita cekcok di sini?” kata Sian Lun
berbisik perlahan. Ling Ling mengerling ke kanan kiri dan melihat para tamu restoran yang
duduk di meja lain memandang ke arah mereka sambil tersenyum-senyum. Mereka disangka
sepasang suami isteri yang sedang bertengkar.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
140
Terpaksa Ling Ling mengalah, akan tetapi ia mendongkol sekali.
“Aku tidak sudi makan pesananmu!” bisiknya dengan gigi terkatup. Sian Lun tidak
menjawab.
Akan tetapi, ketika masakan yang dipesan tadi dihidangkan oleh pelayan, tanpa berkata
sesuatu Ling Ling lalu makan bubur dan bebek tim itu, bahkan lebih lahap dari pada Sian
Lun. Pemuda ini diam-diam merasa geli sekali, akan tetapi ia tidak memperlihatkan
perasaannya, hanya diam-diam memberi tanda kepada pelayan untuk menambah bubur.
Ling Ling tidak berkata dan makan sampai kenyang betul. Ia merasa tubuhnya menjadi segar
kembali dan diam-diam ia merasa bersyukur atas pilihan makanan pemuda itu. Ia tahu bahwa
permintaannya untuk makan daging dan arak tadi hanya timbul dari hatinya yang keras,
karena sesungguhnya ia tidak begitu doyan minum arak yang membuatnya pening dan merasa
muak.
Ketika mereka keluar dari restoran itu, tiba di depan mereka, di luar restoran, berdiri seorang
tosu yang bertubuh tinggi besar dan bermata bundar. Kedua orang muda itu memandang
dengan mata curiga, akan tetapi tosu ini dengan tersenyum-senyum memandang kepada
mereka, seakan-akan sedang menyelidik.
Tiba-tiba matanya yang bundar itu memandang ke arah gagang pedang yang tergantung di
pinggang Ling Ling dan senyumnya menghilang. Sinar matanya cepat dialihkan dan kini
menatap wajah Ling Ling dengan pandang mata yang membuat gadis itu terkejut sekali,
karena pandangan ini penuh dengan ancaman.
“Di mana kau peroleh pedang itu?” tanyanya kepada Ling Ling dengan suaranya yang
mengguntur sehingga para tamu di dalam restoran itu memandang keluar dengan heran.
“Mau apa kau banyak tanya?” jawab Ling Ling dengan suara yang tak kalah keras dan
nyaringnya. Memang, untuk membuat ia jangan sampai kalah muka, gadis ini telah
mempergunakan khikangnya sehingga suaranya terdengar nyaring dan bergema keras.
bab 17.....
Tosu itu tertegun dan maklum akan demonstrasi khikang ini. Ia merobah sikapnya dan
berkata,
“Hm, kiranya kalian adalah orang-orang muda dari kang-ouw pula. Pinto bertanya bukan
tiada alasan. Pedang itu tentu Oei-hong-kiam, bukan? Ketahuilah bahwa Oei-hong-kiam
adalah pedangku, sudah sepuluh tahun berada di tanganku.
Kemudian kuberikan kepada muridku dan kumendengar bahwa muridku telah tewas dan
pedang itu telah terampas oleh lawannya. Karena itu, ku ulangi lagi, dari mana kau
memperoleh pedang Oei-hong-kiam itu, nona?”
“Akulah yang memberi pedang itu kepadanya, totiang,” Sian Lun mendahuluinya menjawab.
Pemuda ini maklum akan kekerasan hati nona itu, maka sebelum Ling Ling mengeluarkan
ucapan kasar, ia mendahuluinya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
141
Mendengar ucapan ini, tosu itu lalu berpaling dan kini pandang matanya menatap wajah Sian
Lun dengan tajam.
“Kau? Siapa kau? Darimana kau peroleh pedang itu?”
“Aku memperolehnya dari seorang lawanku yang tewas.”
“Aha, jadi kaulah yang telah membunuh muridku Kwan Sun Giok? Bagus, kau berani sekali
mengganggu murid dari Liang Hwat Cinjin? Kau mencari mampus!”
Bukan main kagetnya Sian Lun mendengar ucapan ini, apalagi ketika tiba-tiba sepasang
tangan tosu itu yang tertutup oleh lengan baju yang panjang dan lebar, telah menyambarnya
dengan kecepatan luar biasa sekali, melakukan totokan dengan ujung lengan baju ke arah
jalan darahnya yang berbahaya.
Sian Lun cepat membuang tubuhnya ke belakang, berjungkir balik di udara beberapa kali,
baru ia turun dan kini ia berdiri agak jauh dari tosu itu.
“Bagus, kau ternyata pandai juga. Pantas muridku kalah!” Sambil berkata demikian, kembali
ia mengebutkan kedua tangannya ke depan, tanpa melangkah maju. Inilah pukulan Kim-kongjiu yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh, sebuah pukulan yang dilakukan
mengandalkan tenaga khikang yang amat tinggi.
Sian Lun semenjak tadi telah merasa ragu-ragu dan khawatir sekali. Kalau benar keterangan
Kwan Sun Giok dahulu, kakek ini sebetulnya masih supeknya (uwa gurunya) sendiri, maka
bagaimana ia berani melawannya? Ia tidak mengelak dari sambaran pukulan Kim-kong-jiu
itu.
Sebaliknya ia lalu mengangkat kedua tangannya ke arah dada dengan telapak terbuka,
mengerahkan khikang dan lweekang dan melakukan gerakan Raja Monyet Menyembah
Buddha. Gerakan ini adalah pelajaran dari ilmu silat Pek-sim-kun-hoat yang ia terima dari
Liang Gi Cinjin dan karena telah lama pemuda ini mendapat gemblengan ilmu lweekang dari
Beng To Siansu, maka tenaga dalamnya sudah cukup kuat sehingga ia berhasil menolak
kembali pukulan Kim-kong-jiu itu.
Liang Hwat Cinjin terkejut bukan main, tidak hanya karena melihat pemuda itu dapat
menolak pukulannya, akan tetapi terutama sekali melihat cara pemuda itu menolak pukulan
tadi.
“He, dari mana kau memperoleh gerakan See-ceng-pai-hud tadi? Ada hubungan apakah kau
dengan suteku Liang Gi Cinjin?”
Sian Lun adalah seorang pemuda yang terpelajar dan memegang keras peraturan kesopanan
antara hubungan guru dan murid. Mendengar pertanyaan ini, terpaksa ia lalu menjatuhkan diri
berlutut dan berkata,
“Maaf, supek. Teecu adalah murid dari suhu Liang Gi Cinjin.”
Liang Hwat Cinjin tertegun. “Apa? Kau murid dari Liang Gi? Dan kau yang membunuh
muridku Kwan Sun Giok dan yang merampas pedangnya?”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
142
“Teecu terpaksa, supek, karena dia menjadi panglima dari pasukan Sui, adapun teecu
membantu perjuangan Jenderal Li Goan. Di dalam perang, tentu saja tidak ada hubungan
antara saudara. Harap supek sudi mempertimbangkan dan memaafkan teecu.”
“Bedebah!” tiba-tiba tosu itu memaki dengan kasar sekali sehingga mengejutkan semua orang
yang mulai menonton pertengkaran itu. “Kau sudah berani membunuh suhengmu sendiri,
hendak kulihat apakah kau berani pula melawan supekmu?”
Sambil berkata demikian, ia melangkah maju dan hendak memukul Sian Lun yang tidak
bergerak dari tempatnya berlutut. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
“Tosu keparat! Sekarang kaulah yang harus menjawab dari mana kau mendapatkan pedang
ini!”
Karena Ling Ling mengeluarkan kata-kata ini sambil menggerakkan pedangnya di depan tosu
itu untuk menghalanginya memukul Sian Lun, Liang Hwat Cinjin terpaksa menarik kembali
tangannya dan ia memandang kepada Ling Ling dengan marah dan mendongkol sekali.
“Gadis liar, siapakah kau? Berani sekali kau berlaku kurang ajar dihadapan Kim-kong Lokoai (Setan Tua Sinar Mas).”
Mendengar tosu itu menyebutkan julukannya yang menyeramkan, Ling Ling tersenyum
mengejek dan berkata, “Aku adalah Toat-beng Mo-li (Iblis Wanita Pencabut Nyawa),
mengapa harus takut berhadapan dengan setan tua yang sudah hampir mampus. Kau bilang
tadi bahwa pedang Oei-hong-kiam ini adalah pedangmu, ternyata kau telah berkata bohong
besar.”
Sampai pucat wajah Liang Hwat Cinjin mendengar ucapan yang disertai makian ini. Belum
pernah selama hidupnya ada orang yang berani bersikap demikian kurang ajar kepadanya.
“Bocah yang bosan hidup! Kau berani bilang aku membohong?”
“Tentu saja kau bohong, karena setahuku, pedang Oei-hong-kiam adalah pedang pusaka milik
Panglima Besar Kam Kok Han!”
Berobahlah wajah Liang Hwat Cinjin mendengar nama ini disebut. “Hm, dari mana kau tahu
akan hal ini? Memang benar, Kam Kok Han telah mampus ditanganku dalam
pemberontakannya dan pedang ini terjatuh ke dalam tanganku, bukankah itu berarti bahwa
pedang Oei-hong-kiam menjadi pedangku?”
“Bagus, bangsat tua! Sudah lama aku mencari-cari kau untuk membalas dendam sucouw
(kakek guru)!” Sambil berkata demikian, Ling Ling lalu menyerang dengan tusukan
pedangnya.
Liang Hwat Cinjin terheran mendengar ini, akan tetapi ia cepat mengelak sambil
mengebutkan ujung lengan bajunya. Ketika ujung lengan baju itu mengenai pedang, terdengar
suara gemericing nyaring dan tergetarlah tangan Ling Ling.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
143
Gadis ini terkejut sekali maklum bahwa kepandaian kakek ini benar-benar amat lihai dan
masih lebih tinggi dari pada tingkat kepandaiannya sendiri. Akan tetapi Ling Ling tentu saja
tidak merasa takut sedikitpun juga, apalagi karena pada saat itu ia sedang merasa marah dan
sakit hati sekali melihat orang yang dimaksudkan oleh pesanan Bu Lam Nio.
Inilah pembunuh suami Bu Lam Nio, dan orang inilah yang harus ia tewaskan untuk
membalas dendam Bu Lam Nio dan Kam Kok Han. Maka ia lalu menyerbu lagi dan
mengeluarkan ilmu pedang Kim-gan-liong-kiam-sut sebaik-baiknya.
“Hoho! Jadi kau sudah mewarisi Kim-gan-liong Kiam-sut dari Kam Kok Han? Bagus, bagus,
mari pinto antar kau menyusul sucouwmu si pemberontak itu!”
Setelah berkata demikian, Liang Hwat Cinjin lalu menggerakkan kedua lengan bajunya secara
istimewa sekali. Dari kedua ujung lengan bajunya keluar angin pukulan yang dahsyat, yang
membuat pakaian para penonton yang berada di tempat jauh ikut berkibar dan yang membuat
Ling Ling merasa seakan-akan menghadapi serangan angin ribut.
Biarpun gadis ini telah memiliki lweekang yang cukup tinggi sehingga ia tidak terpengaruh
oleh hawa pukulan yang hebat ini, namun tetap saja kedua matanya terasa pedas dan
hidungnya terasa sukar untuk bernapas ketika tertiup oleh hawa gerakan tosu yang lihai itu.
Inilah ilmu silat Soan-hong-kim-ko-jiu yang amat lihai dari Liang Hwat Cinjin.
Dulu ketika ia menghadapi Kam Kok Han di waktu mudanya, ia telah berhasil pula
merobohkan panglima kosen itu.dengan Soan-hong-kim-ko-jiu ini. Dan sekarang dengan ilmu
pukulan ini pula ia telah membuat Ling Ling menjadi bingung sekali dan terdesak hebat.
“Supek, jangan celakakan dia!” terdengar Sian Lun berseru berulang-ulang, dan ketika
supeknya tidak memperdulikan teriakannya, dan melihat betapa Ling Ling nampak makin
lama makin lemah gerakan pedangnya, Sian Lun lalu mencabut pedang Pek-hong-kiam dan
melompat maju, menyerbu ke dalam kalangan pertempuran yang hebat itu.
“Ha, ha, ha! Jadi kau membela gadis ini? Agaknya dia adalah kecintaanmu, baik, ....baik!
Akan kuantar kalian berdua menjumpai Kwan Sun Giok muridku di alam baka!”
Kini pertempuran menjadi makin hebat. Gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu benarbenar hebat. Biarpun ujung lengan baju itu hanya terbuat dari pada bahan kain yang tidak
berapa tebalnya, namun karena digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi dan menurut
aturan dari ilmu silat luar biasa Soan-hong-kim-ko-jiu, maka lengan baju itu merupakan
senjata yang luar biasa berbahayanya.
Biarpun, berkali-kali bertemu dengan pedang-pedang pusaka seperti Oei-hong-pokiam dan
Pek-hong-pokiam, namun ujung lengan baju itu tidak menjadi putus bahkan tangan kedua
orang muda itu terasa kesemutan seakan-akan pedang mereka bertemu dengan benda yang
amat keras dan kuatnya.
Makin lama makin banyak orang yang menonton pertempuran ini, dan semua orang tidak
berani mendekat, menonton dari jarak jauh sambil menahan napas. Memang pertempuran itu
amat indah dilihat. Pedang di tangan Sian Lun menjadi segulung sinar putih yang cepat dan
kuat, sedangkan pedang di tangan Ling Ling berobah menjadi segulung sinar kuning yang
amat ganas.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
144
Adapun lengan baju Liang Hwat Cinjin kadang-kadang terbuka lebar merupakan awan-awan
putih yang bergulung-gulung tertiup angin, sehingga nampaknya karena tubuh ketiga orang
itu tidak kelihatan lagi, seakan-akan yang bermain di situ adalah seekor naga kuning dan
seekor naga putih yang bermain-main di antara mega-mega yang tertiup angin.
Liang Hwat Cinjin merasa penasaran sekali dan diam-diam ia mengagumi ilmu pedang Sian
Lun. Pantas saja Kwan Sun Giok, muridnya itu tidak dapat menang, tidak tahunya pemuda itu
sudah hampir mewarisi seluruh kepandaian sutenya, Liang Gi Cinjin.
Seratus jurus telah lewat dan tosu itu tetap belum dapat mengalahkan kedua orang lawan
mudanya, sungguhpun kedua orang muda itu telah terdesak hebat oleh kedua lengan bajunya.
Bahkan Ling Ling nampak pucat sekali dan keringat telah membasahi jidatnya.
Gadis ini memang telah merasa tidak enak badan dan kini karena ia mengerahkan seluruh
tenaganya, ia merasa kepalanya pening dan tubuhnya panas bagaikan terbakar. Hanya
semangat dan keberaniannya yang luar biasa sajalah yang membuat ia masih kuat melakukan
pertempuran hebat itu.
Pada saat itu terdengar seruan. “Kim-kong Lo-koai, kau memang jahat sekali!” Dan tiba-tiba
seorang tosu tua berkelebat datang dan menggunakan sebatang tongkat bambu menyerbu dan
menyerang Liang Hwat Cinjin.
“Beng Kui Tosu, kau mau ikut-ikut?” Liang Hwat berseru marah, akan tetapi diam-diam ia
mengeluh karena dengan adanya tosu tua yang amat tangguh ini, ia merasa tak sanggup
melawan terus. Tadipun menghadapi Ling Ling dan Sian Lun, biarpun ia selalu dapat
mendesak, namun kegesitan tubuh kedua orang muda itu telah membuat kepalanya pening
dan sukar baginya untuk merobohkan seorang di antara mereka.
Kini tertambah pula oleh Beng Kui Tosu, tokoh dari Kun-lun-san yang kepandaiannya tinggi
juga, tentu saja berat baginya menghadapi keroyokan ketiga orang ini. Biarpun tingkat
kepandaian Beng Kui Tosu tidak lebih tinggi dari pada kepandaian Ling Ling atau Sian Lun,
namun tosu ini telah banyak pengalaman dalam pertempuran dan oleh karenanya bambu di
tangannya itu tidak kalah lihainya dari pada pedang pusaka di tangan Sian Lun atau Ling
Ling.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan di antara para penonton, “Dia Liem-ciangkun! Hayo
keroyok tosu siluman itu!” Dan banyak orang datang dengan senjata di tangan, siap
mengeroyok Liang Hwat Cinjin.
Ternyata mereka itu adalah bekas pejuang-pejuang atau pemberontak-pemberontak yang
mengenal Liem Sian Lun sebagai pemimpin mereka ketika dahulu menyerbu ke Tiang-an.
Melihat gelagat tidak baik, Liang Hwat Cinjin tertawa bergelak dan tubuhnya melompat cepat
sekali dan lenyap dari pandangan mata.
Sian Lun lalu menghampiri Beng Kui Tosu dan berlutut.
“Suhu, terima kasih atas pertolongan suhu.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
145
Akan tetapi Beng Kui Tosu setelah mengelus-elus kepala bekas muridnya ini lalu berkata,
“Lihat, Sian Lun, nona ini agaknya sakit.”
Sian Lun terkejut sekali dan cepat menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Ling Ling
berdiri sambil meramkan mata.
Wajahnya pucat sekali dan tiba-tiba gadis itu menjadi limbung, pedangnya terlepas dari
tangannya dan ia tentu sudah roboh kalau Sian Lun tidak cepat-cepat melompat dan
memeluknya. Sementara itu, beberapa belas orang bekas anak buahnya sudah merubungnya
dan di antaranya berkata,
“Liem-ciangkun, marilah bawa nona itu ke rumahku untuk dirawat.”
Beramai-ramai mereka lalu menuju ke rumah orang she Thio yang peramah itu. Ling Ling
dipondong oleh Sian Lun yang merasa amat gelisah karena tubuh gadis itu ternyata amat
panas bagaikan api.
Untung sekali bahwa pendeta Kun-lun-pai ini, yaitu Beng Kui Tosu, paham akan ilmu
pengobatan. Setelah memeriksa nadi tangan Ling Ling dan merabah jidatnya, pendeta ini lalu
berkata perlahan,
“Ah, dia tidak terkena pukulan dan tidak terluka, hanya menderita demam akibat gigitan
nyamuk berbisa!”
“Memang malam tadi kami berdua bermalam di tepi rawa, suhu.”
Beng Kui Tosu mengangguk-angguk maklum. “Tidak apa, tak usah gelisah, ada obatnya
untuk penyakit ini.” Ia lalu menulis resep dan minta seorang di antara bekas anak buah Sian
Lun untuk mencarikan obat itu di toko obat. Orang she Thio itu sendiri lalu pergi ke kota yang
berdekatan untuk membeli obat di toko obat.
“Penyakitnya tidak berbahaya,” kata tosu itu kepada Sian Lun, “dengan rawatan dan istirahat,
kau beri minum obat itu selama beberapa hari saja akan sembuh. Siapakah nona ini dan
mengapa pula kau sampai bertempur melawan Kim-kong Lo-koai yang lihai?”
Dengan singkat Sian Lun menuturkan pengalamannya. Tosu itu mengangguk-angguk lalu
berkata,
“Nona ini ilmu pedangnya hebat sekali. Agaknya cocok kalau bisa menjadi jodohmu, Sian
Lun.”
Pemuda itu hanya menunduk dengan muka merah. Kemudian tosu itu lalu berpamit untuk
melanjutkan perantauannya, karena tosu Kun-lun-pai ini memang seorang perantau yang tiada
tentu tempat tinggalnya.
Dengan amat teliti dan sabar, Sian Lun merawat Ling Ling hingga empat hari kemudian
setelah sembuh, gadis ini merasa amat terharu dan berterima kasih. Akan tetapi, ia merasa
malu untuk memperlihatkan perasaannya, hanya kini ia tidak marah-marah lagi kepada Sian
Lun.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
146
“Kau baik sekali, Liem-ciangkun. Mengapa kau sebaik itu kepadaku?” hanya inilah
ucapannya ketika ia melihat betapa pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri memberi obat
minum kepadanya.
“Nona, kau adalah seorang gagah yang berbudi tinggi dan telah berjasa dalam perjuangan.
Kita boleh dibilang orang-orang segolongan dan kebetulan sekali kita melakukan perjalanan
yang sama, mengalami bahaya yang sama serta bertemu dengan Liang Hwat Cinjin yang
berbahaya. Mengapa aku tidak akan merawatmu? Tak usah bicara tentang kebaikan, karena
kalau aku yang tertimpa malapetaka, aku percaya penuh bahwa kaupun takkan tega
meninggalkan aku begitu saja.”
“Belum tentu,” kata Ling Ling sambil menghindari pandang mata pemuda ini. “Aku, ......aku
keras hati dan keras kepala.”
Sian Lun tersenyum. Dia sendirilah yang menyebut keras hati dan keras kepala kepadagadis
itu.
“Apa kau kira aku tidak keras kepala? Kita sama saja, nona, dan ..... haruskah kita bersikap
seperti orang yang belum saling mengenal? Tak enak sekali mendengar kau menyebut
ciangkun kepadaku. Di dalam barisan mungkin aku seorang panglima, akan tetapi di luar
barisan, aku hanyalah Liem Sian Lun, orang biasa saja.”
Akan tetapi Ling Ling tidak menjawab, hanya melengoskan muka untuk menyembunyikan
mukanya, akan tetapi pemuda itu telah melihat betapa air mata mengucur deras dari sepasang
mata gadis itu.
“Nona...... Ling Ling..... kau mengapakah?” bisiknya perlahan.
Gadis ini dalam keadaan sakit teringat akan nasibnya, teringat akan ibunya yang sudah
meninggal dunia, teringat pula akan ayahnya, orang yang sesungguhnya akan menjadi orang
satu-satunya yang dapat diminta tolong, menjadi tempat ia berlindung, akan tetapi, ayahnya
telah menjadi ayah orang lain dan ia hanya akan menjadi anak tiri.
Selama hidupnya, baru dua orang yang menaruh hati kasih sayang kepadanya, yang
memperhatikan dan mengurusnya, yakni neneknya dan ibunya. Bu Lam Nio dan ibunya telah
meninggalkannya. Dan sekarang, dalam keadaan sebatang kara, seorang diri tiada orang lain
yang dapat dimintai tolong, ia jatuh sakit dan mendapatkan perawatan yang demikian baiknya
dari seorang yang “dibencinya” !”
Mengingat akan hal ini dan mendengar pertanyaan pemuda itu yang diucapkan dengan penuh
perhatian, tak terasa lagi Ling Ling menangis tersedu-sedu. Baru kali ini dia menangis terisakisak dengan hati serasa diperas-peras.
“Kau..... kau terlalu baik padaku..... Liem-ciangkun, keluarlah...... keluarlah, tinggalkan aku
sendiri.....” tangis Ling Ling menjadi-jadi.
“Akan tetapi minumlah dulu obat ini, nona.” Sian Lun mendekatinya sambil memegang
mangkok berisi obat.
“Biarkan saja, aku dapat minum sendiri. Keluarlah, Liem-ciangkun ......
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
147
Sian Lun menarik napas panjang. Sungguh ia tidak dapat mengerti akan sikap gadis ini.
“Kau masih lemah, nona. Tak dapat minum sendiri. Biarlah aku menyuruh enso Thio ke sini.”
Setelah meletakkan mangkok obat itu ke atas meja, Sian Lun lalu keluar dan memanggil
nyonya Thio. Nyonya rumah ini amat peramah seperti suaminya, dan ia segera masuk ke
dalam kamar gadis itu.
“Nona, minumlah obat ini agar kau lekas sembuh.”
Dibantu oleh nyonya Thio, Ling Ling bangun duduk dan minum obat ini. “Terima kasih enci,
kau benar-benar baik sekali. Aku berhutang budi kepadamu.”
“Hush, mengapa bicara tentang budi? Kalau mau bicara tentang budi, kau harus ingat kepada
Liem-ciangkun. Dialah yang merawatmu selama ini, dia lupa makan, lupa tidur
mengkhawatirkan keadaanmu.”
Ling Ling memandang kepada nyonya itu dengan air mata berlinang. “Benarkah, enci?”
“Mengapa tidak benar? Liem-ciangkun setiap malam duduk di atas bangku di luar kamarmu,
selalu menjagamu seperti seorang ayah menjaga anaknya. Ah, kau beruntung sekali
mempunyai seorang calon suami seperti dia, nona.”
Tertegun hati Ling Ling mendengar sebutan ini. Ia hendak membantah akan tetapi cepat
ditahannya. Apa gunanya membantah? Biarlah mereka mengira bahwa dia adalah calon isteri
Sian Lun, apa salahnya?
Hatinya merasa perih sekali, karena bagaimana ia bisa berjodoh dengan Sian Lun, dengan
seorang pemuda yang dibencinya? Tak mungkin seorang pemuda yang telah menduduki
pangkat sebagai panglima, seorang pemuda gagah perkasa, orang kepercayaan Jenderal Li,
sudi berjodoh dengan gadis bodoh seperti dia. Hatinya makin terasa perih, Sian Lun
merawatnya tentu bukan karena cinta kasih, melainkan karena iba hati, terdorong oleh
kebaikan budi pemuda itu.
Ah, kalau saja Kwee Siong yang menjadi suami ibunya itu tidak berhati sekejam itu. Kalau
saja Kwee Siong tidak melupakan ibunya, kalau saja ia bisa hidup sebagai puteri Kwee Siong,
akan lain lagi halnya. Tentu ia takkan merasa lebih rendah dari pada pemuda itu. Pikiran ini
membuat hatinya panas dan kemarahan serta kebenciannya terhadap Kwee Siong meluap.
Dan pada malam hari yang gelap itu, tanpa diketahui oleh siapapun juga, tidak diketahui pula
oleh Sian Lun yang telah tertidur saking lelahnya, diam-diam Ling Ling meninggalkan rumah
keluarga Thio itu, meninggalkan Sian Lun menuju ke Tiang-an.
Pada keesokan harinya, gegerlah dalam rumah itu. Sian Lun yang diberi tahu tentang larinya
Ling Ling, tanpa pamit lagi lalu melompat keluar dan berlari mengejar. Akan tetapi, ia telah
kalah dulu selama setengah malam, maka ia mempercepat larinya untuk menyusul gadis yang
aneh, gadis yang berhati keras, yang manis dan yang dicintainya itu.
******
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
148
Biarpun tubuhnya masih lemas, akan tetapi penyakit yang diderita oleh Ling Ling telah
sembuh sama sekali. Aneh, ketika ia memaksa dirinya berlari pada malam hari itu, makin
lama ia merasa makin sehat dan segar.
Tahulah dia bahwa kelemasan tubuhnya itu sebagian besar karena terlampau lama berbaring
dan kurang bergerak. Ia telah memiliki tubuh yang kuat, tubuh yang semenjak kecil
digembleng dengan ilmu silat tinggi, sehingga sebentar saja tenaganya telah pulih kembali,
sungguhpun ia masih merasa lemah pada kaki dan punggungnya.
Menjelang pagi, ia tiba di sebuah hutan dan beristirahat sambil mengatur pernapasannya dan
melatih lweekangnya. Kalau teringat kepada Sian Lun, ia menjadi berduka. Entah mengapa, ia
merasa sunyi dan sedih, berbeda sekali ketika ia mengadakan perjalanan bersama pemuda itu.
Ketika pemuda itu selalu berada di sampingnya, ia selalu hendak marah kepada Sian Lun,
akan tetapi setelah kini berpisah dan melakukan perjalanan seorang diri, ia merasa rindu dan
ingin sekali melihat pemuda itu berada di sampingnya. Inikah yang disebut cinta?? Ia sendiri
tidak mengerti, apakah ia merasa cinta atau benci kepada pemuda itu.
Ia melanjutkan perjalanannya, sebentar-sebentar berhenti dan pada senja hari ia tiba di luar
kota Tiang-an. Ia berhenti di sebuah dusun yang bersih dan nyaman hawanya, makan sedikit
bubur dari sebuah warung nasi, lalu menuju ke Tiang-an. Akan tetapi, malam telah tiba dan
kembali Ling Ling bermalam di sebuah hutan, di mana ia melihat sebuah kelenteng tua yang
kosong.
Pada kesokan harinya, ia melihat kelenteng itu ternyata indah sekali pemandangan sekitarnya,
dikelilingi oleh tanaman-tanaman bunga liar yang beraneka warna dan di belakang kelenteng
terdapat sebuah sungai kecil yang amat bening airnya. Tempat yang amat indah, pikirnya
dengan hati senang. Akan senanglah ia kalau tinggal di tempat seperti ini, dekat dengan kota
Tiang-an dan tak jauh dari hutan itu terdapat pula sebuah dusun yang bersih.
Ketika ia hendak berangkat ke Tiang-an untuk mencari Kwee Siong dan melakukan niatnya
membalas dendam, tiba-tiba terdengar suara halus memanggil namanya.
“Ling Ling.......”
Ling Ling menengok dan tiba-tiba wajahnya berobah menjadi merah. Ia melihat Sian Lun
berdiri di depan kelenteng dengan pandangan mata sayu.
“Ling Ling, mengapa kau meninggalkan aku....?” Pemuda ini nampak pucat sekali karena
memang ia amat gelisah. Ia telah mengejar Ling Ling dan tak dapat berjalan cepat-cepat
karena ia harus mencari keterangan sepanjang jalan kalau-kalau ada orang yang melihat gadis
itu.
Ia tidak begitu yakin bahwa Ling Ling akan mengambil jalan langsung ke Tiang-an. Siapa
tahu kalau gadis itu mengambil jalan lain? Karena itulah, maka ia baru dapat menyusul gadis
itu pada pagi hari ini. Ia merasa amat khawatir kalau-kalau gadis yang baru sajasembuh dari
sakit itu akan jatuh sakit pula di tengah jalan.
“Liem-ciangkun, mengapa kau menyusulku?” Ling Ling menjawab dengan pertanyaan sambil
menundukkan mukanya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
149
“Ling Ling, mengapa kau lari dariku? Mengapa kau selalu hendak menjauhkan diri dari
padaku? Sudah sembuh benarkah engkau? Kau nampak begitu kurus dan lemah .....” Sian Lun
melangkah maju mendekat dan tak terasa lagi ia memegang kedua tangan gadis itu.
Berdebar jantung Ling Ling ketika merasa betapa tangan pemuda itu memegang tangannya
dengan mesra. Debaran jantungnya membuat telapak tangannya dingin sekali.
“Tanganmu dingin sekali, Ling Ling. Kau masih belum sehat benar. Mengapa kau memaksa
melakukan perjalanan dan pergi di malam hari? Aku benar-benar gelisah.....”
“Liem-ciangkun, jangan kau perdulikan aku lagi! Aku..... aku sebatangkara, pergi ke mana
aku suka, bagaikan seekor burung di udara..... jangan kau acuhkan aku lagi, Liem-ciangkun.”
Akan tetapi dorongan cinta kasih di dalam hati Sian Lun tak dapat ditahan lagi. Ia memegang
kedua tangan Ling Ling makin erat dan berkata dengan bibir gemetar.
“Ling Ling, tidak tahukah kau betapa aku menyintamu?”
“Apa.....?” Kedua mata Ling Ling terbelalak dan ia memandang tajam. Sungguhpun ia telah
dapat mengira akan hal ini dan telah mendengar penuturan nyonya Thio tentang rawatan
pemuda ini, namun mendengar pengakuan itu dari mulut pemuda itu sendiri, ia menjadi
terkejut juga.
“Memang, aku mencintamu, Ling Ling,” kata Sian Lun dengan ketetapan seorang perajurit,
biarpun mukanya menjadi sebentar pucat sebentar merah dan keringat mengalir dari jidatnya
di pagi hari yang dingin itu. “Aku sendiri tadinya tidak mengira sama sekali, kukira hanya
karena kagumku dan rasa iba hatiku kepadamu. Akan tetapi malam kemarin .... pada pagi
harinya ketika aku mendengar bahwa kau telah pergi meninggalkanku ..... aku yakin bahwa
aku takkan dapat hidup bahagia tanpa kau disampingku!”
Bab 18.....
Ling Ling tak dapat menjawab, hanya menundukkan mukanya makin dalam dan ia menangis
terisak-isak.
“Ling Ling.......” Sian Lun menarik kedua tangan gadis itu dan hendak memeluknya, akan
tetapi Ling Ling merenggutkan kedua tangannya sehingga terlepas dari pegangan Sian Lun
dan gadis ini melangkah mundur tiga tindak.
“Tidak, tidak...... jangan sentuh aku....!”
“Ling Ling.....” kata Sian Lun dengan suara sedih, “kau bilang bahwa kau hidup sebatangkara
...... tidak maukah kau ikut dengan aku dan menjadi mantu ibuku? Dia orang baik, Ling Ling,
ibuku amat baik dan tentu kau akan suka sekali kepadanya, akan kau anggap sebagai ibumu
sendiri.”
“Tidak! Tidak! Kau seorang panglima, seorang berkedudukan tinggi, sedangkan aku...... aku
seorang wanita kasar, bodoh, dan telah disebut orang sebagai...... siluman, sebagai iblis
wanita! Tahukah kau aku siapa?”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
150
“Kau seorang gadis yang gagah perkasa, budiman, dan cantik jelita...... dan......”
“Aku disebut Toat-beng Mo-li, Iblis Wanita Pencabut Nyawa, juga disebut Cialing Mo-li,
Iblis Wanita Sungai Cialing! Aku seorang wanita jahat, kejam, dan tidak mengenal
prikemanusiaan!”
“Mereka itu bohong!” kata Sian Lun dengan sengit, “Akan kutampar mulut setiap orang yang
berani menyebutmu demikian, Ling Ling. Tidak dapatkah kau menerima cintaku.....?”
“Tidak, tidak mungkin......”
Apakah kau membenciku? Dan..... tidak ada sedikit jugapun rasa cinta kasih di dalam hatimu
terhadapku?” pertanyaan ini terdengar amat mengharukan sehingga kini gadis itu menutupi
mukanya dan tangisnya membuatnya tersedu-sedu. Ia tak dapat menjawab.
“Ling Ling, jawablah. Jawabanmu merupakan keputusan bagi kebahagiaan hidupku.”
Setelah tangisnya mereda, gadis itu menatap wajah pemuda itu dengan pandangan yang
berani, pandangan yang menyelidik dan tajam sekali sehingga kembali Sian Lun merasa
betapa sinar mata gadis itu tajam dan runcing bagaikan ujung pedang yang menembus
hatinya.
“Sian Lun, katakanlah, mengapa kau menyintaku? Mengapa?”
Berdebar jantung pemuda itu mendengar Ling Ling menyebut namanya begitu saja. Satu
perobahan? Akan tetapi ia harus menjawab.
“Sukar sekali mengatakannya, Ling Ling,” ia menatap gadis itu dari kepala sampai ke kaki,
“entah apamu yang membuat aku jatuh cinta. Mungkin rambutmu, matamu, hidung atau
mulutmu, mungkin pula kakimu ..... ah, aku tidak tahu. Mungkin pula watakmu yang keras,
atau kegagahanmu, entahlah. Kenyataannya, kalau kau sedang marah, kau nampak makin
menarik dalam pandangan mataku.”
Ucapan ini terdengar bagaikan lagu dari tujuh sorga di dalam telinga Ling Ling, membuatnya
menutupkan kedua mata untuk beberapa lamanya. Alangkah merdu suara pemuda itu, ingin ia
mendengar terus menerus ucapan itu, mendengar selama hidupnya. Akan tetapi ia memaksa
diri merenggutkan semangatnya yang sudah terayun oleh gelombang rayuan ini.
“Sian Lun, lihatlah kenyataan! Bukalah matamu! Aku bukan gadis yang tepat untuk menjadi
jodohmu. Lupakah kau bahwa aku sedang menuju ke Tiang-an untuk mencari dan membunuh
Kwee Siong pamanmu?”
Bagaikan pisau berkarat ucapan ini menikam ulu hati Sian Lun dan membuatnya menjadi
pucat seketika. Sakit rasa hati Ling Ling melihat keadaan pemuda itu. Sesungguhnya Sian
Lun menjadi limbung ketika ia melangkah mundur tiga tindak. Kata-kata ini merupakan suara
halilintar di siang hari yang menggugahnya dari mimpi indah. Bagaikan air dingin yang
diguyurkan di atas kepala seorang yang mengantuk.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
151
“Ling Ling ......... kasihanilah aku, kasihanilah pamanku ...... ! Sakit hati apakah yang
membuatmu demikian kejam terhadap paman ? Katakanlah, urusan apakah yang menyakitkan
hatimu, yang diperbuat oleh Kwee siokhu kepadamu ?”
“Kau tak perlu tahu ! Ini urusan pribadi. Cukup kalau kuberitahukan kepadamu bahwa aku
harus membunuh orang she Kwee itu !” Setelah berkata demikian, Ling Ling memutar tubuh
dan berdiri membelakangi Sian Lun.
“Ling Ling, tak dapat dirobahkah niatmu ini ? Demi Tuhan, sekali lagi aku mohon padamu,
jangan lanjutkan niatmu ini. Biarlah aku berlutut di depan kakimu, Ling Ling, jangan kau
mengganggu dia !” Dan Sian Lun benar-benar berlutut di depan gadis itu.
“Bodoh ! Lemah !” tiba-tiba Ling ling berseru sambil terisak dan ketika Sian Lun mengangkat
kepalanya, ternyata gadis itu sudah tidak ada di depannya pula.
Pemuda ini terkejut sekali dan cepat ia melompat dan mengejar. Karena memang tubuh Ling
Ling masih lemah, sebentar saja Sian Lun dapat menyusulnya. Akan tetapi, Ling Ling telah
mencabut pedangnya dan berkata menantang,
“Sian Lun, untuk satu hal ini, kalau terpaksa, aku akan menghadapimu dengan pedang!”
Bukan main bingung dan sedihnya hati Sian Lun.
“Ling Ling, aku tidak sampai hati untuk bertanding dengan engkau. Tidak lagi. Kalau kau
mau, kau boleh penggal leherku, aku takkan melawan. Alan tetapi, jika aku melihat engkau
mengganggu pamanku, terpaksa aku akan membelanya, biarpun aku harus mati di tanganmu.”
Sambil berkata demikian, Sian Lun lalu berlari terus dengan amat cepatnya, mendahului gadis
itu menuju Tiang-an.
Ling Ling maklum bahwa pemuda itu tentu akan pergi ke rumah Kwee Siong dan akan
menjaga keselamatan orang she Kwee itu. Akan tetapi ia tidak takut. Kalau perlu, ia akan
menyerang pemuda itu dengan pedangnya. Sakit hati ibunya lebih penting untuk dibalaskan.
Ia belum pernah berbakti terhadap ibunya, dan ia telah menyaksikan sendiri betapa ibunya
hidup bersengsara, semenjak muda hidup di dalam hutan dan dijuluki iblis wanita, sama sekali
tidak diperdulikan oleh ayahnya yang kini menduduki pangkat tinggi dan hidup bersenangsenang dengan isteri dan puteranya yang baru. Dengan pikiran penuh nafsu dan dendam, gadis
ini lalu berlari cepat menuju ke kota Tiang-an yang temboknya telah nampak di depan.
******
Semenjak pertemuan dengan Sui Giok dan Ling Ling, Kwee Siong sembuh dari sakitnya
dengan keadaan yang berobah sama sekali. Ia kini nampak tua, selalu berwajah muram dan
seringkali termenung. Isterinya mencoba untuk menghiburnya, akan tetapi sia-sia.
Kwee Siong terganggu oleh pikiran dan perasaannya sendiri. Ia merasa berdosa dan apabila ia
teringat akan Sui Giok dan Ling Ling, ia menjadi amat terharu dan kasihan. Ia dapat
membayangkan betapa hebatnya penderitaan dan kesengsaraan isterinya yang terpisah darinya
di dalam hutan liar itu dalam keadaan mengandung tua.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
152
Dulu ia merindukan isterinya dan telah berusaha mencari isterinya itu. Sampai lama,
bertahun-tahun kemudian, baru ia mau menikah kembali atas bujukan saudara angkatnya,
yakni Liem Siang Hong ayah Liem Sian Lun.
Dan sekarang, setelah penghidupannya dengan keluarganya yang baru ini mulai bahagia, tibatiba saja muncul Sui Giok yang dikira telah tewas itu dengan puterinya. Alangkah malang
nasibnya, alangkah hebat penderitaan ibu dan anak itu. Ia menyesal sekali mengapa Sui Giok
dan Ling Ling telah pergi.
Hiburan satu-satunya hanya Kwee Cun, puteranya yang telah berusia delapan tahun itu. Kwee
Cun ternyata menjadi seorang anak laki-laki yang amat cerdik. Sukar bagi ibunya untuk
menyembunyikan sesuatu dari anak ini karena Kwee Cun memiliki kecerdikan dan keluasan
pandangan seperti orang dewasa.
“Ibu,” katanya setelah berkali-kali menanyakan keadaan ayahnya tanpa mendapat jawaban
memuaskan dari ibunya, “bagaimanapun juga ibu hendak menyembunyikan dariku, aku tahu
bahwa tentu ada sesuatu yang menimpa diri ayah. Ia nampak begitu sedih. Ibu, ceritakanlah
kepadaku, ibu.”
“Cun-ji, kau masih kecil, tidak perlu mengetahui akan hal ini,” kata ibunya sambilmengeluselus kepala anak itu.
“Ibu, kalau kau tidak mau menceritakan, aku akan selalu merasa sedih. Aku tidak mau belajar,
tidak makan, tidak mau bermain-main. Ayah berduka sedangkan aku tahupun tidak
urusannya. Ibu memperlakukan aku seperti orang luar saja.”
Setiap hari Kwee Cun membujuk ibunya sehingga akhirnya ibunya merasa kewalahan dan
diceritakannyalah tentang Sui Giok dan Ling Ling. Anak itu mengerutkan kening dan kontan
berkata,
“Ayah tidak bersalah !”
Ibunya hanya memeluknya sambil mengalirkan air mata.
“Cun-ji, jangan kau ikut-ikut. Kau masih kecil, nak, belum tahu perasaan hati orang tua. Mari
kita berdoa saja semoga ayahmu akan terhibur hatinya dan semoga ibu dan anak itu akhirnya
akan dapat tinggal bersama kita dalam keadaan yang rukun dan damai.”
Kwee Cun memandang kepada ibunya dengan mata penuh kasih sayang, lalu katanya, “Ibu,
kau seorang yang berhati mulia.”
Demikianlah, anak kecil ini dengan cara pikiran dan pertimbangannya sendiri, telah dapat
mengetahui keadaan ayahnya.
Pada hari itu, menjelang senja, datanglah Sian Lun dengan wajah pucat dan lesu.
“Engko Sian Lun datang ..... !” Kwee Cun berteriak berkali-kali dengan girang sekali. Sian
Lun mengangkat anak itu ke atas lalu menurunkannya kembali. Ia menganggap Kwee Cun
seperti adiknya sendiri. Ibunya, yakni nyonya Liem Siang Hong, yang semenjak Kwee Cun
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
153
lahir telah tinggal menjadi satu di gedung itu, menyambut kedatangan puteranya dengan
girang.
“Lun-ji, pasukanmu telah lama tiba, mengapa baru sekarang kau datang ? Kau membuat kami
merasa gelisah saja. Kemanakah kau pergi ?”
“Aku ..... aku mengurus sebuah hal yang penting, ibu. Mana Kwee siokhu ?” tanyanya
menyimpangkan pertanyaan ibunya itu.
“Di ruang belakang. Ah, Sian Lun, pamanmu itu akhir-akhir ini nampak selalu bersedih saja.
Jumpailah dia, siapa tahu kedatanganmu akan menghibur hatinya.”
Sian Lun lalu menuju ke ruang belakang di mana ia disambut oleh pamannya dan bibinya.
“Kwee siokhu, aku membawa sebuah berita yang amat penting.”
Melihat sikap pemuda itu, Kwee Siong lalu mengajaknya masuk ke dalam kamar kerja.
Nyonya Kwee yang maklum bahwa sebagai seorang wanita ia tidak berhak mencampuri
urusan pekerjaan suaminya. Ketika melihat Kwee Cun hendak ikut ayahnya ke dalam kamar
kerja, nyonya Kwee segera membetot tangannya dan mengajaknya ke belakang.
“Kau dan aku tidak boleh mengganggu ayahmu kalau sedang ada urusan pekerjaan,” katanya.
“Mengapa tidak boleh ibu ?”
“Kita tidak dapat membantu, hanya akan merupakan gangguan saja. Kalau kakakmu Sian Lun
ada pembicaraan penting dengan ayahmu, tentu mereka itu membicarakan tentang pekerjaan
dan urusan negara.”
Akan tetapi sesungguhnya yang dibicarakan oleh dua orang itu sama sekali bukanlah urusan
negara.
“Siokhu, mulai saat ini sampai malam nanti, harap siokhu sekeluarga jangan keluar dari
kamar dan biar aku menjaga di sini, di dekat siokhu sampai bahaya itu datang.”
“Apa maksudmu, Sian Lun ?” tanya Kwee Siong terkejut.
“Siokhu, nanti akan ada orang yang datang dan berusaha menyerang untuk membunuh
siokhu.” Pemuda ini sengaja tidak mau menyebut nama Ling Ling, agar orang tua ini jangan
menjadi kaget dan berduka.
“Orang mau membunuhku ? Siapakah dia dan bagaimana kau bisa tahu ?” Kwee Siong adalah
seorang yang telah lama melakukan pekerjaan sebagai hakim, maka mendengar tentang ada
orang hendak membunuhnya, bukan merupakan hal yang aneh karena tentu banyak penjahat
merasa dendam kepadanya. Dan karena kebiasaan memeriksa pesakitan, kali inipun ia telah
mendesak Sian Lun dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Siokhu, tak perlu kiranya aku beritahukan siapa orangnya yang hendak melakukan hal itu.
Tiada gunanya siokhu mengetahui.” Pemuda ini menundukkan mukanya. Ia tidak bisa
membohong dan juga bukan seorang ahli dalam memutar balikkan omongan, maka agar dapat
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
154
bersembunyi dari pandangan mata pamannya yang luar biasa tajamnya, ia menundukkan
mukanya.
Berat sekali rasa hatinya untuk memberitahukan siapa orangnya yang hendak melakukan
perbuatan jahat ini. Ia tidak ingin orang lain, terutama sekali pamannya, tahu akan maksud
jahat dari Ling Ling.
Ia hendak menghadapi gadis yang dicintanya itu sendiri, hendak berusaha sedapat mungkin
untuk mencegah gadis itu melanjutkan niatnya. Kalau perlu ia akan mengorbankan nyawanya.
Untuk membiarkan Ling Ling membunuh pamannya, tak mungkin dapat ia lakukan. Dan
untuk memberi keterangan sejelasnya kepada pamannya sehingga orang tua ini memandang
rendah dan marah kepada Ling Ling atau lalu bertindak untuk menghadapi gadis itu dengan
kekerasan sehingga Ling Ling akan mendapat bencana, juga tak dapat dilakukan olehnya. Ia
menyinta dan berbakti kepada pamannya yang dianggap sebagai ayah sendiri, akan tetapi
iapun amat menyinta Ling Ling.
Hening sejenak, Kwee Siong menatap tajam sedangkan Sian Lun menunduk sambil menahan
napas.
“Tentu dia yang akan datang, bukan ? Dia .... gadis yang bernama Ling Ling dan dijuluki
orang Toat-beng Mo-li, gadis yang dulu hendak membunuh jenderal Li, bukan ?” tiba-tiba
Kwee Siong berkata.
Serasa ambruk bangunan rumah di atas kepalanya ketika Sian Lun mendengar pertanyaan ini.
Ia cepat mengangkat kepala memandang pamannya dan melihat sinar mata itu menembus
dadanya dengan pandang menyelidik, ia tidak berani mencoba-coba untuk menyangkal lagi.
“Siokhu, bagaimana kau dapat menduga demikian tepat ?” tanyanya kagum.
Kwee Siong tersenyum pahit. Tentu saja ia dapat menduga. Kalau penjahat-penjahat biasa
yang hendak mengarah nyawanya, tentu Sian Lun takkan menyembunyikan namanya. Sui
Giok dan Ling Ling adalah orang-orang yang selama ini tidak pernah meninggalkan
ingatannya, dan ia maklum betapa gadis puterinya itu akan membencinya kalau mendengar
dari ibunya betapa ia adalah ayahnya yang seakan-akan telah menyia-nyiakan kehidupan
ibunya.
“Sian Lun, mengapa kau menyembunyikan namanya dariku ?” Kwee Siong menjawab
pertanyaan pemuda itu dengan pertanyaan pula, pertanyaan yang dikeluarkan dengan suara
menuntut dan penuh selidik.
Berdebar jantung Sian Lun. Tentu saja tak mungkin baginya untuk berkata terus terang bahwa
ia menyinta gadis itu. Bahwa ia tidak ingin gadis itu tertangkap dan mendapat celaka, akan
tetapi bahwa iapun tidak ingin melihat gadis itu membunuh pamannya.
“Dia ..... dia .... adalah seorang dara perkasa, seorang pendekar wanita yang sudah berjasa,
yang sudah membantu perjuangan kita, siokhu. Aku hendak mencegahnya melakukan
perbuatan yang jahat ini. Siokhu, bolehkah aku mengetahui, mengapakah dia begitu benci
kepadamu ? Mengapa dia begitu berkeras hati hendak membunuhmu ?”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
155
Melihat wajah pemuda itu yang sedih dan ucapannya yang penuh penasaran dan kepedihan
hati itu, mata Kwee Siong yang tajam sudah dapat menduga lebih mendalam lagi.
“Sian Lun,” katanya dengan lemah, “jangan kau menghalanginya. Biarkan ia datang dan aku
sendiri yang akan menghadapinya!”
“Siokhu ! Dia ..... dia hendak membunuhmu!”
“Biarlah! Jangan kau ikut campur, Sian Lun. Dengarkah kau? Ini satu perintah dariku,
mengerti? Jangan kau menghalangi dia dan biarkan dia turun menjumpaiku. Aku tidak mau
dibantah oleh siapapun juga dalam hal ini. Tak seorangpun boleh mencampuri urusan ini, juga
kau sendiri tidak!”
“Siokhu! Akan tetapi aku ..... bukankah kau kuanggap ayah sendiri? Bukankah aku sama
dengan puteramu sendiri? Bagaimana aku dapat membiarkan orang mengancam
keselamatanmu?”
Kwee Siong tersenyum sedih, “Kau tahu bahwa kau lebih dari putera sendiri bagiku. Bahkan
aku ingin sekali ..... mengambilmu sebagai mantuku!”
Bukan main herannya hati Sian Lun mendengar ini dan ia hendak bertanya, akan tetapi Kwee
Siong mendahuluinya dengan kata-kata tegas,
“Sian Lun, kau malam ini keluarlah dari rumah ini. Ajak ibumu bermalam di rumah Jenderal
Li. Biarkan aku sekeluargaku seorang diri di dalam gedung ini.” Ketika pemuda itu
memandangnya dengan wajah pucat, ia menyambung cepat, “Anakku yang baik, percayalah
kau kepadaku. Aku hanya minta kau mentaati kata-kataku sekali ini. Jangan membantah,
anakku ..........”
Dua titik air mata terlompat keluar dari mata pemuda ini. Sebutan “anakku” membuatnya
merasa terharu sekali. Pamannya yang amat baik hati ini menghadapi bahaya maut, akan
tetapi ia bahkan diminta keluar dari situ bersama ibunya. Ia tahu bahwa Ling Ling bukanlah
seorang gadis yang boleh dibuat main-main.
Ancaman yang keluar dari mulut gadis seperti Ling Ling adalah ancaman yang timbul dari
dasar hatinya. Akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak pamannya yang tegas-tegas
menyatakan bahwa ini adalah sebuah perintah, maka ia lalu mengajak ibunya keluar dari
rumah gedung itu dan bermalam di rumah Jenderal Li Goan.
******
Sesosok bayangan hitam yang gesit sekali melompat ke atas genteng rumah gedung Kwee
Siong. Bayangan ini bukan lain adalah Ling Ling yang datang dengan maksud membunuh
ayahnya sendiri. Ia merasa heran karena melihat keadaan di luar gedung dan di atas genteng
sunyi saja. Benar-benar di luar dugaannya semula.
Di manakah Sian Lun? Apakah pemuda yang mendahuluinya itu tidak melakukan penjagaan
untuk mencegahnya? Dan di mana pula para penjaga? Apakah Sian Lun telah
memperingatkan ayahnya dan keluarga itu telah pergi bersembunyi di lain tempat? Ah, kalau
rumah itu telah dikosongkan, tentu rumah itu merupakan perangkap baginya.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
156
Akan tetapi Ling Ling tidak merasa takut sedikitpun juga. Ia menganggap bahwa niatnya ini
merupakan tugas terakhir. Biarlah ia tewas dalam melakukan tugas ini, karena apakah artinya
hidup baginya? Ibunya tidak ada, ayahnya hendak ia bunuh, dan Sian Lun ......ah, dia tidak
mau memikirkan pemuda itu dalam saat seperti itu.
Dengan amat ringannya ia melompat turun sambil mencabut pedang Oei-hong-kiam dari
pinggangnya. Ia masuk ke dalam ruangan yang terang dan sunyi. Masuk terus dengan
tindakan kaki ringan, makin ke dalam. Sebuah pintu yang menuju ke ruang belakang tertutup,
maka dibukanya perlahan. Matanya silau karena di ruang itu amat terang, banyak lilin
dipasang di atas meja.
Untuk beberapa lama Ling Ling menggosok matanya agar tidak begitu silau. Ketika ia
membuka matanya, ia memandang ke depan dan ........ berdiri bengong seperti patung.
Kwee Siong dengan tenangnya duduk di atas sebuah kursi sambil memandangnya dengan
mata tajam, akan tetapi wajahnya muram dan berduka sekali. Seorang nyonya yang cantik
duduk di sebelahnya, menundukkan muka dan wajahnya nampak amat pucat. Seorang anak
laki-laki yang tadinya menangis sambil menyembunyikan mukanya di pangkuan ibunya, kini
serentak bangun berdiri, memandang kepada Ling Ling dengan matanya yang lebar dan
bening.
“Ling Ling, kau baru datang, nak?” terdengar Kwee Siong berkata dengan suara seakan-akan
seorang ayah menegur puterinya yang baru kembali dari perjalanan jauh. “Sudah semenjak
tadi aku, ibu tirimu dan adikmu menanti kedatanganmu!”
Naik sedu sedan dari dada gadis itu menuju kerongkongannya, akan tetapi ia cepat menekan
perasaan keharuan ini dan membentak marah.
“Siapa anakmu? Kau orang jahat, manusia kejam berhati binatang. Kau telah membiarkan ibu
hidup sengsara sampai bertahun-tahun. Ibu hidup bagaikan seekor binatang buas di dalam
hutan, menjadi seorang yang dijuluki iblis wanita oleh orang lain. Semua karena kau! Lakilaki tidak tahu kewajiban, kau masih berani menyebut aku sebagai anakmu?”
“Ling Ling, kau boleh memaki sesuka hatimu, akan tetapi katakanlah, mengapa ibumu tidak
ikut datang? Mana Sui Giok? Mana isteriku itu?”
Tak tertahan lagi air mata menitik keluar dari sepasang mata Ling Ling.
Kemudian ia mengangkat mukanya memandang wajah ayahnya dengan marah sekali. Dengan
jari telunjuk tangan kirinya ia menuding ke arah muka Kwee Siong sambil berkata keras,
“Manusia rendah! Kenapa tidak dulu-dulu kau menanyakan ibu dan mencarinya? Mengapa
sekarang setelah kau membunuh mati ibu, kau masih berpura-pura bertanya lagi?”
Muka yang sudah pucat dari pembesar itu kini menjadi makin pucat seperti mayat. Ucapan
Ling Ling itu benar-benar menusuk hatinya dan membuatnya terkejut sekali.
“Ling Ling!” ia bangun dari kursinya dengan kedua kaki menggigil. “Apa kau bilang ? Mana
ibumu ... ? Mana...... ??”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
157
“Ibu telah mati, dan kau tidak berhak bertanya-tanya lagi!” seru gadis itu dengan ganassambil
melangkah maju dengan pedang siap di tangan.
“Ya, Tuhan .....!” hanya itulah yang dapat diucapkan oleh Kwee Siong. Ia terjatuh kembali ke
atas kursinya dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. “Sui Giok ..... Sui Giok
.......bagaimana dia mati .....? Bagaimana? Ling Ling, katakanlah, bagaimana ibumu bisa mati
.....?”
“Tutup mulutmu yang palsu!” bentak gadis itu makin marah. “Aku tidak kasihan kepadamu,
seperti kau tidak kasihan kepada ibuku. Jangan pura-pura berduka atas kematian ibuku,
karena sekarang aku datang hendak memaksa kau mati menyusul ibuku. Biar kau bisa
bertemu dan minta ampun kepadanya!”
“Bunuhlah! Bunuhlah .... ini dadaku, siapa takut mati? Aku akan merasa girang sekali dapat
menyusul Sui Giok, aku merasa berdosa kepadanya, hanya .... hanya aku merasa sayang sekali
mengapa puteriku, puteri Sui Giok akan menjadi seorang anak durhaka yang membunuh ayah
sendiri.”
Lemaslah tangan Ling Ling mendengar ini, akan tetapi kekerasan hatinya membuat ia
melompat maju dan mengangkat pedangnya, siap ditusukkan ke dada ayahnya. Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar jerit mengerikan dan nyonya Kwee melompat maju, menghadang di
depannya.
“Nona, suamiku tidak bersalah. Ayahmu tidak bersalah terhadap ibumu. Ketika ia
mengawiniku, dia sudah putus asa dan menganggap bahwa ibumu telah meninggal dunia.
Telah banyak usahanya untuk mencari ibumu, akan tetapi sia-sia. Jangan bunuh padanya,
nona, bunuhlah aku kalau kau merasa bahwa aku yang merusak kehidupan ibumu!” Dan
nyonya ini lalu menangis terisak-isak, berlutut di depan Ling Ling.
Tiba-tiba Kwee Cun berteriak marah. “Tidak, ibu, tidak! Nona ini tidak boleh
membunuhmu!” Ia lalu menghampiri Ling Ling dengan sikap mengancam, kedua tangannya
yang kecil terkepal. “Kau ..... kau ganas dan kejam! Kau orang durhaka, mau membunuh ayah
sendiri? Kupukul kau!” Dan anak kecil itu lalu menyerang Ling Ling dengan kedua tangannya
memukul.
Ling Ling tertegun melihat ini semua. Sebetulnya ia tidak tega untuk membunuh ayahnya,
untuk melukai orang tua yang sama sekali tidak nampak jahat dan kejam ini. Ia tadi telah
tertusuk oleh sikap dan kata-kata ayahnya, yang ternyata seorang laki-laki gagah dan
budiman.
Ketika nyonya itu menangis dan bermohon kepadanya, ia sudah merasa makin lemah
semangatnya. Bagaimana ia bisa membunuh ayah sendiri dan membuat nyonya itu serta
puteranya menjadi janda?
Kini melihat sikap Kwee Cun, ia makin pucat dan tak terasa pula ia melangkah mundurtiga
tindak. Sebagai seorang yang mempelajari ilmu silat dan menjunjung tinggi kegagahan, sikap
dan keberanian anak ini membela ibunya telah membuat Ling Ling kagum sekali.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
158
Ia tidak tahu harus menangis atau tersenyum. Sedih dan girang tercampur aduk menjadi satu.
Sedih mengingat nasib ibunya, dan girang mendapat kenyataan bahwa ayahnya dan isteri serta
puteranya yang baru ternyata adalah orang-orang yang patut dipuji.
Kenyataan bahwa ayahnya seorang laki-laki gagah membuatnya bangga. Kalau seandainya
ayahnya berlutut dan meminta-minta ampun, mungkin akan dilanjutkan niatnya
membunuhnya. Akan tetapi ayahnya bahkan menantang, memberikan dadanya.
“Nona insyaflah akan kesesatanmu!” terdengar nyonya itu berkata di antara tangisnya.“Tidak
ada kedosaan yang lebih besar daripada membunuh ayah sendiri. Menyakiti hatinya saja
sudah merupakan perbuatan terkutuk, apalagi membunuhnya. Aku bersumpah, ketika ayahmu
melihat kau dan ibumu masih hidup, tidak ada pengharapan yang lebih besar dalam hati
ayahmu, dalam hatiku dan dalam hati adikmu yang masih kecil ini, melainkan melihat kau
dan ibumu tinggal di sini bersama kami, hidup sebagai keluarga yang besar dan penuh damai.
Sekarang ..... kalau benar-benar ibumu telah meninggal dunia, kuminta kepadamu, tinggallah
di sini. Jadilah anakku, anak ayahmu, enci adikmu ini ..... Ling Ling, pergunakanlah
kesadaranmu ...... “
Kembali Ling Ling tertegun. Akan tetapi sambil mengeraskan hatinya, ia berkata, “Kau kira
akan dapat membujukku dengan omongan manis. Kau tidak tahu betapa rasanya kehilangan
ibu. Biarlah anakmu yang akan merasakan betapa sengsaranya hati seorang anak terpisah dari
ibunya.”
Setelah berkata demikian, secepat kilat Ling Ling menyambar tubuh Kwee Cun,
dipondongnya dan dibawanya melompat keluar, menghilang di dalam gelap.
Bab 19.....
“Cun-ji ........ !” nyonya itu berteriak-teriak sambil menangis, “Ling Ling ..... kasihanilah dia,
kembalikan anakku ....”
Akan tetapi Kwee Siong segera memegang tangan isterinya yang hendak berlari mengejar.
“Sabarlah, tenanglah! Aku tidak percaya bahwa Ling Ling akan mencelakakan Cun-ji. Dia
pasti akan kembali membawa Cun-ji dengan selamat. Percayalah kepadaku.”
Nyonya itu lalu menubruk dan menangis di dada suaminya.
******
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Sian Lun sudah masuk ke dalam gedung keluarga
Kwee. Ibunya masih berada di rumah Jenderal Li Goan. Wajah pemuda ini muram dan pucat
penuh kekhawatiran.
Semalam suntuk ia tidak pernah tidur sedikitpun juga, penuh kegelisahan memikirkan
keadaan pamannya dan juga memikirkan keadaan Ling Ling. Bagaimana kalau gadis itu
membunuh Kwee siokhu, pikirnya. Ah, kalau hal itu terjadi, akan hancurlah dunianya. Ia
harus mencari gadis itu dan membunuhnya, mungkin untuk mati bersama. Apa gunanya hidup
lagi baginya?
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
159
Akan tetapi ketika ia masuk ke ruang belakang, didapati paman dan bibinya masih duduk di
atas kursi. Ia tidak tahu bahwa mereka itu duduk di situ semalaman, sama sekalitak pernah
tidur seperti dia sendiri. Sian Lun menarik napas lega, merasa seakan-akan batu besar yang
semalaman menindih isi dadanya kini terangkat, membangkitkan sedu sedan yang
mengumpul di kerongkongannya.
“Siokhu ..... “ katanya sambil bertindak perlahan menghampiri kedua orang tua itu.
“Sian Lun, kau sudah datang?” kata Kwee Siong sambil tersenyum. Ada sesuatu tersembunyi
dibalik senyum ini, pikir Sian Lun. Pasti ada apa-apa terjadi malam tadi.
“Syukur siokhu selamat,” katanya tanpa berani menyebut-nyebut tentang datang tidaknya
Ling Ling.
“Ia datang,” kata pamannya.
“Dan ia membawa Cun-ji,” sambung bibinya dengan bibir gemetar menahan tangis.
Terkejutlah Sian Lun mendengar ini. “Ling Ling datang dan menculik adik Cun?” tanyanya
tak sadar menyebut nama gadis itu.
Pamannya mengangguk sunyi.
Marahlah Sian Lun. Kelegaan hatinya terganti kekhawatiran dan penyesalan. Ling Ling
terlalu sekali, pikirnya.
“Aku akan menyusul dan membawa pulang adik Cun!’ katanya dan sebelum dua orang tua itu
dapat menjawab, tubuhnya sudah melesat keluar dari gedung itu. Ia maklum ke mana harus
mencari Ling Ling Kemana lagi kalau tidak di kelenteng dalam hutan, di luar kota Tiang-an
itu?
Matahari telah naik tinggi ketika Sian Lun tiba di kelenteng itu. Peluh membasahi jidat dan
lehernya karena ia telah berlari cepat tiada hentinya dari kota. Di depan kelenteng itu sunyi
saja. Apakah gadis itu tidak membawa Kwee Cun ke sini? Ia mulai gelisah dan cepat
melompat masuk ke dalam kelenteng.
Kosong! Ia terus keluar dari pintu belakang dan tiba-tiba ia berdiri bagaikan patung.
Kerongkongannya terasa kering, penuh oleh hawa yang naik dari dalam dadanya. Hampir ia
tidak percaya akan apa yang dilihatnya.
Ling Ling sedang duduk di atas rumput bersama Kwee Cun. Mereka tertawa-tawa. Terdengar
anak laki-laki itu bicara gembira, seakan-akan sedang menceritakan sesuatu, kadang-kadang
diseling oleh suara ketawanya yang bersih.
Adapun Ling Ling mendengarkan sambil memegang pundak anak itu, juga gadis ini terdengar
tertawa-tawa dengan geli dan gembira. Terdengar oleh Sian Lun bagaimana anak itu
menyebut Ling Ling dengan sebutan “enci Ling” yang mesra sekali, dan terlihat olehnya
betapa seringkali tangan Ling Ling mengelus-elus kepala anak itu dengan penuh kasih sayang.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
160
Sian Lun tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Ia demikian terpesona oleh pemandangan
ini sehingga tidak tahu harus berkata apa dan melakukan apa. Pada saat itu, kebetulan sekali
Kwee Cun menengok dan begitu melihat pemuda ini, anak itu lalu melonjak girang.
“Sian Lun-ko ..... !! ia berlari-lari menyambut pemuda itu, memegang tangannya dan
menariknya ke tempat Ling Ling yang sudah berdiri dan memandang kepada Sian Lun dengan
wajah kemerah-merahan, nampaknya malu sekali.
“Engko Sian Lun, baik sekali kau datang. Kuperkenalkan kepada enciku Ling Ling !” kata
Kwee Cun dengan girang sekali, kemudian ia berkata kepada Ling Ling setelah kedua orang
muda itu berhadapan.
“Enci Ling, inilah engko Sian Lun yang seringkali kautanyakan tadi! Lun-ko, ini adalah
enciku yang cantik dan gagah, namanya Ling Ling!”
Akan tetapi kedua orang muda itu seakan-akan tidak mendengar ucapan anak itu. Keduanya
berdiri saling pandang dan sinar mata mereka bicara dengan seribu satu bahasa yang tidak
terdengar atau dimengerti orang lain kecuali mereka berdua sendiri.
Ucapan Kwee Cun itu sebenarnya sudah patut kalau menjadikan pemuda itu terheran, karena
bagaimanakah tiba-tiba Kwee Cun mengaku gadis ini sebagai encinya ? Akan tetapihanya
satu saja arti yang tertangkap oleh Sian Lun, yakni bahwa gadis itu banyak bertanya kepada
anak itu tentang dia.
“Cun-te, benarkah encimu ini banyak bertanya tentang aku?”
“Benar, engko Sian Lun, dia bertanya tentang kepandaianmu, tentang pekerjaanmu, dan
apakah engkau sudah menikah atau belum ........”
“Hush, tutup mulutmu, Kwee Cun!” Ling Ling membentak dengan muka merah, akan tetapi
agaknya Kwee Cun sudah biasa bermain-main dengan gadis itu, buktinya ia tahu bahwa
encinya itu tidak marah maka ia hanya tertawa-tawa gembira.
Keduanya merasa malu-malu dan jengah sehingga tidak berani saling memandang. Bahkan
Sian Lun yang merasa terharu, girang, dan terheran tak dapat mengeluarkan kata-kata
terhadap gadis itu.
“Cun-te,” akhirnya ia berkata kepada anak itu, “hayo pulang dengan aku. Ayah bundamu
menanti-nanti di rumah.”
“Tidak, aku tidak mau pulang. Aku tidak akan pulang kalau tidak bersama enci Ling!” jawab
anak itu sambil memandang Ling Ling, seakan-akan ia sudah berjanji dengan itu, yang segera
memeluknya, tanda girang hati.
Sian Lun benar-benar merasa heran sekali. “Nona, kalau begitu, mengapa kau tidak membawa
adik Cun pulang .... ?”
“Liem-ciangkun, kau pulanglah sendiri. Aku dan adik Cun belum ingin ..... pulang.”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
161
Sian Lun hendak membantah, akan tetapi Kwee Cun yang nakal itu berkata, “Pulanglah Lunko. Kalau kau membantah, enciku akan marah dan kalau dia marah kepadamu, aku takkan
berani tanggung jawab. Kalau ayah yang datang, barulah enci mau pulang .....”
“Hus, Kwee Cun ......” kembali Ling Ling membentak adiknya.
Akan tetapi kata-kata itu sudah cukup bagi Sian Lun. Ia hampir berjingkrak dan menari-nari
saking girangnya. Sungguhpun sampai pada saat itu ia masih belum mimpi bahwa gadis ini
adalah puteri Kwee Siong sendiri, namun jelas baginya bahwa Ling Ling tidak marah lagi
kepada pamannya.
Tanpa banyak cakap lagi, ia membalikkan tubuh dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Kembali ia berlari tiada hentinya ke Tiang-an, akan tetapi kali ini ia berlari cepat dengan hati
girang, tidak seperti tadi ketika meninggalkan Tiang-an, ia berlari cepat dengan hati gelisah.
Kwee Siong mendengarkan penuturan Sian Lun dengan mata basah dan kemudian dua titik air
mata mengalir turun di sepanjang pipinya. Muka yang tadinya pucat itu perlahan-lahan
menjadi merah kembali dan akhirnya ia memeluk isterinya yang sementara itu menangis di
dekatnya, lalu berkata perlahan,
“Apa kataku? Tepat seperti yang kuduga!” Dan isterinya hanya dapat menangis di antara
senyumnya.
Sian Lun benar-benar tidak mengerti dan memandang dengan melongo. Lebih-lebih ia merasa
heran ketika pamannya berkata,
“Sian Lun, kuulangi lagi kata-kataku bahwa kau patut menjadi mantuku.”
Ia menoleh kepada isterinya yang sudah duduk di atas kursi dengan wajah berseri, lalu
berkata, “Bukankah sudah cocok sekali Sian Lun menjadi jodoh anak kita?”
“Cocok sekali, dan aku akan senang sekali, melihat Sian Lun sebagai mantuku!”
Sian Lun memandang dengan bengong. Apakah kedua orang tua ini sudah gila? Mereka
hanya mempunyai seorang putera, bagaimana bisa mengambil mantu padanya?
Tiba-tiba ia teringat kepada Ling Ling. Apakah gadis itu puteri pamannya? Tak mungkin,
akan tetapi ...... ia teringat bahwa suhunya, Liang Gi Cinjin juga menyatakan bahwa ia cocok
sekali menjadi jodoh Toat-beng Mo-li. Usul suhunya ini lebih cocok baginya, karena yang
dimaksudkan oleh suhunya sudah jelas, tentu Ling Ling yang juga ternyata adalah gadis yang
membawa pedang suhunya, Pek-hong-kiam.
Akan tetapi puteri pamannya? Bagaimana kalau bukan Ling Ling? Agaknya tidak mungkin
kalau Ling Ling, karena bukankah gadis itu tadinya hendak membunuh pamannya ini?
“Maaf, siokhu. Akan tetapi .... aku .... aku sudah dijodohkan oleh suhu kepada seorang gadis
lain ....”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
162
Kwee Siong nampak terkejut. “Apa ....? Mana bisa jadi? Kau tidak boleh menikah dengan
gadis lain, kecuali dengan puteriku sendiri! Kebetulan suhumu berada di sini, aku bicarakan
hal ini dengan dia.”
“Suhu berada di sini, siokhu? Di mana dia ....?”
“Ya, suhumu, Liang Gi Cinjin baru saja datang dan sekarang masih berada di rumah Ligoanswe.”
Baru saja sampai di sini percakapan mereka datanglah penjaga yang melaporkan bahwa
Jenderal Li Goan dan Liang Gi Cinjin sudah datang. Tergesa-gesa Kwee Siong dan Sian Lun
menyambut. Pemuda ini segera memberi hormat kepada suhunya yang tertawa bergelak
melihat Sian Lun.
“Aku mendengar dari Li-goanswe bahwa kau telah bertempur melawan Liang Hwat Cinjin
suhengku? Ah, Sian Lun, masih untung kau dapat terlepas dari tangannya yang ganas.”
Kemudian kakek berilmu ini lalu menuturkan sambil menarik napas panjang betapa
suhengnya itu semenjak dulu telah menyeleweng dan berkali-kali melakukan pelanggaran.
“Aku sendiri tentu sudah lama ia celakakan, kalau saja aku tidak mempunyai semacam ilmu
yang dapat mengimbangi dan melawan ilmu yang ia andalkan, yakni Kim-kong-kiu yang lihai
itu. Ia seringkali mengganggu dan mengejek tentang Pek-sim-kauw.”
“Ah, kalau saja teecu sudah mempelajari ilmu yang suhu maksudkan itu, tentu teecu takkan
terdesak hebat.” Ia lalu menuturkan lagi dengan jelas, betapa tadinya ia tidak berani melawan
supeknya itu, akan tetapi betapa ia didesak sehingga akhirnya ia melawan juga. Tentu saja ia
merasa malu menuturkan bahwa sesungguhnya karena ingin melindungi Ling Ling saja maka
ia memberanikan diri menghadapi supeknya.
“Itulah kalau orang masih belum banyak pengalaman,” mencela suhunya. “Padahal kalau
melihat kepandaianmu, kau takkan kalah olehnya.
Hanya kau tidak tahu bagaimana harus menghadapi Kim-kong-jiu, bukan dengan ilmu silat
lain, muridku, akan tetapi kau harus selalu menghadapinya dengan gerakan rendah.
Ketahuilah bahwa tenaga Kim-kong-jiu yang dimainkan oleh sepasang ujung lengan bajunya
itu hanya berbahaya bagi tubuh bagian atas saja dan selalu dipergunakan untuk menyerang
dari pinggang ke atas. Kalau kau main dengan gerakan rendah, akan kacaulah permainan
Kim-kong-jiu.”
Girang sekali hati Sian Lun mendengar ini. Pada saat ia bicara dengan suhunya, ia melihat
pamannya sedang asyik bicara dengan Li-goanswe, dan tiba-tiba terdengar suara Li-goanswe.
“Saudara Kwee Siong mempunyai keperluan penting sekali untuk menjemput anaknya,
marilah kita beramai mengantarnya. Juga harap losuhu suka pula mengantarnya. Urusan lain
boleh ditunda, karena urusan ini benar-benar amat pentingnya dan baru saja sekarang
kudengar!”
Wajah Jenderal itu nampak berseri-seri dan gembira sekali, seakan-akan iabaru saja
mendengar berita yang amat menggembirakan hatinya, Memang, sesungguhnya baru tadi
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
163
Jenderal ini mendengar dari Kwee Siong bahwa sebetulnya Toat-beng Mo-li adalah puterinya
sendiri.
Kuda yang kuat lalu disediakan, empat ekor jumlahnya. Tak lama kemudian, Kwee Siong,
Jenderal Li, Sian Lun, dan Liang Gi Cinjin lalu beramai-ramai berangkat dengan cepatnya
menuju ke hutan di mana baru saja Sian Lun meninggalkan Ling Ling dan Kwee Cun.
Matahari telah mulai condong ke barat ketika empat orang ini tiba di tempat yang dituju.
Tidak seperti tadi ketika Sian Lun datang seorang diri, di depan kelenteng itu tidak sunyi,
bahkan begitu mereka tiba semua menjadi terkejut melihat Ling Ling sedang bertempur hebat
sekali melawan seorang kakek. Kwee Cun anak nakal itu berdiri menonton sambil memakimaki keras,
“Kakek tua bangka kurang ajar ! Jangan serang enciku!”
“Liang Hwat Cinjin!” berkata Sian Lun.
“Benar, dia adalah suhengku,” berkata pula Liang Gi Cinjin. “Benar-benar tak tahu diri,
menyerang seorang gadis muda.”
Pertempuran itu hebat sekali. Pedang Oei-hong-kiam di tangan Ling Ling berkelebatan
mengeluarkan cahaya kuning sehingga Jenderal Li Goan menjadi kagum sekali. Ia sudah
mendengar dari Sian Lun akan penukaran pedang itu dan iapun tidak merasa keberatan,
bahkan ia menyatakan bahwa kalau memang gadis itu keturunan atau ahli waris ilmu pedang
dari Panglima Kam Kok Han, sudah sepatutnya pedang itu diberikan kepadanya.
Akan tetapi jelaslah bahwa Ling Ling terdesak hebat oleh ilmu silat Kim-kong-jiu yang
dilancarkan oleh sepasang lengan baju Liang Hwat Cinjin dengan hebatnya.
Melihat rombongan orang yang datang, Liang Hwat Cinjin melompat keluar dari kalangan
pertempuran. Ketika ia melihat Liang Gi Cinjin, ia tertawa menyindir dan membentak,
“Liang Gi, bagus sekali perbuatanmu! Muridmu itu telah berani melawan aku. Sudah
demikian jauhkah kekurang-ajaranmu terhadap saudara tua?”
Liang Gi Cinjin memberi hormat dan menundukkan kepalanya.
“Suheng, kau sendirilah yang mencari penyakit, tidak dapat menjaga diri sehingga yang
muda-muda berani menentangmu.”
“Bangsat kurang ajar!” bentak Liang Hwat Cinjin hendak menyerang adik seperguruannya,
akan tetapi Ling Ling membentak marah dan kembali gadis ini telah menyerangnya.
“Gadis liar, aku harus bunuh dulu padamu!” seru kakek itu dan sebuah kebutan hebat sekali
dengan ujung lengan baju kanannya membuat Ling Ling terhuyung-huyung mundur. Bukan
main hebatnya tenaga kebutan ini sehingga gadis itu tidak kuat menahannya dan kedudukan
kuda-kudanya tergempur hebat. Liang Hwat Cinjin hendak mendesak, akan tetapi tiba-tiba
Sian Lun membentak,
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
164
“Jangan kau mengganggu Ling Ling!” Pedang Pek-hong-kiam ditangan berkelebat merupakan
gulungan sinar putih dan cepat menyambar dan menyerang ke arah paha Liang Hwat Cinjin.
Pemuda ini teringat akan nasehat suhunya, maka kini ia menyerang dengan merendah dan
menujukan pedangnya ke bagian bawah dari kakek itu.
Bukan main marahnya Liang Hwat Cinjin, “Bagus, kaupun sudah bosan hidup?” Sebentar
saja, seperti juga dulu, kakek ini telah dikeroyok oleh Ling Ling dan Sian Lun. Gerakan
pedang sepasang orang muda itu benar-benar hebat sehingga semua orang yang menonoton
pertempuran itu, termasuk Jenderal Li Goan, menjadi kagum sekali.
Gerakan Ling Ling ganas dan cepat karena gadis ini yang menganggap Liang Hwat Cinjin
sebagai musuh besarnya, pembunuh Kam Kok Han, melakukan serangan-serangan maut,
sedangkan Sian Lun melakukan taktik serangan bawah yang benar saja membuat kakek itu
menjadi kacau balau gerakannya.
Sepasang lengan baju itu kalau dimainkan dengan tenaga Kim-kong-jiu dan diputar di bagian
atas, merupakan sepasang senjata yang dahsyat sekali. Akan tetapi kalau kini terbagi harus
mempertahankan bawah tubuh yang terbuka, maka daya serangnya menjadi banyak
berkurang.
Betapapun juga, sampai seratus jurus belum juga kedua orang muda itu dapat
merobohkannya. Ling Ling menjadi penasaran sekali dan cepat ia mengubah gerakan
pedangnya. Kini ia bersilat dengan ilmu pedang bagian terakhir dari Kim-gan-liong Kiam-sut,
bagian yang amat sukar dimainkan, akan tetapi amat berbahaya sehingga jarang sekali
dikeluarkan oleh Ling Ling dalam pertempuran.
Benar saja, kali ini Liang Hwat Cinjin merasa terkejut sekali. Gulungan sinar pedang
kekuningan itu seakan-akan berpencar menjadi dua yang mengurungnya dari atas dan bawah.
Liang Hwat Cinjin biarpun amat tangguh, namun ia sudah tua sekali dan pertempuran yang
amat lama ini membuatnya lelah, dan tenaga serta kegesitannya banyak berkurang. Serangan
yang hebat ini, ditambah pula oleh serangan-serangan Sian Lun yang tak kalah berbahayanya,
membuat ia tak sanggup menangkis pula.
Ujung pedang Oey-hong-kiam menusuk pahanya dan berbareng dengan itu, ujung lengan
bajunya sebelah kanan juga terbabat putus oleh Pek-hong-kiam. Ia menjerit dan roboh di atas
tanah.
Ling Ling mengangkat pedangnya dan hendak memberi tusukan terakhir, akan tetapi tiba-tiba
Liang Gi Cinjin berseru keras,
“Nona, jangan bunuh dia!”
Ling Ling menahan tusukannya, menghadapi Liang Gi Cinjin dan berkata,
“Totiang, dia ini adalah musuh besarku. Dialah yang telah membunuh sucouw Kam Kok
Han!”
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
165
Liang Gi Cinjin menggeleng-geleng kepalanya. “Dia bohong, nona. Bukan dia yang
membunuh Panglima Kam Kok Han, akan tetapi seorang jenderal she Gui yang sudah lama
meninggal dunia. Suheng, mengapa kau tidak mau memberi penjelasan?”
Akan tetapi Liang Hwat Cinjin yang kini sudah dapat duduk dengan paha berlumur darah,
tersenyum dan berkata, “Hayo lekas bunuh aku! Aku sudah kalah oleh dua orang muda,
sungguh memalukan. Tidak lekas menghabisi nyawaku mau tunggu apa lagi?”
“Liang Hwat Suheng, bukalah matamu baik-baik. Kau berhadapan dengan calon Kaisar,
apakah kau masih bersikap jahat dan keras kepala? Inilah Jenderal Li Goan yang gagah
perkasa, yang telah membebaskan kesengsaraan rakyat dari tindasan pemerintahan Sui.
Apakah kau tidak tunduk?”
Liang Gi Cinjin maklum akan watak suhengnya ini. Betapapun jahatnya, Liang Hwat Cinjin
adalah seorang yang berjiwa patriot. Sudah berkali-kali tosu ini dahulu mencoba untuk
membunuh kaisar, akan tetapi selalu gagal.
Bahkan, yang membunuh Jenderal she Gui, pembunuh dari Kam Kok Han, adalah Liang
Hwat Cinjin sendiri. Hal ini baru diketahui oleh Ling Ling dan Sian Lun setelah mereka kelak
mendengar penuturan Liang Gi Cinjin.
Liang Hwat Cinjin mendengar ucapan sutenya itu, lalu memandang kepada Jenderal Li Goan
yang sudah menghampirinya. Jenderal ini memandangnya dengan tersenyum dan berkata,
“Liang Hwat Totiang, lupakah kau kepadaku? Lupakah kau ketika kita bahu membahu
menghadapi serbuan tentara dari Mongol dahulu?”
Terbelalak mata Liang Hwat Cinjin. Tentu saja ia teringat kepada jenderal ini, yang amat
dikagumi dan dipujinya. Saking menyesalnya atas kesesatannya sendiri dan saking terharunya
melihat jenderal itu berhasil menumbangkan kekuasaan kaisar, tiba-tiba Liang Hwat Cinjin
lalu menangis.
“Biarlah pinto pergi bersama suheng, karena kami berdua sudah terlalu tua untuk mencampuri
urusan dunia. Sian Lun, aku telah meninggalkan urusan Pek-sim-kauw kepada seorang murid,
dan kau supaya suka membantu pergerakan perkumpulan itu. Dan sekali lagi aku usulkan
perjodohanmu dengan Toat-beng Mo-li. Nona, biarlah aku mempergunakan kesempatan ini
untuk menjadi comblang melamarmu untuk menjadi jodoh muridku. Bagaimana
jawabanmu?”
Akan tetapi, Ling Ling tidak menjawab, hanya memandang kepada Kwee Siong yang
semenjak tadi juga sedang memandangnya dengan mata basah.
“Ling Ling ......” bisiknya.
“Ayah ....!” Ling Ling menubruk kaki ayahnya sambil menangis tersedu-sedu. Kwee Cun juga
lari kepadanya dan memeluk encinya sambil menangis penuh bahagia.
Hanya Jenderal Li Goan saja yang tidak terkejut melihat pemandangan ini karena iatelah
mendengar dari Kwee Siong. Yang paling merasa aneh sehingga berdiri melongo seperti
patung adalah Sian Lun. Ia merasa seakan-akan sedang mimpi.
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
166
Adapun Ling Ling yang merasa betapa ia tadi belum menjawab pinangan dan pertanyaan
Liang Gi Cinjin, lalu berpaling kepada kakek itu dan berkata perlahan, “Totiang, aku
menyerahkan segala hal kepada ayahku.”
Bukan main girangnya hati Kwee Siong, ia mengelus-elus kepala puterinya dan berkata,
“Ling Ling ...... anak baik .....” dan di dalam tangisnya ia berkata kepada ketua dari Pek-simkauw itu,
“Totiang, sudah lama sekali aku telah tunangkan puteriku ini kepada keponakanku, Liem Sian
Lun. Maka usulmu tadi hanya merupakan pengesahan belaka dari pertunangan mereka.”
“Bagaimana, Sian Lun?” Liang Gi Cinjin menggoda muridnya yang masih berdiri seperti
patung. Merah wajah pemuda ini, merah karena malu dan girang. Ia cepat menjatuhkan diri
berlutut dan berkata,
“Teecu hanya menerima titah dan .... dan ... berterima kasih.”
Sambil tertawa-tawa Liang Gi Cinjin lalu membawa suhengnya, yang digandeng dan setengah
diangkatnya, pergi dari tempat itu. Adapun Kwee Siong lalu duduk di atas rumput dikelilingi
oleh Jenderal Li, Sian Lun, Ling Ling, dan Kwee Cun.
Dia menceritakan tentang pengalamannya yang dulu, mengenai riwayat hidupnya betapa ia
terpisah dari Sui Giok, isterinya. Mereka bergembira, pertemuan yang amat mengharukan.
Pertemuan antara air mata dan tawa, karena disamping kegembiraan, Kwee Siong juga
berduka mendengar tentang tewasnya isterinya, Sui Giok yang bernasib malang.
“Ia gugur sebagai seorang puteri tanah air yang gagah perkasa, mengapa terlalu disedihkan?”
kata Jenderal Li Goan. “Mati sebagai seorang patriot yang gagah adalah kematian terhormat,
yang patut dibanggakan oleh anak cucu, karena biarpun andaikata namanya akan terlupakan
orang, namun darah yang mengalir dari tubuhnya telah menyuburkan tanah air, telah mencuci
rakyat jelata bersih daripada penindasan dan penghisapan kejam.”
Demikianlah, ramai-ramai mereka lalu kembali ke Tiang-an dan tentu saja dapat diduga
bahwa di antara mereka, yang merasa paling bahagia adalah Ling Ling dan Sian Lun.
Sungguhpun keduanya tidak berani membuka mulut saking jengah dan malu digoda terusterusan oleh Kwee Cun, namun senyum dan kerling mereka telah bicara banyak.
******
Demikianlah cerita ini ditutup dengan catatan bahwa setelah semua sisa-sisa pengikut kaisar
Yang-te dapat dihancurkan, dibunuh atau ditawan, sebagian besar menyerah, maka dalam
tahun 619 atas pilihan semua pembesar yang berpengaruh, Jenderal Li Goan naik tahta
kerajaan dengan megahnya. Semenjak saat dia menduduki tahta kaisar inilah maka di
Tiongkok dimulai dinasti kerajaan Tang yang akan menjadi sebuah kerajaan yang jaya dan
kuat.
Kwee Siong tetap menjabat pangkat tinggi dan selalu menjadi penasehatnya, adapun Liem
Sian Lun diangkat menjadi panglima muda yang gagah dan banyak berjasa dalam penindasan
Toat-Beng Mo-Li > Karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com
167
kaum pemberontak yang dihasut oleh sisa-sisa orang yang masih bersetia kepada kerajaan Sui
yang sudah musnah.
Hampir berbareng dengan pengangkatannya, yakni beberapa saat setelah penobatan Jenderal
Li Goan sebagai Kaisar pemerintah Tang, dilangsungkan pernikahan antara Sian Lun dan
Ling Ling, pesta pertama dalam kota raja yang baru sehingga amat menggembirakan
penduduk di ibu kota.
T A M A T